Coach: Baik, sekarang mari kita masuk ke tahap tanggung jawab. Apa komitmen kamu terhadap rencana aksi yang sudah kamu buat?
Coachee: Saya berkomitmen untuk mempersiapkan materi presentasi dengan baik, berlatih presentasi di depan cermin, dan mencari feedback dari teman atau mentor.
Coach: (mendalam) Siapa dan apa yang dapat membantu kamu dalam menjaga komitmen kamu?
Coachee: Saya akan meminta bantuan teman atau mentor untuk memberikan feedback dan membantu saya dalam berlatih presentasi. Saya percaya dukungan mereka akan menjadi pendorong motivasi dan pemantik perbaikan.
Coach: (menggali lebih lanjut) Bagaimana dengan tindak lanjut dari kegiatan coaching ini?
Coachee: Saya akan terus berlatih presentasi dan mencari feedback dari teman atau mentor untuk terus meningkatkan kemampuan presentasi saya. Kegiatan ini tidak hanya menjadi fokus sementara, tetapi juga sebuah perjalanan berkelanjutan menuju pengembangan diri dalam berkomunikasi efektif.
Dalam dialog di atas, coach dan coachee mengikuti alur TIRTA dalam coaching. Coach menanyakan tujuan yang ingin dicapai coachee, membantu coachee mengidentifikasi masalah, merancang rencana aksi, dan mengarahkan coachee dengan pertanyaan mengenai komitmen terhadap rencana aksi, siapa dan apa yang dapat membantu dalam menjaga komitmen, serta tindak lanjut dari kegiatan coaching. Dengan menerapkan alur TIRTA, proses coaching menjadi lebih terarah dan bermakna.
Dengan menerapkan model TIRTA, proses coaching guru penggerak dapat menjadi lebih terstruktur dan bermakna. Guru penggerak memiliki peran kunci dalam membantu coachee menemukan solusi dan merancang rencana aksi yang konkret. Pengembangan keterampilan coaching juga menjadi esensial untuk mengatasi hambatan dan memastikan kelancaran proses coaching.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H