Oleh karena itu, masyarakat seperti 'keranjingan' alih-alih 'kecanduan' untuk menjadikan segala sesuatu yang ada di hadapannya dibuat menjadi sebuah konten, dan diunggah ke media sosial.Â
Mirisnya, euforia tersebut sanggup mengikis sedikit demi sedikit rasa empati yang ada di hati. Entah, karena pertimbangan ingin menghasilkan uang yang banyak, mengejar target konten viral, atau menjadi pesohor lantaran mampu menghasilkan konten yang trending.
Tapi, menurut saya tidak sampai segitunya juga. Ngonten ya ngonten saja, cari topik yang mendidik dan memberikan manfaat bagi khalayak.Â
Jangan hanya karena mengejar trending, kepedulian dan rasa empati ditanggalkan begitu saja. Apakah tidak ada rasa tepo saliro dalam diri kita.Â
Mungkin terbetik rasa di hati, 'andai bencana ini menimpa saya, bagaimana perasaan saya jika orang yang datang hanya sibuk ngonten, tanpa memberikan rasa welas asih apalagi bantuan.'
Wisata bencana, jika kita cari di mesin pencarian google dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan berkunjung ke tempat-tempat yang pernah mengalami musibah atau bencana yang disebabkan oleh lingkungan secara alami atau bencana buatan manusia.Â
Kita mungkin bisa berkunjung ke lokasi bencana sebagai kegiatan wisata. Kita bisa mengambil foto-foto, selfie dan sebagainya.Â
Namun, perlu dicatat mungkin waktunya bukan saat bencana itu baru saja terjadi, ya. Nanti, setelah dua atau tiga tahun bencana tersebut berlalu.Â
Kamu bisa datang ke tempat bencana, saat peristiwa itu sedang dan masih berlangsung. Bila memang kamu terdaftar sebagai relawan bencana atau datang ke sana untuk memberikan bantuan berupa tenaga, materi, dan pengobatan.Â
Namun, jika niat kamu hanya ingin mengabadikan momen. Mending ditunda saja dulu rencana dan keinginan tersebut.Â
Pertama, hal tersebut sebenarnya mengundang bahaya juga buat diri kamu. Bagaimana jika saat kamu sedang berada di tempat yang sedang bencana tersebut, bencana susulan kembali terjadi. Bukan saja diri kamu yang bisa terkena imbasnya.Â