Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Fenomena Nyai di Jaman Belanda Peran dan Fungsinya

19 Agustus 2022   15:58 Diperbarui: 19 Agustus 2022   16:03 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi nyai | Tribunnews.com

Di dalam peribahasa Sunda, kita mengenal ungkapan piruruhan dika-tengahimah-keun. Berbicara tentang kata 'piruruhan', maka kita akan diajak berpetualang ke dunia pandai besi dengan hasil kreativitasnya seperti golok, pedang, dan perkakas lainnya yang terbuat dari besi. Di Jawa Barat, kita mengenal golok dan pedang Cikeruh-Sumedang.

Menurut sejarah, kawasan ini pada jaman dahulu memang merupakan sentra pandai besi, dalam membuat pedang dan golok. Seiring dengan berkembangnya jaman, dan pasang-surutnya industri pandai besi. Kawasan Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, kabupaten Sumedang ini sekarang beralih posisi menjadi sentra pembuatan kerajinan senapan angin.

Konon, sejak jaman pra-Islam masyarakat Sunda sudah tidak asing lagi dengan istilah metalurgi, banyak juga para ahli metalurgi berasal dari tanah Pasundan. Hal ini sungguh beralasan, mengingat kandungan geologi alam Jawa Barat yang berlimpah bijih-bijih besi. 

Selain itu, eksistensi dan kemasyhuran beberapa kerajaan yang ada di pulau Jawa juga ikut menyokong suburnya peradaban ini.
Sehingga, tidak heran jika dalam peribahasa Sunda pun dikenal istilah 'piruruhan' sebagai salah satu istilah khusus yang berkaitan dengan metalurgi atau pandai besi. Piruruhan adalah sebutan bagi tempat yang digunakan untuk membakar besi yang akan ditempa, dipotong, atau dibentuk.

Piruruhan biasanya akan diisi dengan arang yang berasal dari kayu yang keras. Lalu, arang tersebut dibakar hingga menjadi bara yang panas dan berwarna merah. Untuk menjaga agar arang tetap panas dan menyala, maka digunakan alat yang dapat menghasilkan udara. Alat tersebut diberi nama ububan/pamuput. Jaman sekarang, alat ini sudah banyak digantikan dengan blower listrik atau kipas angin.

Makna Leksikal
Secara leksikal, kata 'piruruhan' berasal dari kata dasar ruruh yang artinya tempat. Dalam hal ini, sebuah wadah untuk menampung arang yang menyala untuk menempa besi. Tempat ini hanya akan ditemui di gosali---istilah bahasa Sunda untuk tempat pandai besi.

Piruruhan dan gosali adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya melekat erat dan saling berkaitan membentuk sebuah identitas. Jika yang satu hilang, maka satunya lagi pun tidak akan dapat berfungsi. Menurut sejarah, gosali atau pandai besi dikenal dalam kehidupan masyarakat Sunda, jauh sebelum abad 9 M.

Gosali dan piruruhan memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Sunda saat itu. Dalam menyediakan perabot untuk kehidupan sehari-hari dan perkakas untuk pertanian dan pembangunan, seperti : pisau, pagar, senjata, sabit, cangkul, pedang, golok, dan masih banyak lagi perkakas dan perabot yang terbuat dari besi.

Cara membuat perkakas tersebut sebenarnya mudah saja, namun harus dilakukan oleh ahli. Karena, berkaitan dengan api, bila tidak hati-hati dan belum berpengalaman. Maka, cedera dan luka bakar seperti melepuh akan membahayakan kulit kita.

Sebelum menempa, memotong, dan membentuk besi menjadi perkakas. Ada beberapa persiapan penting yang dilakukan. Pertama, mengisi piruruhan dengan arang yang berasal dari kayu yang bagus.

Kedua, setelah wadah tersebut terisi dengan sempurna, bakar arang dengan api hingga menyala dan menghasilkan panas yang membara. Ketiga, saat arang sudah panas membara, maka masukkan besi yang akan dibentuk ke dalamnya.

Besi dibakar sampai merah membara, lalu dengan menggunakan penjepit besi tersebut diangkat lalu dipukul dan dibentuk menggunakan palu hingga menghasilkan barang yang dibutuhkan.

Makna Submisife tentang perempuan  
Peribahasa piruruhan dika-tengahimah-keun memiliki makna bekas pembantu rumah tangga dijadikan sebagai istri. Perempuan dalam hal ini disimbolkan dengan kata 'piruruhan' sebagai sebuah wadah yang berada di gosali.

Tentu saja, secara kepantasan memang tidak elok menempatkan piruruhan di bagian tengah rumah sebagai simbol rumah tangga. Karena, piruruhan hanya bisa ditempatkan di gosali sebagai tempat yang berkaitan dengan pekerjaan pandai besi.

Dalam hal ini, perempuan sudah mulai keluar dari ranah domestik, tidak lagi berkutat di rumah. Perempuan di-citra-kan sudah mulai keluar dari rumah, sudah bekerja. Meski bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Namun, lagi-lagi kontruksi sosial, menempatkan perempuan pada posisi yang submisife bahwa perempuan yang disimbolkan dengan kata 'piruruhan' tidak pantas untuk dinaikkan derajatnya, apalagi dijadikan sebagai istri oleh majikannya.

Perempuan meskipun sudah bekerja, tapi jika pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga, dianggap tidak pantas untuk dibawa ke 'tengah'. Maksud kata 'tengah' dalam hal ini adalah tidak pantas untuk mendapat pengakuan publik, dan ditampilkan dalam masyarakat.

Fenomena saat ini
Sebagaimana kita ketahui, saat ini fenomena yang sesuai dengan peribahasa ini marak terjadi di masyarakat perkotaan. Banyak perempuan muda berasal dari desa-desa, mengadu nasib mencari pekerjaan di kota-kota besar atau bahkan di luar negeri.

Banyak berita yang mengabarkan kisah sukses para tenaga kerja wanita asal Indonesia. Mereka berhasil menjadi kaya raya, memiliki beberapa rumah, menjadi juragan kontrakkan, dan lain-lain. Tetapi bukan dari gajinya sebagai TKW, melainkan karena beruntung dan bernasib baik dinikahi oleh majikannya.

Di dalam negeri juga banyak kita dengar berita-berita serupa. Namun, perbedaannya di Indonesia, pernikahan tersebut terkadang diselimuti aroma perselingkuhan. Jika, di luar negeri para TKW menikah dengan majikan yang lajang atau duda sudah tua, tidak berstatus memiliki istri, atau masih jadi suami orang. 

Berbeda dengan di Indonesia, pernikahan antara pembantu dan majikan terjadi pada rumah tangga pasangan produktif. Pembantu rumah tangga yang bekerja pada pasangan muda tersebut, memiliki usia yang terhitung masih muda pula.

Mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, mengurus majikan laki-laki dan anak-anaknya. Dari mulai memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah, dan tektek bengek pekerjaan rumah tangga. 

Karena, majikan perempuan sibuk berkarir dan aktualisasi diri. Sehingga, terkadang situasi karir yang menarik hati, membuat para perempuan pekerja lupa. Bahwa, di rumah ada suami yang membutuhkan perhatian mereka.

Faktor penyebab
Ada beberapa faktor pemicu yang menyebabkan seorang pembantu bisa menikah dengan majikannya. Pertama, pembantu rumah tangga yang menggoda dan memberikan kenyamanan. Majikan laki-laki merasa mendapat perhatian, dilayani kebutuhan makan minumnya, pakaian, dan lain-lain. Padahal, seharusnya perhatian tersebut didapat dari istrinya. 

Namun karena sang istri sibuk, dan menyerahkan pekerjaan tersebut kepada pembantu. Maka, naluri lelaki yang haus akan perhatian, ingin selalu dilayani, dan dimanjakan. Seiring berjalannya waktu akan merasa nyaman dilayani oleh pembantu rumah tangga.Sehingga hubungan ini rentan berkembang ke arah perselingkuhan.


Kedua, ketulusan hati pembantu. Majikan laki-laki yang berstatus duda atau masih single, ketika dia memiliki pembantu rumah tangga yang baik, tulus, dan penuh kasih sayang mengurusi keluarga dan rumahnya. 

Maka, hatinya akan tersentuh dan timbullah rasa kasih sayang untuk menjadikan pembantu tersebut sebagai istrinya. Bila usia pembantu tersebut masih sangat muda, maka dia akan menjodohkan pembantu tersebut untuk menjadi istri bagi anak laki-lakinya.

Fenomena Nyai pada jaman Hindia Belanda
Konsep hubungan pembantu dan majikan ini, jaman dulu juga sudah dikenal. Pada tahun 1900-an, saat pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di pulau Jawa. 

Menurut sejarah, orang terkaya Belanda yang tinggal di Indonesia pada era kolonial memiliki hingga 320 budak yang dipekerjakan di rumah besar mereka. Budak-budak tersebut berperan mengurusi kuda, kebun, memasak, mengasuh anak, dan macam-macam pekerjaan rumah tangga.


Kondisi melajang dan memiliki jabatan yang masih rendah menjadi salahsatu faktor penyebab, mengapa para pekerja Belanda dan Eropa yang saat itu ditempatkan di Indonesia memiliki budak yang membantu mereka mengurusi rumahnya. Bahkan, tidak jarang juga mengurusi masalah pemuasan seksual majikannya. 

Para perempuan pribumi yang terpilih untuk dijadikan gundik orang Eropa di Hindia Belanda itu dipanggil dengan sebutan Nyai. Kata Nyai dapat kita temukan dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali yang berarti perempuan muda, adik perempuan, dan kata sandang untuk panggilan terhadap perempuan.

Dijelaskan oleh Reggie Baay, bahwa masyarakat Eropa pada saat era kolonial tersebut bertempat tinggal di beberapa kota besar yang berada di pulau Jawa, seperti Batavia, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta. Model per-Nyai-an pada masyarakat Sunda terbentuk karena latar belakang perkebunan. Dalam hal ini perkebunan kopi dan teh terletak di Jawa Barat.

Dalam perkebunan tersebut, jumlah pekerja perempuan yang berasal dari bangsa pribumi lebih banyak dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Dengan demikian, banyak buruh kontrak perempuan yang masih muda dan cantik dipaksa untuk menjadi nyai bagi lelaki Eropa. 

Para nyai tersebut bertugas untuk mengurus rumah tangga, memenuhi kebutuhan seksual, dan menjadi penghubung antara lelaki Eropa dengan masyarakat pribumi. Dari mulai urusan bahasa, kebiasaan, maupun hubungan perdagangan.

Peran nyai
Sebenarnya, Nyai pada saat itu memiliki peran yang cukup penting sebagai mediator dalam berbagai bidang. Umpama, dalam mengenalkan makanan pribumi. Secara unik, seorang Nyai memasak makanan yang berbahan dasar dari pribumi, seperti beras, ubi, singkong, dan lain-lain. Namun, disesuaikan dengan cita rasa, kebiasaan, dan lidah orang Eropa.

Dalam hal busana, Nyai memiliki status sosial lebih tinggi dari sebelumnya. Ketika sebelum jadi Nyai, seorang perempuan akan memakai kebaya biasa dan sederhana. 

Maka, setelah jadi Nyai, busana yang dipakainya akan berganti menjadi kebaya putih berenda seperti yang biasa digunakan oleh perempuan Eropa. Kebaya tersebut diyakini memiliki kualitas yang bagus dan harga yang lebih mahal dibandingkan kebaya pada umumnya.

Perempuan yang menjadi Nyai akan memiliki kemampuan bahasa yang lebih baik. Dia akan menguasai tiga bahasa, yakni : bahasa daerah sebagai bahasa ibunya sendiri, bahasa Indonesia, dan bahasa Belanda. Secara bahasa seorang Nyai akan berperan untuk menjadi penterjemah. Sedikit demi sedikit ia akan belajar bahasa laki-laki yang menjadi majikannya.

Menjadi seorang Nyai sebenarnya tidak gampang. Ketika sudah sah dan terpilih menjadi Nyai pun seorang perempuan rentan untuk terusir dan tidak dibutuhkan lagi. Apalagi tatkala sang majikan sudah merasa bosan, dan ingin mengganti Nyai yang baru.
Dengan demikian, seorang Nyai mau tidak mau harus beradaftasi dengan kebiasaan tuannya. Dalam hal gaya hidup, seorang Nyai akan belajar mengikuti gaya hidup orang Eropa. 

Dari mulai cara berbicara, berperilaku, memasak, bahkan hingga cara berfikir. Nyai pun akan belajar membaca dan menulis untuk mengimbangi Tuannya. Ia akan banyak membaca, agar bisa dijadikan teman diskusi yang asyik dan cerdas oleh tuannya.

Hubungan Nyai dengan Tuannya tidak lagi sebatas menjadi pendamping. Nyai juga berperan sebagai pemegang kunci rumah dan barang-barang berharga, dan sebagai orang kepercayaan untuk mengurus rumah tangga. 

Sehingga seorang Nyai akan terlatih untuk pintar dalam membelanjakan kebutuhan sehari-hari, pandai menyisihkan uang untuk ditabung, dan berkesempatan untuk diajak berpesiar oleh Tuannya untuk 'makan angin' di sore hari.

Itulah, beberapa peran Nyai dalam menjembatani proses adaftasi antara Tuannya dengan bangsa pribumi. Meskipun begitu, tetap saja profesi sebagai Nyai tidak dapat dikatakan sebagai hal yang baik bagi perempuan. Karena, Nyai tidak dinikahi secara sah.


Tentu saja, hubungan mereka dengan Tuannya tersebut dapat dikatakan sangat bertentangan dengan agama yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, maka di dalam peribahasa Sunda muncul kalimat 'piruruhan dika-tengahimah-keun. Yakni, bekas pembantu rumah tangga yang dinaikkan derajatnya menjadi seorang istri. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun