Kang Maman Suherman --seorang penulis sekaligus jurnalis, reporter dan pemimpin redaksi alumni jurusan kriminologi UI Ini mengatakan, tingkat pemahaman rendah yang ditunjukkan peserta didik terhadap bacaan ini menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh guru di Indonesia. Bahwa, ternyata kegiatan literasi membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai itu belum optimal.Â
Peserta didik baru dihimbau dan diajak untuk membaca. Tanpa diajak untuk mengerti, paham, dan menerapkan hasil bacaan dalam kehidupan sehari-hari.
Padahal, di dalam agama Islam, kita diajak untuk membaca itu agar kita bisa mendapatkan pelajaran dan hijrah. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari gelap menjadi terang. Bahwa membaca itu ibarat cahaya yang akan menerangi jalan kita yang gelap gulita.
Literasi seyogyanya harus berperan menjadi tongkat yang membantu kita berjalan dalam keremangan cahaya.Â
Tugas guru adalah mengajak siswa untuk memberikan review apa yang sudah dibaca dengan melisankannya di depan teman-temannya, menuliskannya dalam bentuk hasil review dengan teknik Fishbone, AIH, dan Y-Chart.Â
Tingkatan tertinggi adalah peserta didik mampu mempraktikkan hasil bacaan dalam kehidupannya. Menjadi sebuah harapan dan kebanggaan pula apabila peserta didik mampu menuliskan lagi hasil membaca tersebut ke dalam genre yang lain.
Hal ini menjadi sangat penting, karena ciri kita sudah memahami bacaan adalah saat bacaan tersebut berfungsi dalam tiga hal berikut.
1. Enlightment, membaca memberikan pencerahanÂ
Setelah melalui proses membaca, kita harus mendapatkan pencerahan. Dari hal yang pada awalnya terasa gelap gulita, menjadi terang benderang.
Umpama, ketika kita dihimpit sebuah kesulitan. Tiada orang yang bisa diajak berdiskusi. Karena, hal yang sedang menjadi masalah itu tidak mudah untuk dipahami orang lain.
Maka, saat kita membaca sebuah buku yang berkaitan dengan masalah tersebut. Sedikit demi sedikit kita akan merasa tercerahkan. Sehingga, pola pikir kita pun berubah menjadi lebih terbuka. Tidak lagi tertutup dan dunia seakan mau kiamat.