Radio adalah hiburan kami
Saya merupakan salahsatu generasi radio, bagaimana tidak pada tahun 1980-an kampung halaman saya belum tersentuh modernisasi. Dengan demikian, hiburan bagi masyarakat setelah lelah seharian bermandi matahari dan debu tanah.Â
Ya, hanya radio. Karena, televisi pada saat itu, sangat eksklusif. Selain karena harganya yang masih sangat mahal, sumber daya untuk menghidupkannya, yaitu listrik belum ada di desa kami. Harus berjalan sejauh hampir 1 km untuk setrum accu. Kalau radio, banyak baterai yang dijual bebas di warung. Jadi, ya selain harga alatnya lebih terjangkau kantong masyarakat, cara untuk mencari sumber dayanya pun mudah. Radiolah teman kami menghibur diri.
Sesungguhnya, selain hiburan banyak juga hal lain yang saya dapat dari radio. Seperti berita yang berisi informasi-informasi seputar lokal, nasional, bahkan hingga internasional. Saya dan teman-teman kala itu, bahkan suka bernyanyi jingle di sebuah radio, bila warta berita akan ditayangkan.
Jingle-nya seperti ini, "Setelah asyik kita bergoyang, kini saatnya dengar berita, lalalala" sebuah kegembiraan tersendiri kala menyanyikan jingle tersebut. Apalagi, bila dari sekolah ada tugas pelajaran bahasa Indonesia, yakni mencatat berita yang didengarkan.Â
Wah, kuping sampai ditarik-tarik, volume radio disetel kencang sekali. Kami pasang kuping baik-baik, seksama menyimak berita. Setelah berita selesai, kami pun saling pandang satu sama lain. Lalu, tertawa terbahak-bahak. Karena, lupa apa dari isi berita yang sudah disiarkan. Hanya jingle itulah yang kami ingat.
Kenangan yang lainnya adalah mendengarkan dongeng Sunda yang dibawakan oleh Wa Kepoh yang berjudul "Si Rawing". Ada juga dongeng dari Mang Jaya dengan judul 'Wawales, Amih Dewi, Neng Elis, dan lain-lain'. Saat mendengarkan dongeng tersebut, biasanya dilakukan sambil bekerja di kebun, menyabit rumput untuk pakan ternak, dan menggembala domba. Jadi, radio selalu saya bawa di keranjang untuk tempat rumput.Â
Sepanjang perjalanan menuju kebun, atau padang rumput untuk menggembala domba. Radio kadang saya kalungkan di leher, menjadi teman setia menghalau sepinya hutan dan rimbunnya pepohonan. Masa remaja yang selalu akan dikenang dengan indah, bagaimana kami para remaja putri, di sore hari selesai mandi.Â
Berkumpul mengelilingi radio transistor mungil yang mengisi kebersamaan kita di kampung yang sunyi tapi hangat. Kami mendengarkan lagu-lagu kenangan yang diputar oleh pembawa acara. Lagu-lagu pavorit saya kala itu, dinyanyikan oleh Nike Ardilla, Poppy Mercury, Mery Andani, Roma Irama, dan lain-lain.
Saya bahkan punya satu buku catatan, yang isinya adalah lirik dari lagu-lagu yang kami dengar di radio. Butuh perjuangan yang lumayan, agar sebuah lirik lagu bisa selesai kami tulis. Tahu sendiri, kan kalau siaran radio tidak bisa diputar ulang. Jadi, saya harus menunggu waktu, hingga tayangan acara tersebut hadir lagi. Nasib baik, bila lagu tersebut kembali diputar. Jika tidak, ya harus sabar-sabar menunggu.Â
Merupakan suatu kebahagiaan tersendiri, jika satu lagu bisa dihapal dengan mudah liriknya. Maka, pada senja yang indah berteman kuningnya sinar matahari. Kita para gadis kecil itu, menyanyi bersama lagu-lagu tersebut. Begini bunyi lagu yang sering kami dendangkan. Lagu yang berjudul Biarlah Aku Mengalah ini dinyanyikan oleh Nike Ardilla. Bila kamu penasaran, bisa ditonton di link berikut. https://youtu.be/p3HDY09Q-tw
Siang Itu Surya Membelai Bumi
Kuterima Sebuah Undangan
Kubuka Dan Kubaca
Sampul Berwarna Merah
Ada Namamu
Berlinang Air Mata....
Kurelakan Melepas Dirimu
Walau Sakit Aku Harus Terima
Mungkin Sudah Nasib
Aku Gadis Yang Malang
Ditinggal Kekasih
Kini Sendiri Lagi...
Hal lain yang melekat dalam ingatan adalah saat mendengar kisah horor nightmare pada malam Jum'at. Ini adalah momen berkumpul saya dengan teman-teman. Biasanya, kami berlima sahabatan sebagai teman satu kampung dan satu almamater SD dan SMP. Selepas pulang mengaji dari surau, kami berkumpul di rumah salahseorang. Setiap minggu, rumah tempat berkumpul itu gantian. Dengan begitu, hubungan kami terasa dekat bagai saudara.Â
Pada pukul 12.00, tepat tengah malam, saat semua anggota rumah sudah tertidur. Kami berlima mulai on di depan radio, berselimut tebal dan berkemul dalam sarung, memakai baju hangat, dan duduk berdempetan. Agar ketika cerita mulai beranjak klimaks dan menyeramkan. Kami tidak terlalu ketakutan.Â
Setelah mendengar kisah nightmare tersebut, biasanya rasa takut itu akan bertahan hingga tiga bulan lamanya. Tapi, entah mengapa kami selalu merasa ketagihan untuk mendengarkan kisah horor tersebut.
Radio hanya didengar oleh 13 persen masyarakat
Ada perasaan sedih yang menghujam ke ulu hati, saat melihat data di atas. Namun, begitulah kenyataannya sebagai mantan pendengar radio. Karena, jujur saja meskipun di rumah ada radio. Saya mulai jarang mendengarkan siaran radio. Paling ketika sedang ngadem di kolam, pada saat weekend. Barulah ada kesempatan mendengarkan radio. Jika di rumah, ya lebih fokus ke laptop dan hand phone.Â
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Semua hal, tidak saja radio yang bersifat benda mati. Bahkan, kita pun sebagai manusia yang hidup pasti akan berubah, dan meninggal. Eksistensi sesuatu akan hilang dan digantikan oleh suatu hal yang baru dan lebih baik, lebih maju, lebih memudahkan. Itu merupakan hukum alam yang patut kita sadari.
Data pusat statistik di atas bahkan memberikan saya sebuah angin segar. Bahwa ternyata, di jaman teknologi yang massif menggempur kita dari segala lini. Masih ada masyarakat dengan rentang usia 10 tahun ke atas yang mau mendengarkan radio. Walaupun persentasenya sangat kecil, hanya 13, 31 persen. Itu juga di tahun 2018, entah bagaimana dengan data yang tampil pada tahun 2022.Â
Hal tidak kalah menyedihkan juga terjadi pada nasib pembaca surat kabar dan majalah, sekitar 14,98 persen agak lebih banyak sedikit dibandingkan pendengar radio.Â
Kenyataan ini memukul kesadaran saya, bahwa saat ini di tempat tinggal saya agak kesulitan saat mau mencari penjual koran dan majalah. Beberapa penjual yang biasa mangkal, kini ketika saya ke sana, karena anak ada tugas dari gurunya harus membawa surat kabar. Sudah tidak saya temukan lagi, entah apakah mereka pindah. Tapi, yang membuat hati saya sedih adalah sebuah kenyataan. "Bangkrut neng, jarang ada yang beli, jadi tidak jualan lagi."
Radio akan tetap eksis, ini tandanya
Data, fakta, dan realita memang berkata seperti itu. Bahkan, berhenti mengudaranya beberapa radio di beberapa kota besar seperti Jakarta. Hal ini mau tidak mau membuat bulu kuduk meremang. Tapi, ada beberapa hal yang menurut saya merupakan sebuah pertanda baik bagi perkembangan industri radio ke depannya.Â
Jadi, bagi anda yang masih memiliki perangkat hiburan yang murah dan mudah ini. Jangan dulu tinggalkan radio, ya. Simpan saja dulu di atas nakas, radiomu itu. Pelihara baik-baik, dan pastikan masih bisa dioperasikan. Kita tidak tahu, suatu saat nanti radio akan eksis kembali. Simak beberapa pertanda berikut :
1. Teknologi bersifat relatif
Kerusakan jaringan internet beberapa waktu lalu, konon katanya akibat kabel yang ada di bawah laut rusak karena digerogoti oleh ikan hiu. Entah benar atau tidak. Tapi, faktanya beberapa hari jaringan internet kita mengalami gangguan. Hal ini menyadarkan kita, bahwa teknologi internet bukanlah hal yang akan selalu ada dan tersedia dalam kehidupan kita. Suatu saat kita juga harus mulai belajar untuk hidup tanpanya.Â
Beberapa wacana tentang kiamat internet, lagi-lagi membuat saya merasa sadar. Bahwa, sebagai manusia kita memang harus bisa beradaftasi dengan lingkungan yang bagaimana pun juga. Agar bisa tetap survival dan bertahan dalam menjalani hidup.Â
Sedari kini, kita harus mulai mengurangi interaksi dengan barang-barang yang memanfaatkan internet sebagai sumber utamanya. Sekali-kali, kita juga harus belajar mencari alternatif untuk informasi, hiburan, dan mempermudah pekerjaan dengan barang-barang yang alami dan manual tanpa jaringan internet.
Oleh karena itu, saya tetap memiliki radio di rumah dan memiliki persediaan baterai yang cukup di laci lemari. Agar suatu saat internet mengalami gangguan. Saya masih bisa mendapatkan informasi, hiburan, dan hal lainnya dari radio. Saya juga memastikan bahwa telepon jadul saya yang hanya bisa menelpon dan sms disimpan dengan apik. Buat jaga-jaga saja, saat smartphone tidak berdaya, karena jaringan internet tidak stabil. Maka, saya masih bisa terhubung dengan sanak keluarga nun jauh di kampung halaman.
2. Listrik dari energi fosil bisa habis
Kenyataan bahwa kita sangat bergantung pada listrik, saya rasakan saat sedang berbelanja di sebuah mini market. Saat akan membayar, ternyata aliran listrik mati. Otomatis dengan begitu, kasir tidak bisa memproses barang belanjaan. Padahal, antrean sudah panjang. Beberapa saat saya masih coba untuk bersabar dengan menunggu, walau tanpa kepastian. Namun, setelah setengah jam berlalu, akhirnya kami semua pasrah. Karena, banyak hal penting yang harus kami lakukan, selain menunggu listrik menyala kembali.Â
Hal ini menjadi sebuah pelajaran bahwa itulah yang akan kita alami, saat kita begitu bergantung pada energi listrik. Padahal, hanya aliran listrik. Bukan, karena energi listrik sudah habis. Apalagi, jika energi listrik kita habis. Tidak terbayangkan apa yang terjadi dengan kehidupan ini.Â
Listrik kita saat ini, konon berasal dari energi fosil, yakni sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui, dan persediaan energi tersebut suatu saat pasti akan habis. Oleh karena itu, kita mungkin harus bersiap untuk kembali hidup seperti dahulu. Tidur berteman malam yang gulita, hanya lampu teplok atau petromak berbahan bakar biji-bijian.
Saat memasak, kita mungkin harus kembali kepada tungku yang dinyalakan dengan kayu bakar. Sumber air dari sumur yang ditimba airnya secara manual, atau sumur bor. Nah, saat itu rasa-rasanya seperti akan kembali kita alami. Walau, jujur saja saya merasa tidak mau untuk menjalani hidup seperti itu.Â
Dengan demikian, agar kita tidak kaget nantinya. Saya masih menyimpan radio transistor di rumah dengan apik, handphone jadul, begitu pun tungku, dan sumur dengan timba. Karena, empat hal inilah yang dirasa akan sangat berguna, saat energi listrik kita suatu saat nanti habis.Â
3. Konten audio tidak akan pernah mati
Secara alami, sebenarnya animo masyarakat untuk mendengarkan itu tidak akan pernah mati. Karena, tidak enak juga rasanya menonton sesuatu gambar tanpa dilengkapi suara. Masih mending kita mendengar, walau tanpa melihat. Akan ada makna yang bisa kita ambil dan ditangkap oleh pikiran kita.
Bahkan, saat mendengarkan suatu konten. Kita masih bisa melakukan beberapa aktivitas lain yang lebih produktif. Berbeda dengan harus menonton secara visual. Maka, kita harus fokus ke tontonan tersebut, dan tidak disambi dengan mengerjakan hal lainnya. Walau sebenarnya, masih bisa ya. Contohnya, saat menonton sinetron, kita bisa sambil makan atau menyeterika pakaian. Meski sesekali, mata lebih fokus ke totntonan daripada ke makanan atau baju yang sedang disetrika.
Kenyataan ini menjadi sebuah pertanda bahwa, eksistensi radio sebenarnya tidak akan pernah mati dan konten-konten dalam radio sampai kapan pun akan tetap relevan dengan kehidupan kita.Â
Saat kita tetap bisa optimis dan berpikir positif. Maka, semesta akan mengabulkan semua harapan dan keinginan kita tersebut. Jaya selalu radioku. Sampai kapan pun kau akan selalu eksis dan mengudara, bersama begitu banyak kenangan di dalamnya. Tidak hanya menjadi kenanganku, tapi juga merajut memori dan kenangan generasi-generasi berikutnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H