Karena, majikan perempuan sibuk berkarir dan aktualisasi diri. Sehingga, terkadang situasi karir yang menarik hati, membuat para perempuan pekerja lupa. Bahwa, di rumah ada suami yang membutuhkan perhatian mereka.
Faktor penyebab
Ada beberapa faktor pemicu yang menyebabkan seorang pembantu bisa menikah dengan majikannya. Pertama, pembantu rumah tangga yang menggoda dan memberikan kenyamanan. Majikan laki-laki merasa mendapat perhatian, dilayani kebutuhan makan minumnya, pakaian, dan lain-lain. Padahal, seharusnya perhatian tersebut didapat dari istrinya.Â
Namun karena sang istri sibuk, dan menyerahkan pekerjaan tersebut kepada pembantu. Maka, naluri lelaki yang haus akan perhatian, ingin selalu dilayani, dan dimanjakan. Seiring berjalannya waktu akan merasa nyaman dilayani oleh pembantu rumah tangga.Sehingga hubungan ini rentan berkembang ke arah perselingkuhan.
Kedua, ketulusan hati pembantu. Majikan laki-laki yang berstatus duda atau masih single, ketika dia memiliki pembantu rumah tangga yang baik, tulus, dan penuh kasih sayang mengurusi keluarga dan rumahnya.Â
Maka, hatinya akan tersentuh dan timbullah rasa kasih sayang untuk menjadikan pembantu tersebut sebagai istrinya. Bila usia pembantu tersebut masih sangat muda, maka dia akan menjodohkan pembantu tersebut untuk menjadi istri bagi anak laki-lakinya.
Fenomena Nyai pada jaman Hindia Belanda
Konsep hubungan pembantu dan majikan ini, jaman dulu juga sudah dikenal. Pada tahun 1900-an, saat pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di pulau Jawa.Â
Menurut sejarah, orang terkaya Belanda yang tinggal di Indonesia pada era kolonial memiliki hingga 320 budak yang dipekerjakan di rumah besar mereka. Budak-budak tersebut berperan mengurusi kuda, kebun, memasak, mengasuh anak, dan macam-macam pekerjaan rumah tangga.
Kondisi melajang dan memiliki jabatan yang masih rendah menjadi salahsatu faktor penyebab, mengapa para pekerja Belanda dan Eropa yang saat itu ditempatkan di Indonesia memiliki budak yang membantu mereka mengurusi rumahnya. Bahkan, tidak jarang juga mengurusi masalah pemuasan seksual majikannya.Â
Para perempuan pribumi yang terpilih untuk dijadikan gundik orang Eropa di Hindia Belanda itu dipanggil dengan sebutan Nyai. Kata Nyai dapat kita temukan dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali yang berarti perempuan muda, adik perempuan, dan kata sandang untuk panggilan terhadap perempuan.
Dijelaskan oleh Reggie Baay, bahwa masyarakat Eropa pada saat era kolonial tersebut bertempat tinggal di beberapa kota besar yang berada di pulau Jawa, seperti Batavia, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta. Model per-Nyai-an pada masyarakat Sunda terbentuk karena latar belakang perkebunan. Dalam hal ini perkebunan kopi dan teh terletak di Jawa Barat.
Dalam perkebunan tersebut, jumlah pekerja perempuan yang berasal dari bangsa pribumi lebih banyak dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Dengan demikian, banyak buruh kontrak perempuan yang masih muda dan cantik dipaksa untuk menjadi nyai bagi lelaki Eropa.Â