Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memutuskan Child Free, Apa Saja Dampaknya?

18 September 2022   13:08 Diperbarui: 18 September 2022   13:15 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menikah tanpa anak |Tribunnews.com

Apa kabar pasangan yang baru menikah? Selamat menikmati hidup baru, ya. Semoga tidak menjadi galau setelah membaca tulisan ini.

Baru-baru ini Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merilis data yang cukup membuat masyarakat tercengang. Bagaimana tidak, selama ini negara kita digadang-gadang akan memiliki bonus demografi pada tahun 2045. Dimana pada tahun 2016, sekitar 32,24 persen atau 83,4 juta jiwa penduduk Indonesia didominasi oleh anak-anak. Artinya, satu diantara tiga penduduk merupakan anak-anak.

Secara umum data hasil proyeksi penduduk Indonesia dari tahun 2016 hingga 2022 diprediksi akan mengalami peningkatan. Sebaliknya, pada tahun 2023 tampak ada tren penurunan. Jika pada tahun 2022 berjumlah 84.323.000. Pada tahun 2023 menjadi 84.032.000.

Apa yang terjadi?

Hal ini, diprediksi akan terjadi sejalan dengan maraknya fenomena child free yang mulai tren di luar negeri. Meskipun, masih menuai pro dan kontra. Di Indonesia, wacana tentang child free mulai terdengar saat Influencer sekaligus youtuber Gita Savitri atau biasa disapa Gitasav bersama suaminya, Paul Andre memutuskan untuk tidak memiliki anak, atau child free. 

Penggunaan istilah child free untuk menyebut orang-orang yang berkomitmen untuk menikah tapi tidak memiliki anak,  mulai populer dan marak digunakan pada abad 20. Tidak mengherankan, mengingat pada abad ini, dunia dikuasai oleh generasi milenial dan gen Z. 

Sudah kita pahami bersama, bahwa tipikal dari dua generasi tersebut adalah memiliki pola pikir yang matang ketika memutuskan sesuatu hal, terkait kehidupan dan masa depan. Apalagi ini, tentang bab pernikahan dan memiliki anak. Dua hal yang sangat serius dalam kehidupan seorang manusia. Tidak bisa kita main-main tentang dua hal ini. Mereka tentu akan berpikir masak-masak, serta memperhitungkannya secara mendalam. 

Mereka cenderung akan memikirkan banyak hal, dari segala aspek dan sudut pandang. Disertai pula dengan analisis untung ruginya. Karena, menjadi orang tua merupakan sebuah tanggung jawab yang maha berat. Tidak hanya siap secara fisik dan materi saja. Tapi juga, menuntut kesiapan mental yang mumpuni.

A. Definisi Childfree

Keadaan hidup menikah tanpa anak,  atau bebas anak. Di dalam bahasa Inggris, disebut dengan Childfree merupakan sebuah keputusan atau pilihan hidup yang dilakukan secara sadar oleh pasangan yang menikah. Bebas anak dalam hal ini, tidak hanya anak kandung, melainkan bebas dari anak tiri atau anak angkat. Pokoknya, sama sekali tanpa adanya anak di dalam rumah tangga.

Oxford Dictionary memberikan definisi kepada istilah tanpa anak atau childfree ini sebagai sebutan kepada seseorang yang memilih untuk tidak memiliki anak, didasarkan pada suatu alasan tertentu.

Dalam sejarahnya, istilah childfree dibuat berbahasa Inggris pada akhir abad ke-20. Seorang penganut kepercayaan Maniisme, yakni St. Augustine meyakini bahwa membuat anak merupakan suatu sikap yang tidak bermoral. Karena, hal tersebut, berdasarkan kepercayaan Maniisme, menjebak jiwa manusia dalam tubuh yang tidak kekal.

B. Childfree sebagai isu feminisme

Fenomena child free yang kini tumbuh subur, bagai jamur di musim hujan itu disinyalir merupakan sebuah isu feminisme. Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.,M.Phil., -- seorang ulama, akademisi, peneliti, dosen, dan Cendekiawan Muslim Indonesia menegaskan, bahwa :

Gagasan child free adalah hasil dari gerakan feminisme yang mendeklarasikan menikah tidak perlu mempunyai anak. Sebab, jika memiliki anak dianggap akan sangat menyusahkan kaum hawa.

Sejalan dengan hal tersebut, di dalam agama Islam, childfree merupakan sebuah keputusan yang dilarang untuk dilakukan. Ditinjau dari segi ilmu fiqih, bahwa penerapan childfree tidak didasarkan pada alasan yang jelas. Terkesan hanya menggunakan alasan perihal duniawi saja, seperti : karir, pekerjaan, dan ekonomi.

Di dalam Islam, tren Childfree ini bertentangan dengan alasan mengapa Allah Swt., memberikan anak yang banyak kepada manusia. Seperti dikatakan dalam hadits, 

Umar Bin Khatab berkata :"Perbanyaklah anak, karena kalian tidak tahu dari anak mana pintu rejeki akan terbuka lebar. 

Diyakini bahwa jumlah umat yang banyak merupakan karunia , sehingga kaum Nabi Syuaib  A.S. diperingati dengan karunia mereka, yaitu jumlah penduduk yang banyak. Padahal, dahulunya sedikit.

Ada beberapa alasan, mengapa gagasan childfree ini, begitu mudah masuk ke dalam pemikiran masayarakat, khususnya pasangan-pasangan muda dari kalangan generasi milenial dan gen z.

1.  Lebih fokus memberikan cinta, perhatian, dan kasih sayang kepada pasangannya. 

Kita tahu sendiri, ya baru beberapa bulan atau satu tahun menikah. Lalu, brojol si kecil itu, rasanya tidak cukup waktu untuk saling mencurahkan rasa cinta dan kasih sayang. Karena, perhatian istri beralih menjadi lebih fokus untuk mengurus bayi dan tektek bengek rumah tangga yang lainnya.

Jika, tidak memiliki anak. Mereka, pasangan yang memutuskan untuk childfree berharap akan bisa untuk menikmati masa-masa indah dan romantisme pernikahan. Bagaimana saling menyayangi, family time, menghabiskan waktu untuk bulan madu dan hal-hal indah lainnya. Tidak tergesa-gesa untuk mengalami kerepotan rumah tangga. Sehingga, kebahagiaan dalam pernikahan akan terasa dinikmati berdua saja.

2. Punya banyak waktu untuk mengeksplorasi bakat dan kreativitas masing-masing secara lebih maksimal.

Setiap individu memiliki bakat, impian, dan cita-cita yang ingin diwujudkan. Dengan menikah dan memiliki anak, bisa saja semua hal tersebut menjadi bias, luntur, bahkan hilang entah ke mana. Tersapu oleh rutinitas harian dalam kehidupan rumah tangga. Waktu 24 jam terasa begitu cepat berlalu, dan seperti tidak cukup. Apalagi, bagi perempuan. 

Jangankan untuk mengejar mimpi, mengeksplorasi bakat, dan memaksimalkan kreativitas. Untuk bisa mandi dan makan dengan tenang pun. Sungguh sesuatu hal yang sangat luar biasa dan diidamkan. Saat anak-anak masih kecil, seorang perempuan seperti kehilangan diri dan jati dirinya. Ia adalah milik suami dan anak-anaknya. Bahkan, saat menjadi istri seseorang. Nama pun kadang menjadi hilang. 

Coba saja, anda tinggal di perumahan. Suami anda bernama Joko, dan memiliki anak bernama Putri. Maka, anda akan dipanggil Ibu Joko, atau Mama Putri. Umpama, nama anda adalah Sari. Percaya sama saya, nama itu akan hilang. Tidak akan ada yang mengenali. Bahkan, saat tukang paket bertanya kepada tetangga pinggir rumah. 

"Rumah bu Sari, no. 205 yang mana, ya?"

Dijamin, tidak akan ada yang tahu. Kecuali, jika anda yang keluar rumah, dan berteriak, "Saya, Kang!"

Menurut Zoe Krupka --seorang Psikoterapis ia mengatakan bahwa alasan perempuan untuk memilih childfree itu, sama sekali tidak didasarkan pada hal-hal yang di luar kendali dirinya, seperti : ketidaksuburan atau kesempatan. 

Melainkan adanya kekhawatiran tidak bisa memberikan fasilitas yang layak untuk anak, keuangan yang terbatas, pekerjaan yang mengharuskan berpindah-pindah, overpopulasi, perubahan iklim, masalah kesehatan, dan naluri keibuan yang kurang. Dari beberapa alasan tersebut, menurut Zoe tidak ditemukan satu pun alasan untuk bersenang-senang seperti stigma negatif masyarakat.

C. Childfree dan dampaknya

Jika dilihat sepintas lalu, fenomena childfree ini terasa sangat berpihak kepada perempuan. Agar perempuan bisa berkuasa atas tubuhnya. Tidak lagi, berada dalam penguasaan dan menjadi obyek bagi orang lain. Dalam hal ini, anak-anak. Namun, tahukah anda. Dampak negatif dari tren childfree pun tidak kalah dahsyat. 

1. Dampak kesehatan

Disadari atau tidak, jika seorang perempuan yang berkategori subur, dan tidak mandul. Tapi, memutuskan untuk tidak memiliki anak. Tentu saja, ia harus menggunakan kontrasepsi, melakukan proses sterilisasi, atau hal-hal lainnya untuk mencegah agar indung telur tidak dibuahi. 

Berbagai upaya tersebut ternyata akan berdampak kepada kesehatan perempuan itu sendiri. Saat terlalu lama mengkonsumsi pil kontrasepsi atau suntikan kontrasepsi. Maka, kondisi badan akan kelebihan hormon dan berpotensi menjadi obesitas, wajah rusak dengan plek-plek hitam, dan resiko pendarahan pada rahim bila memasang IUD terlalu lama.

Hamil dan menyusui ternyata dapat menurunkan resiko kanker payudara dan kanker rahim pada perempuan. Dengan banyaknya perempuan yang memutuskan untuk childfree. Hal itu, secara tidak langsung akan meningkatkan resiko perempuan terkena kanker payudara dan kanker leher rahim.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, kanker payudara menempati urutan pertama, terkait jumlah penderita kanker terbanyak di Indonesia. Kanker payudara juga menjadi penyumbang kematian terbanyak akibat kanker. Kejadian kanker payudara di Indonesia, saat ini terus meningkat jumlahnya.

Apalagi, mungkin nanti saat banyak perempuan yang memutuskan untuk childfree. Otomatis mereka tidak hamil dan menyusui. Maka, populasi kasus kanker pun tidak dapat ditekan. Karena, kanker disebabkan oleh tumbuhnya sel-sel abnormal pada payudara dan leher rahim. Hal itu disebabkan oleh hormon dan mutasi gen yang diturunkan secara genetik.

2. Dampak Sosial 

Saat tren ini menjamur dan diterapkan sebagai gaya hidup masyarakat kita. Maka, akan terjadi dampak sosial yang tidak main-main. Bukan saja pada individu, melainkan juga untuk negara.

Jumlah penduduk usia produktif di negara kita akan berjumlah sedikit di masa depan. Hal ini akan berdampak pada masalah sosial dan ketenagakerjaan. Beban negara akan semakin besar untuk membaiayai para lansia. Karena, jumlah usia produktif semakin sedikit saja dibandingkan jumlah usia tidak produktif.

Secara individu, jika kamu tidak memiliki anak yang akan menghibur dan sesekali mengunjungi di saat sakit. Maka, di masa tua kamu akan merasa kesepian. Ingatlah, mungkin saat muda, kita merasa kuat, tangguh, dan serba bisa. Tapi, saat tua nanti, ketika badan sudah tidak gagah lagi, lutut tidak bisa bergerak dengan bebas, beragam penyakit menggerogoti badan. 

Maka, akan muncul sekelumit kerinduan akan celoteh riang anak kecil. Derai tawa dan kehangatan keluarga. Sanggupkah kita, menghabiskan masa tua dalam kesendirian yang efeknya dapat membunuh secara perlahan.

3. Dampak ekonomi 

Diakui atau tidak, pertumbuhan ekonomi sebuah daerah atau negara, sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang berada di daerah atau negara tersebut.

Pertumbuhan penduduk yang sangat lambat, apalagi tidak ada akan menyebabkan beban negara bertambah banyak. Karena, negara harus menanggung biaya hidup dari penduduk yang berusia non produktif.

Iklim konservatif, tabu, dan stigma negatif

Kita tidak bisa begitu saja bereaksi untuk membendung dan menangkis hadirnya sebuah tren. Baik yang berdampak positif, maupun memiliki efek negatif bagi bangsa dan negara. Karena, tren biasanya akan populer dalam jangka waktu tertentu saja. Seiring berjalannya waktu, maka masyarakat sendiri yang akan melakukan kontrol sosial.

Apakah tren tersebut bisa diadopsi dan memiliki efek yang baik untuk masa depan, atau akan menimbulkan banyak masalah bila banyak diterapkan.

Indonesia dengan adat ketimurannya, memiliki tiga senjata ampuh yang akan mem-filter pengaruh buruk sebuah tren. Kita sendiri mengetahui, bagaimana masyarakat Indonesia yang konservatif, menekankan tujuan pernikahan pada keturunan. 

Tabu, hukumnya bila pasangan yang sudah menikah, apalagi kondisi keduanya subur. Tapi, memutuskan untuk menunda memiliki anak. Stigma negatif pun akan disematkan pada pasangan yang sudah lama menikah, tapi belum ada anak. Apalagi, dengan sengaja tidak mau ada anak. 

Kembali lagi, pada individu masing-masing. Karena, sejatinya memiliki anak dan tidak adalah pilihan hidup. Hak otoritas berada pada diri setiap individu. Dalam hal ini, kita tidak dapat menyalahkan atau menghakimi. 

Untuk dampak bagi negara, mungkin pemerintah bisa menerapkan sebuah kebijakan yang adil. Karena, kalau semua masyarakat memilih childfree, bagaimana nasib negara kita di masa depan. 

"Selamat berbulan madu untuk pasangan muda, semoga cepat dikasih momongan, ya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun