Dunia kita saat ini, sangat dipengaruhi oleh hustle culture. Dimana masyarakat beranggapan bahwa kesuksesan hanya akan didapat saat kita bekerja keras, bahkan gila kerja. Hingga melupakan porsi istirahat untuk tubuh, dampaknya saat sudah kewalahan.Â
Bukan hanya tubuh yang akan sakit dan menuntut rehat, namun juga semua aspek kehidupan. Termasuk keluarga dan pekerjaan yang kita bela mati-matian pun tetap akan menuntut untuk dirampungkan.
Disadari atau tidak, jika kita terlalu memporsir diri untuk sebuah pekerjaan. Hal tersebut, meskipun termasuk ke dalam dedikasi dan etos kerja. Namun, tidak akan baik dampaknya bagi diri kita sendiri. Terutama, bagi kesehatan.Â
Adanya hustle culture membuat kita kekurangan waktu untuk me time. Sehingga, dengan hal tersebut menyebabkan jiwa kita rentan stres dan merasa tertekan. Untuk menetralisir hustle culture dan menerapkan gaya hidup yang seimbang.Â
Penting kiranya bagi kita untuk menerapkan sebuah gaya hidup yang lebih manusiawi dan sesuai dengan kebutuhan kita. Dimana ada porsi yang seimbang antara, kebutuhan istirahat, bekerja, beribadah, keluarga, dan sosialisasi.
Gaya hidup yang dimaksud adalah slow living. Berikut sudah saya rangkumkan dari berbagai sumber.
A. Slow Living sebagai sebuah gaya hidup
Seperti dijelaskan popbela.com, bahwa slow living asal mulanya dimulai dari akronim kata SLOW. S = Sustainable, L= Local, O= Â Organic, dan W= Whole.Â
Gerakan ini muncul untuk pertama kali di kota Roma pada tahun 1980-an dalam hal slow food movement. Artinya, saat kita mengkonsumsi makanan, maka kita harus menikmati makanan tersebut secara lambat.Â
Mengunyahnya hingga lumat dengan pelan-pelan. Agar tubuh dapat menyerap vitamin dan sari pati makanan. Dengan demikian, maka pergerakan makanan ke usus pun akan menjadi lebih baik, dan pencernaan pun akan lebih sehat.