3. Saat ini sedang digalakkan membaca karena dipaksa agar terbiasa. Beberapa daerah di Indonesia sudah memiliki program gerakan literasi. Bahkan, hampir di seluruh wilayah Nusantara.Â
Agenda dari gerakan literasi ini, di antaranya tertuang dalam program pembiasaan yang secara merata diterapkan di setiap sekolah di seluruh Indonesia.Â
Setiap pagi, tiga puluh menit sebelum belajar, peserta didik dihimbau untuk membaca. Apa saja yang penting ada yang dibaca.
Di SMPN 1 Sumedang, pembiasaan ini tertuang dalam kegiatan yang bersumber pada profil pelajar Pancasila. Salah satu kegiatannya adalah literasi membaca. Dilaksanakan setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis, selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Kegiatan ini dilakukan secara berjamaah di lapangan upacara.
4. Membaca karena kesadaran bahwa membaca itu mutlak dilakukan, karena sangat besar manfaatnya. Mungkin belum banyak dilakukan. Hanya segelintir orang saja yang telah secara konsisten dan komitmen melakukannya. Ya, sebagian kecil tersebut mungkin para pegiat literasi, duta baca, sastrawan dan budayawan, dan lain-lain.
Hasil dari gerakan literasi yang dilaksanakan secara marathon di seluruh Indonesia ini, baik yang membaca dengan alasan butuh, ingin, dipaksa, dan kesadaran diri.Â
Akhirnya, tingkat buta huruf masyarakat secara perlahan tapi pasti, menurun hingga o,1 persen pada tahun 2022. Padahal, di tahun 2005, tingkat buta huruf masyarakat Indonesia mencapai angka 10 persen.
Sejauh ini, gerakan literasi telah menampakkan taringnya. Namun, kita jangan bangga dulu, hingga lupa daratan. Bersyukur boleh, senang sedikit itu normal, tapi bersiap untuk tantangan yang lebih susah adalah sebuah kebijaksanaan.
Tingkat Pemahaman terhadap Bacaan Masih Rendah
Data mencatat bahwa tingkat pemahaman masyarakat Indonesia akan apa yang dibaca, di Jakarta saja, yang notabene merupakan ibu kota negara, hanya lima puluh sekian persen.
Semakin ke timur, daerah Papua dan lainnya tingkat pemahaman itu semakin rendah, mungkin tersisa hanya sebelas, hingga dua belas persen saja.