Kita hidup di negara yang terkenal dengan lagu Tanah Surga. Siapa yang tidak kenal syair lagu dari Koes Plus ini:
"Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman"
Betul sekali apa yang dikatakan lirik dalam lagu tersebut. Bahwa Indonesia adalah negara dengan sekepal tanah yang berasal dari surga.
Karena, di negara beriklim tropis ini. Jangankan menanam di tanah, yang sudah jelas-jelas merupakan habitat bagi tanaman.Â
Dalam media air, kayu mati, dan batu sekalipun, bahkan tanpa usaha menanam dari manusia. Tumbuhan bisa hidup dan berbuah.
Itulah istimewa dan uniknya, tanah di negara kita. Semua jenis tanaman bisa tumbuh dan menghasilkan banyak buah.
Bahkan, tanaman dari negara beriklim kering dan basah pun dapat hidup dengan subur di negara kita. Sebut saja kurma dari Arab, dan anggur dari negara yang memiliki iklim 4 musim, yakni Eropa.
Ironinya, meskipun negara ini sangat kaya akan tanaman. Tapi, harga sayuran dan buah-buahan mahal.Â
Bahkan, beberapa komoditi yang menjadi bahan baku makanan, seperti : kacang kedelai sebagai bahan baku membuat tahu dan tempe; gandum sebagai bahan baku membuat mie dan roti, dan banyak lagi bahan pangan lainnya yang notabene sebenarnya dapat kita tanam sendiri dan pasti akan subur dan hasilnya banyak bila ditanam di negara kita.Â
Tapi, lagi-lagi untuk semua bahan pangan tersebut kita harus mengimpor dari negara lain. Bahkan, termasuk juga untuk bahan pangan utama seperti beras dan jagung. Padahal, dahulu negara kita pernah menjadi lumbung beras bagi negara lain.
Ada yang salah dengan penataan dan pemanfaatan lahan kita. Sehingga, sebagai masyarakat yang hidup di negara agraris atau yang mengandalkan lahan pertanian dan mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Kita telah gagal menjadi masyarakat yang agraris.
Buktinya, cabai buat sambal saja kita harus beli. Tomat, bawang daun, bawang merah, bawang putih, serai, bahkan sayuran seperti kemangi, sawi, dan lain-lain yang sebenarnya bisa kita tanam sendiri dan dapat tumbuh dengan begitu mudah. Namun, kita harus membelinya untuk bisa dikonsumsi sehari-hari.
Ada beragam faktor yang menjadi penyebab mengapa semua ini bisa terjadi.
Pertama, masyarakat kita memiliki pola pikir ingin serba praktis. Sehingga, menganggap bahwa menanam itu tidak praktis, mengeluarkan tenaga, dan biaya. Selain itu, memakan waktu yang lama sebagai proses dari menanam hingga panen.Â
Dari mulai harus menebar benih, menunggu benih sprout, memindahkan benih ke tempat yang lebih luas, memupuk, menyiangi, menunggu tanaman berbuah, hingga panen memerlukan waktu tunggu yang tidak sebentar.Â
Daripada harus menjalani proses selama itu. Membeli kepada Abang sayur adalah solusi yang dapat dikatakan lebih praktis. Dengan uang lima ribu rupiah, kita akan langsung mendapat cabai, tomat, dan bawang yang kita inginkan.
Kedua, rasa malas. Hanya sedikit dari kita yang merasa sayang membuang potongan akar seledri dan bawang daun, lalu dengan sukarela dan sedikit tenaga mau menancapkan kedua batang tanaman tersebut dalam tanah yang ditampung dalam botol bekas.Â
Dengan harapan suatu hari nanti, tanaman tersebut akan berbakti memberikan tunasnya untuk dapat kita petik dan menjadi teman bagi ceplok telur yang kita buat di pagi hari.
Seperti juga saya. Terkadang rasa enggan dan perasaan tidak mau ribet itu menguasai pikiran. "Nanti saja lah, belum tentu juga apa yang ditanam itu tumbuh. Bagaimana kalau busuk, malah lebih berabe". Itu kata suara hati yang diliputi rasa malas.
Padahal, bila kita rajin dan mau sedikit meluangkan tenaga, menyingsingkan lengan baju, dan menancapkan sisa sayur dalam tanah dan ditaruh di pekarangan. Setidaknya, untuk sayur hari ini, kita tidak harus direpotkan untuk mengejar Abang sayur.
Oleh karena itu, agar kita tidak disebut sebagai masyarakat yang gagal hidup di negara agraris. Ada beberapa kunci sukses yang harus kita lakukan, sekarang juga. Tidak bisa menunda-nunda lagi.Â
Karena, saat ini kita sudah berada pada tahap darurat agraris. Ya, bagaimana tidak sekarang harga cabai sedang tidak baik-baik saja.Â
Masa dengan uang lima ribu, hanya dapat cabai rawit lima biji. Kan tidak puas lah ya, masak makan sambal rawitnya cuma lima biji. Kan nanggung.
Yok menanam sekarang jugaÂ
Kumpulkan semua plastik bekas minyak goreng, botol bekas minuman yang berukuran lumayan besar, kotak susu dari plastik, dan bungkus bekas yang lainnya. Lalu, isi dengan tanah dari pekarangan rumah. Bila tidak ada tanah, isi dengan air saja.Â
Setelah itu, bila hari ini kamu membeli bawang daun dan seledri, tomat atau cabai, dan sayuran lainnya. Setelah dipakai, sisihkan batang ke bawah yang ada akarnya, lalu taruh pada tempat yang sudah diisi air.Â
Setelah muncul akar baru, taruh tanaman tersebut pada wadah yang sudah diisi tanah. Bila kamu akan menaruh pada tempat dengan media air. Hari ini kita menyebutnya teknik hidroponik.Â
Maka kamu harus menempatkan wadah lain dengan ukuran yang kurang lebih sama dengan wadah tersebut untuk menaruh tanaman. Jangan lupa, taruh kain flanel agar air dapat naik ke permukaan tanaman. Mudah kan?
Jangan merasa akan sia-sia
Menanam adalah seperti menyimpan harapan dalam benih yang kita tabur dalam persemaian.Â
Oleh karena itu, jangan ada terlintas dalam pikiran, bahwa apa yang kita lakukan dengan menanam tersebut adalah pekerjaan yang sia-sia, hanya menghamburkan energi saja.
Kita harus yakin, bahwa bila kita telah melakukan proses menanam. Maka, sekecil apapun, pasti kita akan menuai. Kita akan panen dari apa yang telah kita tanam.
Buang jauh-jauh perasaan, ah ribet, lama, tidak praktis, dan lain-lain. Tapi, tanam pula dalam hati kita, benih-benih pengharapan. "Wah, nanti kalau mau masak mie, tinggal petik saja nih sawi dari pot depan rumah. Lebih hemat, tidak harus keluar uang."
Tanam, tanam, dan tanamÂ
Seperti pilosofi menabung atau investasi. Dengan sistem dollar cost average alias menabung rutin. Maka, begitu juga dengan filosofi menanam. Ya, tanam, tanam, dan tanam saja, secara rutin apa yang bisa kamu tanam. Lakukan terus, nanti pun kamu akan memetik keuntungannya.Â
saya pun baru melakukan hal ini. Bahkan baru saja berjalan beberapa Minggu. Tapi, hasilnya luar biasa. Tanaman kangkung yang saya taruh di baskom yang saya isi air, kini sudah mulai bisa dipanen. Lumayan, untuk sayur kangkung pavorit keluarga, saya tidak harus mengeluarkan uang.
Begitu juga dengan tanaman lobak, sawi, dan daun bawang, sudah mulai bisa dipanen. Saat pagi-pagi harus membuat telur ceplok untuk sarapan pak suami dan anak-anak, saya tinggal gunting saja tuh daun bawang dalam botol plastik di pinggir dapur. Praktis dan ekonomis, lebih dari itu menyehatkan. Karena, ditanam secara organik, tanpa memakai pupuk kimia.
Manfaatkan lahan yang adaÂ
Tanamkan prinsip dalam pikiran kita. Bahwa, jangan sampai ada lahan kosong di sekitar rumah. Baik di halaman pekarangan, samping rumah, dan belakan rumah. Apalagi, bila kita memiliki kolam ikan, tanah kosong, balkon di lantai dua. Manfaatkan semua space itu untuk bercocok tanam.
Banyak teknik, metode, dan media yang dapat dijadikan referensi dalam memulai menanam. Coba dari tanaman yang sering kita beli di Abang sayur saja dulu, seperti : cabai rawit, tomat, bawang daun, seledri, dan lain-lain. Dengan niat awal untuk menjaga ketahanan pangan di rumah kita.
itulah, beberapa kunci sukses menjadi masyarakat yang tinggal dan hidup di negara agraris.
Salamat mencoba, semoga sukses. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H