Sudah menjadi santapan publik, jika hubungan orang tua dan anak, dan sebaliknya anak dan orang tua. Di negara kita, bahkan di beberapa negara lain juga menerapkan pola sandwich generation.
Maksudnya, saat anak-anak kecil orang tua berjibaku dan bekerja keras membanting tulang untuk membiayai anak. Dari mulai kesehatan, biaya hidup, pendidikan, mendapatkan kerja, hingga melepas mereka ke dalam mahligai pernikahan.
Setelah itu, saat orang tua mulai uzur dan sakit-sakitan. Maka, anaklah yang harus gantian merawat, membiayai pengobatan, biaya hidup, dan lain-lain kebutuhan orang tua. Begitu seterusnya, lingkaran itu terus berulang membentuk sebuah circle sandwich generation.Â
Bagaikan lingkaran setan, circle ini tidak mudah diputus begitu saja. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, fenomena sandwich generation ini begitu susah diurai benang kusutnya.
Pertama, orang tua kehabisan energi dan materi untuk membesarkan anak-anak. Apalagi, jika anak yang dimiliki dan harus diurus lebih dari satu.Â
Sehingga, seumur hidupnya, orang tua terus saja berjuang, mencari nafkah tiada henti. Hal ini menjadi penyebab di masa tua mereka tidak memiliki dana pensiun.
Kedua, orang tua merasa, "Ah tenang saja, kan ada anak-anak yang sudah bekerja dan menghasilkan uang. Tidak mungkin mereka akan membiarkan orang tua kesusahan uang untuk hidup di masa tua."
Setidaknya, anak-anak yang sudah diurus dan dibesarkan sejak kecil hingga sekarang sukses itu akan berbakti dan membalas jasa orang tua dengan cara membiayai hidup orang tua di masa mereka lanjut usia.
Ketiga, orang tua beranggapan bahwa memiliki anak dan merawatnya dari kecil itu seperti sedang merawat tanaman. Saat tanaman itu tumbuh besar dan berbunga. Â Maka, musim panen tidak akan lama lagi.Â
Orang tua yakin bahwa, saat mereka tua dan anak-anak beranjak dewasa dan sukses merupakan waktu mereka untuk panen bakti dan limpahan kasih sayang dari anak. Baik secara moril, maupun materil.