Jadilah guru yang baik, atau tidak sama sekali
Kutipan kalimat di atas merupakan penggalan puisi yang ditulis oleh Kahlil Gibran. Ungkapan dalam puisi ini dapat diibaratkan sebagai cambuk yang akan melecut hati kita tanpa rasa sakit.Â
Hanya menimbulkan nyeri, pedih, tergelitik, tersindir, merasa tidak enak hati, lalu tertantang untuk memperbaiki diri.
Karena, profesi sebagai guru sejatinya adalah pekerjaan yang dipilih dengan latar belakang panggilan jiwa.Â
Sehingga, mau tidak mau, suka dan tidak suka seorang guru dituntut untuk terus meng-upgrade pengetahuan, wawasan, dan kompetensinya.Â
Tidak cukup hanya dengan merasa sudah biasa mengajar, menganggap diri telah berpengalaman dari waktu ke waktu.Â
Sehingga merasa cukup dengan ilmu yang telah dikuasai, enggan dan malas untuk terus memperluas wawasan dan cakrawala.Â
Jaman terus berubah, teknologi semakin maju. Anak-anak yang kita hadapi di sekolah, bukan lagi pribadi yang lugu, polos, dan sederhana, seperti penampilan kita dulu saat pergi ke sekolah. Masa sudah berbeda, anak-anak sebagai subyeknya pun mengalami perubahan yang luar biasa.Â
Apalagi di jaman sekarang ini, pengaruh gadget telah mengungkung dan menguasai semua individu di dunia ini.Â
Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun telah begitu akrab dan dekat sekali dengan piranti teknologi satu ini. Peserta didik saat ini telah menjadikan internet sebagai sumber untuk belajar. Mereka memiliki cara belajar yang sangat jauh berbeda dengan cara belajar kita pada masa dahulu.Â
Sudah menjadi fakta yang umum, bahwa saat ini pengetahuan, informasi, wawasan, dan pandangan serta paham-paham global sangat mudah sekali diakses oleh siapa saja. Dari mulai orang dewasa, remaja, hingga kanak-kanak yang masih bau kencur.Â
Teknologi dengan gencar dan massif menggempur pemikiran-pemikiran mereka.Â
Hal ini, tentu saja akan memberikan dampak yang beragam bagi anak-anak. Dampak positifnya adalah anak-anak menjadi pribadi yang memiliki pemikiran kritis, kreatif, inovatif, dan menguasai teknologi.Â
Sedangkan, efek negatifnya juga tidak kalah dahsyat, anak-anak yang tidak memiliki pedoman iman dan etika moral yang kuat, akan mudah untuk terpengaruh oleh hal-hal yang negatif seperti: narkoba, pergaulan bebas, sekte atau aliran sesat, paham dan perilaku yang menyimpang, dan lain-lain.
Dengan demikian, resiko menjadi guru masa kini lebih besar tantangannya, bila dibandingkan dengan menjadi guru pada jaman dahulu.Â
Seorang guru diharapkan untuk dapat terus-menerus meng-upgrade diri dan pengetahuannya, agar tidak tertinggal dari pengetahuan yang dikuasai peserta didik. Setidaknya, kita dapat memberikan pengetahuan yang relevan dan sesuai dengan jaman.Â
Sehingga kita dapat menuntun kekuatan kodrat peserta didik kita.
Guru dituntut untuk ngindung ka waktu, mibapa ka jaman, artinya guru sebagai individu sekaligus sumber daya manusia yang bertugas melakukan pewarisan ilmu, mengajar, dan mendidik calon generasi bangsa.Â
Sudah sepantasnya dan selayaknya ngindung ka waktu, yakni memiliki ciri khas dan keyakinan yang kokoh tentang kepribadian, adat istiadat, jati diri, dan kualitas pribadi.Â
Namun, di samping itu, guru juga harus mibapa ka jaman, artinya mengikuti perkembangan jaman, tidak alergi dengan perubahan, terus belajar dan menyesuaikan diri dengan pelbagai perubahan yang ada.
Menjadi guru adalah pilihan hidup yang telah kita pikirkan matang-matang resiko, tantangan, dan tanggung jawabnya.Â
Bagaimana kita harus selalu siap untuk datang dan bertemu dengan peserta didik di kelas setiap harinya. Apa yang akan kita bagikan kepada peserta didik, menyangkut ilmu, wawasan, kemandirian, dan bekal sikap yang bijaksana.Â
Agar di masa depan peserta didik dapat menjelma menjadi individu masyarakat yang mandiri, dewasa, dan bertanggung jawab dalam kehidupannya.
Karena, seperti dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa mendidik murid ibarat mendidik rakyat. Rakyat Indonesia yang ada pada masa sekarang ini adalah hasil dari pendidikan guru pada masa dahulu.Â
Maka, murid yang kita didik saat ini, tentu saja akan menjadi rakyat Indonesia di masa depan.Â
Oleh karena itu, tugas kita sebagai guru mendidik mereka, calon rakyat Indonesia di masa depan.
Guru pembelajar sebenarnya merupakan program atau wadah yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada tahun 2015. Tujuan utama dari pembentukan program ini adalah untuk meningkatkan kompetensi guru.Â
Guru pembelajar menurut saya adalah sosok guru yang senantiasa bersemangat dalam menambah ilmu, memperbaharui wawasan, dan meningkatkan kompetensi.Â
Sebagai guru, kita harus mendidik dengan optimal, mengerahkan segenap rasa, jiwa, dan kemampuan yang ada pada diri. Oleh karena itu, mengapa penting sekali bagi guru untuk selalu mau belajar, belajar, dan terus belajar.Â
Seorang guru ibarat sebuah teko yang berisi penuh, ia berfungsi untuk mengisi cangkir-cangkir dan gelas kosong yang ada di hadapannya.Â
Jika teko seorang guru kosong, teko di sini diibaratkan gudang pengetahuan, ide-ide, wawasan, cakrawala, dan kompetensi. Maka, apa yang akan diberikan teko itu untuk mengisi gelas-gelas yang haus akan ilmu?
Di era internet ini, memang peserta didik akan dapat dengan mudah mendapatkan ilmu, tentang apa saja yang ingin diketahuinya. Tanpa diajarkan oleh guru, sama sekali. Namun, mereka tetap membutuhkan arahan, bimbingan, dan pendampingan guru dalam mengakses dan memanfaatkan semua fasilitas tersebut.Â
Di sinilah perlunya, guru selalu update dan mengikuti perkembangan jaman. Karena, bagaimana bisa membimbing dan mengarahkan peserta didik, jika dia sendiri tidak paham dan awam sekali dengan teknologi dan perkembangan dunia digital saat ini.
Implementasi kurikulum merdeka
Tahun ajaran baru 2022/2023 menjadi titik start diterapkannya kurikulum merdeka belajar di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.Â
Dilansir dari detik.com, ada 62.955 sekolah sudah mendaftarkan diri sebagai peserta yang akan menerapkan kurikulum ini di sekolah mereka masing-masing.
Kurikulum merdeka belajar disinyalir sebagai solusi yang efektif dalam mengatasi kesenjangan pembelajaran antarwilayah dan antar kelompok sosial, yang diakibatkan oleh adanya krisis learning loss (hilangnya pembelajaran) akibat pandemi covid-19.
Direktorat Jenderal (Dirjen) GTK, Iwan Syahril mengungkapkan bahwa arah dari kebijakan kurikulum merdeka belajar memfokuskan perhatian pada materi esensial, struktur kurikulum yang lebih fleksibel, dan memberikan keleluasaan bagi guru untuk menggunakan berbagai perangkat ajar yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik.
Sekolah tempat saya mengajar adalah salah satu sekolah yang mulai menerapkan kurikulum ini dalam pembelajaran, khusus bagi peserta didik baru yang duduk di kelas VII.Â
Ada beberapa pembinaan, workshop, dan pelatihan yang telah saya laksanakan, sebagai guru yang diberikan amanah untuk mengajar anak-anak bangsa ini.Â
Selain itu, kami juga diarahkan dan dihimbau untuk memanfaatkan platform merdeka mengajar untuk meningkatkan pemahaman, kompetensi, dan wawasan.
Ada beberapa hal yang saya catat sebagai intisari dari modul pertama platform merdeka mengajar. Salah satunya adalah bahwa guru harus terus mau belajar sepanjang hayat atau long life education. Hal ini sejalan dengan sebuah hadits tentang mencari ilmu, yang artinya, "Tuntutlah ilmu dari buaian (bayi) hingga liang lahat."
Hal ini menegaskan bahwa tugas kita dalam hidup ini sejatinya adalah terus belajar, memperbaiki diri, mengubah diri agar menjadi lebih baik dari hari ke hari, dalam semua hal.Â
Tidak hanya bagi yang berprofesi menjadi guru, semua orang yang hidup di dunia fana ini wajib menambah ilmunya, belajar secara terus-menerus tentang apapun, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka di masa depan.Â
Ada beberapa tips yang sangat berguna, untuk dapat dijadikan bekal bagi guru, agar mereka siap menjadi guru pembelajar.Â
Berikut saya rangkum dari platform merdeka mengajar modul pertama, dengan tema mengenali diri dan perannya sebagai pendidik berdasarkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
Menemukan alasan di balik keputusan menjadi pendidik
Penting bagi seorang guru yang ingin menumbuhkan kembali semangatnya untuk terus belajar, melakukan refleksi dengan cara menemukan alasan yang menjadi dasar dan latar belakang di balik keputusannya memilih profesi sebagai pendidik.Â
Apakah pilihan ini berasal dari pikiran secara sadar yang berasal dari dalam nurani. Dengan tujuan ingin berbagi ilmu pengetahuan, kehendak untuk mencerdaskan bangsa, dan berkontribusi dalam kemajuan bangsa ini.
Kita patut bertanya, dan meneropong ke dalam hati, tentang alasan di balik pilihan tersebut. Jangan sampai, menjadi pendidik hanya sebuah 'pelarian'. Karena, kesulitan dalam mencari pekerjaan yang diinginkan. Sehingga, akhirnya dengan sangat terpaksa terdampar di depan kelas dan mengajar secara apa adanya.Â
Dengan menemukan alasan yang jelas, tentang mengapa saat ini kita berdiri di depan kelas, dan mengajar anak-anak. Maka, kita dapat kembali menata ulang upaya dan usaha kita dalam memaksimalkan peran kita sebagai pendidik.Â
Jika alasannya sudah lurus dan benar, yakni mendidik sebagai panggilan jiwa dan cita-cita mulia.Â
Maka, kita akan melangkah untuk meningkatkan semangat dan motivasi dalam mempelajari model-model, metode, dan segala hal yang akan menunjang proses pembelajaran. Kalaupun masih belum, tugas kita adalah memperbaikinya, meluruskan niat, dan bertaubat atas segala alasan yang tidak dalam koridor tersebut.
Kilas balik perjalanan perjuangan menjadi pendidik
Kita bisa sampai di sini, dan menduduki posisi yang mulia ini, sebagai pendidik calon penerus bangsa. Bukanlah hal yang instan dan terjadi begitu saja, secara simsalabim.Â
Tetapi, membutuhkan proses yang panjang, waktu yang lama, perjuangan, luka, darah, dan air mata.
Oleh karena itu, saat semangat terasa memudar, raga capek dan merasa lemah. Melakukan refleksi dengan cara kilas balik bagaimana perjalanan profesi ini dimulai, akan mengantarkan kita kembali pada jalur yang semestinya. Tidak ada kata menyerah, saat kita sudah berada di tengah perjalanan. Kita tidak mungkin berhenti dan kembali.Â
Pilihan terbaik adalah terus melangkah, meskipun hanya langkah yang kecil dan terseok.Â
Tantangan di dunia pendidikan saat ini, bagaikan jurang yang curam, terjal, dan berbahaya. Krisis moral dan etika terpampang nyata. Akan menjadi seperti apa rakyat Indonesia di masa depan adalah tugas kita sebagai guru hari ini. Semangat untuk terus belajar dan menambah pengetahuan, bagaimana cara menghadapi semua kendala tersebut.Â
Akan mengantarkan kita pada solusi yang efektif, agar peserta didik kembali menemukan jati dirinya. Sebagai pribadi yang masagi, artinya bagus dalam segala hal, mumpuni, paripurna, kokoh, dan ajeg dalam segala bidang.
Itulah, dua pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri sendiri, agar bisa mengenali siapa diri kita sebenarnya. Mampukah kita mengemban beban sebagai guru bangsa yang senantiasa terus mau untuk belajar sepanjang hayat. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H