Tidak dapat disangkal dan dipungkiri, jika saat ini kita sedang berada dalam ambang krisis pangan. Setelah beberapa kabar tentang kenaikan produk makanan, seperti : minyak goreng, tempe, cabai, dan lain-lain. Hari ini kita dikejutkan dengan naiknya harga makanan sejuta umat, yakni mi instan.Â
Seperti yang diberitakan dalam Kompas.com, bahwa Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengabarkan, harga mi instan akan naik. Tidak main-main hingga tiga kali lipat. Hal ini, sebagai dampak dari berlanjutnya konflik perang antara Rusia-Ukraina.
Sebagaimana kita ketahui, gandum sebagai bahan utama pembuatan mi diimpor dari Ukraina. Saat ini, sekitar 180 juta ton gandum dari Ukraina tidak dapat disalurkan. Karena, kondisi kegentingan konflik yang semakin memanas. Negara kita sebagai salahsatu yang bergantung pada impor gandum tersebut.
Di Indonesia, kita mengenal Indofood Sukses Makmur Tbk sebagai produsen mi instan yang menguasai pasar konsumen Indonesia. Secara global, perusahaan ini juga berada pada urutan ke-7 sebagai produsen mi instan terbesar di dunia. Hal ini dapat kita ketahui dari data penjualan yang dirilis oleh Globalnesmire.
Selain itu Indonesia juga merupakan konsumen terbanyak pangsa pasar makanan instan ini. Merujuk pada data dari World Instant Noodles Association (WINA), yang diluncurkan pada tahun 2020 silam. Indonesia menempati posisi kedua, sebagai negara dengan konsumsi mi instan terbanyak di dunia. Wow, luar biasa, ya.
Dampak positif
Menurut saya, ada dampak positif yang harus kita syukuri dari kabar naiknya harga mi instan ini. Pertama, kita sebagai konsumen dapat mengurangi makan mi setiap hari. Karena, mi sekarang bukan lagi makanan berharga murah yang terjangkau kantong. Dengan begitu, kita dapat beralih ke makanan yang lebih murah dan sehat, umpama : memasak sendiri makanan, menanam sayuran, menerapkan food prefare, dan lain-lain. Sehingga, badan kita akan lebih sehat, produktif, dan uang pun tidak habis untuk membeli makanan yang notabene kurang sehat, ya bila dikonsumsi setiap hari.
Kedua, ini adalah momentum yang tepat bagi kita untuk melepaskan ketergantungan. Setidaknya, saat mau mengkonsumsi mi setiap hari, bahkan kadang sehari bisa dua atau tiga kali. Maka, kita akan berpikir panjang, "Wah harganya mahal nih, mending uangnya buat beli telur saja, makan sama telur pakai cabe dan kecap, kan enak ... sehat lagi."Â
Ketiga, melatih kita untuk kreatif mencari bahan pangan lain yang bisa diproses menjadi mie yang sehat. Umpama : mie berbahan dasar sayuran. Sudah banyak kan tutorial di Youtube yang menjelaskan cara membuat mi instan sehat dari bayam, kangkung, dan lain-lain. Biasanya, sebuah masalah akan mendatangkan hikmah. Orang Indonesia, biasanya kreatif dan jeli menangkap peluang. Bisa saja, wacana naiknya harga mi instan ini, akan menciptakan pengusaha baru dalam bidang produksi mi. Tentu saja, mi yang lebih sehat, tidak mengandalkan pada bahan gandum, dan harganya bersahabat.
Dampak negatif
Sejauh ini, tidak banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari naiknya harga mi instan ini bagi masyarakat. Dilansir dari cnnindonesia.com, bahwa Josua Pardede, sebagai Kepala Ekonom Bank Permata menjelaskan, masyarakat tidak perlu khawatir. Karena, dampak kenaikan harga mi instan terhadap inflasi sangat kecil. Hanya 0,29 persen saja, berbeda dengan inflasi yang diakibatkan oleh harga pangan utama seperti : beras, minyak goreng, daging sapi, telur, dan lain-lain.
Sebenarnya, bagi sayalah dampak negatif dari kenaikan harga mi instan tersebut. Bagaimana tidak, setiap hari saya membekali mi instan dua bungkus dan makanan ringan untuk orang yang bekerja mengasuh anak di rumah. Jadi, sudah dari dulu, sejak tahun 2007 bila pengasuh pulang, saya memberikan uang sebagai gaji, dua bungkus mi instan, dan satu bungkus makanan ringan, entah kue, bolu, kerupuk atau teman nasi.Â
Jika dulu sebelum harganya naik, mi instan sarimi rasa ayam bawang saya beli dengan harga Rp. 100.000 satu dus, bisa untuk dua puluh hari. Maka, sekarang mungkin harganya akan lebih dari itu.Â
Makanya, saat mendengar kabar ini, saya lumayan kaget juga. "Wah, membengkak nih pengeluaran rumah tangga." Hingga saat ini, saya belum memiliki ide, mencari alternatif pengganti mi instan untuk dibekalkan kepada pengasuh saat mau pulang. Saya baru berada pada tahap menerima, berdo'a, dan berusaha mengikhlaskan. Dengan selalu berkata dalam hati dan menguatkan diri, "Asal kebeli saja, asal uangnya ada."
Dampak negatif lainnya, mungkin saya sekeluarga tidak lagi merasa bebas untuk mengkonsumsi mi kapan pun mau. Biasanya, kalau hari hujan, atau cuaca sejuk. Saya sekeluarga, selalu menghangatkan suasana dengan memasak mi instan rame-rame. Tentu saja, dengan varian yang berbeda-beda. Ada yang suka mie pakai telur, mi pedas tambah sayuran, mi yamin, dan saya suka mi dengan resep terbaru, yaitu mi nyemek. Wuih, rasanya mantap pisan.
Kenangan makan satu bungkus mi, disantap sekeluarga
Kenaikan harga mi instan saat ini, melecutkan ingatan saya pada kenangan 35 tahun silam. Tepatnya pada tahun 1987, dimana saat itu saya baru berusia lima tahun. Mi instan saat itu adalah sebuah makanan yang istimewa. Selain langka, sangat jarang ditemukan di warung-warung. Karena, pada tahun tersebut tempat tinggal saya masih minim akses. Program listrik masuk desa saja, baru ada pada tahun 1997. Harga mi instant saat itu juga sangat mahal dan tidak terjangkau bagi keuangan keluarga saya.
Oleh karena itu, saat Bapak pulang dari kota, menjual minyak sereh. Sekedar info, saat itu Bapak saya selain sebagai petani dan mengurus ternak, beliau pun memiliki pabrik penyulingan minyak sereh. Jadi, setiap hari Sabtu, Bapak akan membawa beberapa kompan besar minyak sereh, untuk dijual di kota. Ada sebuah toko milik Cina, yang membeli minyak sereh buatan Bapak. Babah pemilik toko itu bernama Bio Lim.Â
Setiap pulang dari kota, Bapak selalu membawa makanan yang menurut saya kala itu 'asing' tapi istimewa. Makanan tersebut adalah kue bulan, moci, permen susu, dan yang paling saya sukai adalah mi instan. Saat itu, produk mi instan yang baru saya kenal adalah Sarimi. Saya bersama kakak dan adik sampai berebutan ingin memakan mi lebih banyak. Namun, dengan bijak Ibu berkata, "Yuk, kita masak mi nya, nanti ibu bagi masing-masing satu mangkok besar."
Saya kira, masing-masing dari kami akan mendapatkan satu bungkus mi. Tapi, ternyata tidak. Seperti tidak peduli pada kekecewaan kami bertiga. Saya lihat Ibu menyalakan tungku, memasukkan beberapa kayu bakar. Lalu, dengan hati-hati beliau menaruh wajan yang berisi air di atas tungku tersebut. Banyaknya air yang dimasukan kira-kira dua gayung. Saat air sudah mendidih, Ibu dengan cekatan membuka bungkus mi instant dan memasukannya ke dalam wajan. Kami bertiga memandanginya dengan rasa tidak sabar.
Ibu keluar rumah sebentar, dia kembali dengan beberapa lembar daun katuk dan daun bawang hijau. "Lebih enak, bila ditambah ini." Katanya. Setelah mi matang, ibu menyobek bumbu mi dengan kemampuan seperti koki prefesional. Lalu, dia menaburkan semua bumbu, menambahkan beberapa jumput garam. Semua detail yang Ibu lakukan, terekam jelas dalam memori saya saat itu.
Sehingga terkadang ada rasa rindu, ingin mengulang kembali masa-masa indah itu. Masih terbayang, bagaimana Ibu menuangkan mi ke dalam piring yang terbuat dari seng. Saat itu, mangkuk plastik belum banyak dijual. Pertama, dituangkannya mi untuk Bapak, untuk dirinya sendiri, lalu berurutan, kakak, saya, dan terakhir si bungsu.
"Biar kenyang, tambahkan nasi, ya." Kata Ibu sambil menyenduk nasi dalam jumlah cukup banyak, dan menuangkannya ke dalam piring kami.Â
Sensasi makan mi instant saat itu, tidak pernah saya rasakan lagi. Bahkan, dengan produk yang sama sekali pun. Saya berharap rasa mi instant akan kembali seperti senikmat dulu. Mungkin, salahsatunya dengan cara mengurangi konsumsinya, dan menjadikan ia sebagai makanan yang istimewa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H