Guru, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sering kali menjadi sasaran atas kejadian buruk yang menimpa siswa.Â
Meskipun berdedikasi dalam mencerdaskan bangsa, mereka terjebak dalam fenomena yang mirip gunung es: puncaknya terlihat jelas, namun akar permasalahannya tersembunyi di bawah permukaan.
Beberapa faktor yang menyebabkan guru menjadi sasaran sering disalahkan meliputi:
1. Kurangnya Edukasi dan Pemahaman Masyarakat
Masyarakat sering kali tidak sepenuhnya memahami peran dan tanggung jawab guru. Mereka cenderung menganggap guru bertanggung jawab penuh atas segala tingkah laku siswa, tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti pengaruh keluarga, lingkungan sosial, dan media.
Â
2. Budaya Menyalahkan
Budaya menyalahkan telah mengakar kuat dalam masyarakat. Ketika terjadi kejadian buruk, mencari kambing hitam menjadi solusi instan. Dalam konteks ini, guru dengan otoritas dan visibilitasnya menjadi target empuk tuduhan. Ditambah lagi dengan maraknya media massa yang gemar memberitakan sensasi tanpa mengkaji fakta secara mendalam, guru sering kali menjadi sasaran tuduhan yang tidak berdasar.
3. Lemahnya Sistem Perlindungan Hukum
Guru sering kali tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai ketika mereka menjadi korban fitnah atau kekerasan. Kurangnya perlindungan ini membuat mereka rentan terhadap intimidasi dan tekanan, sehingga enggan untuk melawan tuduhan yang tidak berdasar.
4. Kurangnya Komunikasi dan Kolaborasi
Komunikasi yang kurang efektif antara sekolah, orang tua, dan masyarakat juga menjadi faktor penyebab. Ketiga pihak ini memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa. Namun, kurangnya komunikasi dan kolaborasi seringkali menimbulkan miskomunikasi dan kesalahpahaman, yang pada akhirnya berakibat pada guru.
Dampak Negatif Stigma Terhadap Guru
Stigma negatif terhadap guru memiliki dampak yang signifikan, termasuk:
1. Penurunan Motivasi dan Semangat Guru
Guru yang selalu disalahkan dan dihakimi akan merasa tertekan dan kehilangan semangat untuk mengajar. Hal ini dapat berdampak pada penurunan kualitas pendidikan yang mereka berikan.
2. Iklim Belajar yang Tidak Kondusif
 Siswa yang melihat guru mereka selalu disalahkan cenderung menjadi kurang percaya diri dan tidak termotivasi untuk belajar.
3. Mencoreng Nama Baik Profesi Guru
 Stigma negatif terhadap guru dapat membuat orang enggan untuk memilih profesi ini, sehingga dapat terjadi kekurangan guru di masa depan.
Membangun Sistem Pendidikan yang Lebih Adil
Untuk memutus rantai stigma negatif terhadap guru, dibutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak, antara lain:
1. Meningkatkan Edukasi Publik
 Penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang peran dan tanggung jawab guru. Masyarakat perlu memahami bahwa guru tidak bertanggung jawab penuh atas segala tingkah laku siswa.
2. Memperkuat Perlindungan Hukum
 Guru perlu mendapatkan perlindungan hukum yang lebih kuat agar mereka tidak mudah diintimidasi dan ditekan oleh tuduhan yang tidak berdasar.
3. Membangun Komunikasi yang Efektif
Sekolah, orang tua, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa. Komunikasi yang baik antara ketiga pihak ini dapat mencegah terjadinya miskomunikasi dan kesalahpahaman.
4. Meningkatkan Kesejahteraan Guru
 Guru yang merasa sejahtera secara fisik dan mental akan lebih fokus pada tugas mereka dan lebih mampu memberikan pendidikan yang berkualitas bagi siswa.
Fenomena Global atau Lokal?
WFenomena guru sering disalahkan atas kejadian buruk siswa tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain.Â
Misalnya, di Amerika Serikat, pada tahun 2022, seorang guru di California dipecat setelah muridnya bunuh diri, yang kemudian diikuti dengan gugatan terhadap sekolah dan guru oleh orang tua murid tersebut.Â
Di Jepang pada tahun 2021, seorang guru dihukum karena dianggap lalai dalam mengawasi muridnya yang tenggelam di kolam renang sekolah.Â
Sementara di Inggris pada tahun 2020, seorang guru dipecat setelah muridnya merekamnya secara diam-diam dan memposting video tersebut di media sosial, yang akhirnya menyebabkan murid tersebut dikeluarkan dari sekolah.
Meskipun ada kesamaan dalam masalah tersebut, setiap negara memiliki perbedaan dalam cara menangani hal ini, tergantung pada sistem hukum dan budaya lokal mereka.Â
Di Amerika Serikat, misalnya, orang tua memiliki akses yang lebih mudah untuk menggugat sekolah dan guru karena sistem hukum di sana lebih terbuka terhadap gugatan perdata.
Terkait perbedaan penanganan masalah guru yang sering disalahkan atas kejadian buruk siswa, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi:
Perbedaan Sistem Hukum
Setiap negara memiliki sistem hukum yang berbeda, yang memengaruhi cara penanganan kasus-kasus seperti ini. Di Amerika Serikat, misalnya, sistem hukum yang lebih terbuka terhadap gugatan perdata memungkinkan orang tua untuk lebih mudah menggugat sekolah dan guru. Sebaliknya, di negara lain mungkin terdapat batasan hukum yang lebih ketat dalam hal ini.
Budaya dan Norma Masyarakat
Budaya dan norma masyarakat juga memengaruhi cara penanganan kasus-kasus ini. Di beberapa negara, seperti Jepang, norma-norma sosial mungkin menempatkan tanggung jawab yang lebih besar pada guru untuk mengawasi siswa. Oleh karena itu, jika terjadi kejadian buruk, guru dapat lebih mudah dianggap bertanggung jawab.
Peran Media Massa
Media massa juga memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan penanganan kasus-kasus seperti ini. Di banyak negara, media massa sering kali memperbesar peristiwa-peristiwa negatif dan cenderung menyalahkan pihak-pihak yang terlibat. Hal ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap guru dan sekolah.
Kultur Hukuman
Konsep hukuman dan tanggung jawab juga berbeda-beda di setiap budaya. Di beberapa negara, konsep hukuman lebih terfokus pada tanggung jawab individu, sehingga jika terjadi kejadian buruk, guru sering kali dianggap bertanggung jawab. Di negara lain, mungkin terdapat pemahaman yang lebih luas tentang faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi perilaku siswa.
Dalam menghadapi fenomena ini, penting bagi setiap negara untuk mengevaluasi sistem pendidikan dan hukum mereka serta memperkuat kerjasama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa.Â
Dengan demikian, stigma negatif terhadap guru dapat dikurangi, dan pendidikan dapat menjadi lebih adil dan berkualitas.