Sejauh ini, tidak banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari naiknya harga mi instan ini bagi masyarakat. Dilansir dari cnnindonesia.com, bahwa Josua Pardede, sebagai Kepala Ekonom Bank Permata menjelaskan, masyarakat tidak perlu khawatir. Karena, dampak kenaikan harga mi instan terhadap inflasi sangat kecil. Hanya 0,29 persen saja, berbeda dengan inflasi yang diakibatkan oleh harga pangan utama seperti : beras, minyak goreng, daging sapi, telur, dan lain-lain.
Sebenarnya, bagi sayalah dampak negatif dari kenaikan harga mi instan tersebut. Bagaimana tidak, setiap hari saya membekali mi instan dua bungkus dan makanan ringan untuk orang yang bekerja mengasuh anak di rumah. Jadi, sudah dari dulu, sejak tahun 2007 bila pengasuh pulang, saya memberikan uang sebagai gaji, dua bungkus mi instan, dan satu bungkus makanan ringan, entah kue, bolu, kerupuk atau teman nasi.Â
Jika dulu sebelum harganya naik, mi instan sarimi rasa ayam bawang saya beli dengan harga Rp. 100.000 satu dus, bisa untuk dua puluh hari. Maka, sekarang mungkin harganya akan lebih dari itu.Â
Makanya, saat mendengar kabar ini, saya lumayan kaget juga. "Wah, membengkak nih pengeluaran rumah tangga." Hingga saat ini, saya belum memiliki ide, mencari alternatif pengganti mi instan untuk dibekalkan kepada pengasuh saat mau pulang. Saya baru berada pada tahap menerima, berdo'a, dan berusaha mengikhlaskan. Dengan selalu berkata dalam hati dan menguatkan diri, "Asal kebeli saja, asal uangnya ada."
Dampak negatif lainnya, mungkin saya sekeluarga tidak lagi merasa bebas untuk mengkonsumsi mi kapan pun mau. Biasanya, kalau hari hujan, atau cuaca sejuk. Saya sekeluarga, selalu menghangatkan suasana dengan memasak mi instan rame-rame. Tentu saja, dengan varian yang berbeda-beda. Ada yang suka mie pakai telur, mi pedas tambah sayuran, mi yamin, dan saya suka mi dengan resep terbaru, yaitu mi nyemek. Wuih, rasanya mantap pisan.
Kenangan makan satu bungkus mi, disantap sekeluarga
Kenaikan harga mi instan saat ini, melecutkan ingatan saya pada kenangan 35 tahun silam. Tepatnya pada tahun 1987, dimana saat itu saya baru berusia lima tahun. Mi instan saat itu adalah sebuah makanan yang istimewa. Selain langka, sangat jarang ditemukan di warung-warung. Karena, pada tahun tersebut tempat tinggal saya masih minim akses. Program listrik masuk desa saja, baru ada pada tahun 1997. Harga mi instant saat itu juga sangat mahal dan tidak terjangkau bagi keuangan keluarga saya.
Oleh karena itu, saat Bapak pulang dari kota, menjual minyak sereh. Sekedar info, saat itu Bapak saya selain sebagai petani dan mengurus ternak, beliau pun memiliki pabrik penyulingan minyak sereh. Jadi, setiap hari Sabtu, Bapak akan membawa beberapa kompan besar minyak sereh, untuk dijual di kota. Ada sebuah toko milik Cina, yang membeli minyak sereh buatan Bapak. Babah pemilik toko itu bernama Bio Lim.Â
Setiap pulang dari kota, Bapak selalu membawa makanan yang menurut saya kala itu 'asing' tapi istimewa. Makanan tersebut adalah kue bulan, moci, permen susu, dan yang paling saya sukai adalah mi instan. Saat itu, produk mi instan yang baru saya kenal adalah Sarimi. Saya bersama kakak dan adik sampai berebutan ingin memakan mi lebih banyak. Namun, dengan bijak Ibu berkata, "Yuk, kita masak mi nya, nanti ibu bagi masing-masing satu mangkok besar."
Saya kira, masing-masing dari kami akan mendapatkan satu bungkus mi. Tapi, ternyata tidak. Seperti tidak peduli pada kekecewaan kami bertiga. Saya lihat Ibu menyalakan tungku, memasukkan beberapa kayu bakar. Lalu, dengan hati-hati beliau menaruh wajan yang berisi air di atas tungku tersebut. Banyaknya air yang dimasukan kira-kira dua gayung. Saat air sudah mendidih, Ibu dengan cekatan membuka bungkus mi instant dan memasukannya ke dalam wajan. Kami bertiga memandanginya dengan rasa tidak sabar.
Ibu keluar rumah sebentar, dia kembali dengan beberapa lembar daun katuk dan daun bawang hijau. "Lebih enak, bila ditambah ini." Katanya. Setelah mi matang, ibu menyobek bumbu mi dengan kemampuan seperti koki prefesional. Lalu, dia menaburkan semua bumbu, menambahkan beberapa jumput garam. Semua detail yang Ibu lakukan, terekam jelas dalam memori saya saat itu.