Selain itu, guru juga dapat berperan sebagai mentor atau pembimbing bagi siswa baru. Guru dapat meluangkan waktu untuk berbicara secara individu dengan siswa baru, mendengarkan kekhawatiran mereka, dan memberikan dukungan serta bimbingan. Hal ini akan membantu siswa merasa diperhatikan, didengar, dan dihargai oleh guru.
Tak kalah pentingnya adalah mengadakan kegiatan yang mendorong interaksi sosial dan kolaborasi antara siswa. Contohnya, guru dapat mengatur kegiatan seperti proyek kelompok, permainan tim, atau eksplorasi bersama di sekitar lingkungan sekolah. Melalui kegiatan ini, siswa memiliki kesempatan untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan membangun hubungan yang kuat dengan teman sekelas dan guru.
Dalam hubungan siswa dan guru yang ideal selama MPLS, guru perlu bersikap ramah, empati, dan mendukung. Mereka harus memberikan ruang bagi siswa baru untuk berbicara dan berbagi pengalaman mereka, serta memberikan umpan balik yang positif dan konstruktif. Selain itu, guru juga perlu menciptakan lingkungan inklusif, di mana setiap siswa merasa diterima dan dihormati.
Stop pelaksanaan MPLS yang ribet dan berbiaya mahal serta berujung perpeloncoan
Menghentikan MPLS yang memberikan beban kepada orangtua dengan memaksa mereka untuk membeli barang atau makanan dengan nama yang aneh-aneh adalah masalah yang perlu diperhatikan.Â
Beberapa sekolah masih melaksanakan praktik semacam itu dalam MPLS mereka, yang membuat orangtua merasa terbebani secara finansial dan menghadapi tekanan untuk memenuhi permintaan tersebut.
Selain itu, praktik menggunakan aksesoris yang mahal dan membutuhkan waktu untuk membuatnya juga dapat menjadi beban bagi orangtua. Mereka mungkin harus mengeluarkan uang tambahan untuk membeli aksesoris yang mungkin hanya akan digunakan dalam acara MPLS. Selain itu, persiapan aksesoris yang rumit dan memakan waktu juga dapat mengganggu rutinitas harian orang tua yang sibuk.
Lebih lanjut, MPLS yang memaksa siswa untuk menggunakan aksesoris atau pakaian yang berlebihan dan norak dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman atau malu pada beberapa siswa. Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk perundungan atau pelecehan yang merugikan kesejahteraan emosional dan psikologis siswa.
Penting untuk memahami bahwa MPLS seharusnya menjadi pengalaman yang positif dan inklusif bagi semua siswa dan orangtua. Menghormati keterbatasan finansial dan waktu orang tua serta menjaga agar kegiatan MPLS tidak digunakan sebagai alat untuk mempertontonkan status sosial atau memicu perpecahan di antara siswa harus menjadi perhatian utama.
Sekolah dan pihak terkait perlu merenungkan kembali praktik-praktik MPLS yang tidak memberikan manfaat dan memberikan tekanan kepada orangtua dan siswa. Mereka dapat mencari alternatif yang lebih hemat biaya, sederhana, dan inklusif, seperti mengutamakan kegiatan yang berfokus pada pembentukan hubungan sosial, peningkatan adaptasi siswa, dan pengenalan lingkungan sekolah yang positif.
Dalam hal ini, peran sekolah, orangtua, dan komunitas pendidikan sangat penting untuk berkomunikasi dan bekerja sama dalam mengubah paradigma MPLS yang merepotkan menjadi pengalaman yang bermakna, mendukung, dan menyenangkan bagi semua pihak yang terlibat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H