Â
Peribahasa cadu ngalantung ka lisung hartina awewe henteu daek buburuhun adalah sebuah peribahasa dari masyarakat Sunda yang memiliki makna yang sangat kuat terkait hak-hak perempuan. Dalam arti yang sebenarnya, peribahasa ini berasal dari kisah nyata seorang perempuan yang menolak untuk menjadi buburuhun.
Dalam konteks peribahasa "Cadu ngalantung ka lisung hartina aww henteu dak buburuhun", artinya adalah bahwa perempuan tidak mau melakukan pekerjaan kasar yang tidak sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya sebagai perempuan, istri, dan ibu. Pekerjaan kasar tersebut bisa berupa apa saja, seperti bekerja di ladang, menggiling padi dengan alu, dan sebagainya.
Dalam masyarakat Sunda pada waktu itu, perempuan seringkali dianggap lemah dan tidak mampu melakukan pekerjaan kasar. Namun, fakta  membuktikan bahwa anggapan tersebut salah. Meskipun sebagai seorang perempuan, kita mampu dan memiliki hak untuk memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan keinginannya.
Peribahasa ini menjadi inspirasi bagi banyak perempuan di masyarakat Sunda dan Indonesia pada umumnya. Seorang perempuan tidak harus hidup di bawah aturan suami atau melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya sebagai perempuan, istri, dan ibu.
Peribahasa "Cadu ngalantung ka lisung hartina aww henteu dak buburuhun" menjadi sebuah simbol dari keberanian dan keteguhan hati seorang perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya. Perempuan tidak harus menyerah pada tekanan sosial atau budaya patriarki yang membatasi kebebasan mereka. Sebagai bagian dari gerakan feminis di Indonesia, perjuangan hak-hak perempuan terus dilakukan hingga saat ini untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi semua gender.
Konteks peribahasa cadu ngalantung ka lisungÂ
Peribahasa "cadu ngalantung ka lisung" merupakan sebuah ungkapan dalam bahasa Sunda yang sangat populer di masyarakat Jawa Barat. Peribahasa ini memiliki makna yang mendalam, yaitu tentang ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan di dalam masyarakat yang memaksakan peran gender yang tidak sesuai dengan kemampuan dan minat mereka.
Menurut Suteja, I. (2017) dalam jurnal kajian budayanya yang berjudul "Refleksi Maskulinisme dalam Peribahasa Sunda" menjelaskan bahwa, asal mula peribahasa ini berasal dari budaya patriarki yang masih kental di masyarakat Sunda pada masa lalu. Pada zaman dahulu, perempuan dianggap hanya sebagai pemberi keturunan dan melakukan pekerjaan rumah tangga saja. Sementara itu, laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan penopang keluarga yang bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah.
Hal ini menyebabkan perempuan kesulitan untuk mengekspresikan kemampuan dan minat mereka di luar peran gender yang telah ditentukan oleh masyarakat. Seiring perkembangan zaman, gerakan feminis muncul untuk mengubah paradigma tersebut dan memberikan kesetaraan gender di masyarakat.
Peribahasa "cadu ngalantung ka lisung" menjadi bukti bahwa ketidakadilan gender telah ada sejak zaman dahulu kala dan terus menjadi perjuangan hingga saat ini. Peribahasa ini juga menjadi inspirasi bagi perjuangan hak pribadi perempuan saat ini.
Mengapa perempuan menolak 'buburuhun'
Perempuan menolak untuk mengerjakan pekerjaan kasar bukanlah hal yang baru dalam sejarah manusia. Seiring dengan perkembangan zaman dan kesadaran akan hak-hak perempuan, perempuan kini semakin memperjuangkan hak mereka untuk tidak terbatas pada pekerjaan yang dianggap khusus untuk laki-laki.
Menurut saya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa perempuan menolak untuk mengerjakan pekerjaan kasar. Faktor-faktor tersebut antara lain perbedaan kekuatan fisik antara laki-laki dan perempuan, risiko cedera yang lebih tinggi, dan ketidaknyamanan dalam melakukan pekerjaan tersebut. Namun, perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan minat mereka.
Studi dari UNESCO menunjukkan bahwa perempuan sering mengalami diskriminasi di tempat kerja dan kesulitan dalam mengembangkan keterampilan mereka di bidang pekerjaan yang lebih menantang. Akibatnya, minimnya perempuan yang bekerja di sektor industri dan teknologi yang memerlukan keahlian khusus. Namun, perempuan telah membuktikan kemampuan mereka dalam berbagai bidang pekerjaan, termasuk dalam pekerjaan yang dianggap kasar seperti di bidang konstruksi, perkebunan, dan transportasi.
Perjuangan hak pribadi perempuan terus berlangsung dan semakin menguatkan kesadaran akan hak-hak yang sama antara perempuan dan laki-laki di tempat kerja. Perempuan terus memperjuangkan hak mereka untuk tidak terdiskriminasi dalam memilih pekerjaan dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki di tempat kerja.
Relevansi dengan Konteks Perjuangan Hak Pribadi Perempuan Saat IniÂ
Perjuangan hak pribadi perempuan di Indonesia telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan berjalannya waktu. Kamala, T. (2019) dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul "The Indonesian Women's Movement and Gender Discrimination" menjelaskan bahwa gerakan feminis di Indonesia telah berkembang sejak tahun 1928, ketika perempuan Indonesia pertama kali memperjuangkan hak politik dan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Gerakan feminis ini terus berkembang hingga saat ini, dan telah membawa perubahan yang signifikan dalam masyarakat Indonesia.
Dalam konteks ini, kisah perempuan Sunda dalam peribahasa "cadu ngalantung ka lisung" memiliki relevansi yang kuat dengan perjuangan hak pribadi perempuan saat ini. Peribahasa ini menggambarkan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat yang memaksakan peran gender yang tidak sesuai dengan kemampuan dan minat mereka.
Perjuangan hak pribadi perempuan saat ini meliputi banyak hal, seperti hak pendidikan, hak ekonomi, hak politik, dan hak kesehatan. Perempuan masih dihadapkan pada berbagai diskriminasi dan kekerasan gender di berbagai sektor, termasuk di tempat kerja dan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, perjuangan hak pribadi perempuan masih menjadi isu penting yang perlu terus diangkat dan diperjuangkan.
Kisah perempuan Sunda dalam peribahasa ini dapat menjadi inspirasi bagi perjuangan hak pribadi perempuan saat ini, bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memilih pekerjaan dan mendapatkan perlakuan yang adil di tempat kerja maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam mengakhiri tulisan ini, peribahasa "cadu ngalantung ka lisung" membuktikan bahwa perjuangan hak pribadi perempuan telah berlangsung sejak lama. Perempuan Sunda pada masa lalu mengalami ketidakadilan yang sama dengan perempuan saat ini, namun dengan keberanian dan semangat perjuangan, perempuan dapat menciptakan perubahan yang signifikan dalam masyarakat.Â
Melalui gerakan feminis yang semakin kuat dan menginspirasi, perempuan kini semakin menemukan kekuatan untuk memperjuangkan hak-haknya. Semoga artikel ini dapat menjadi motivasi bagi semua perempuan untuk terus berjuang demi kesetaraan gender dan hak-hak pribadi mereka. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H