Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan Sepotong Ayam Laos

15 Juli 2022   14:09 Diperbarui: 15 Juli 2022   14:13 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ayam laos | Tribunnews.com

Lelaki berjanggut di depanku, menyeka bulir keringat yang berleleran di dahi dengan bagian belakang lengannya. Pemandangan yang memaku pandanganku untuk setia di sana. Pada nasi putih yang tampak pulen ketika disendok, bulirannya padat, dan wangi pandan wangi. Lekat dan samar-samar membaur dengan aroma ayam laos menguar ke udara. Sambal terasi kenangan kami, saat pertama kenalan dulu selalu hadir menyemarakkan meja. "Tidak terasa makan, kalau tanpa sambal terasi." Itu selalu yang terucap dari bibir lelaki itu.

Tadi pagi, sebelum ayam laos selesai dimasak. Lelaki itu berkata, cukup serius menurutku yang tidak biasa bercanda. "Apakah kamu memiliki trauma?" Aku menggeleng tidak mengerti. Ada rasa curiga terbersit dalam benak. "Apa yang dia inginkan?" Menurut perasaanku, lelaki yang wajahnya selalu menjadi doa dalam malam-malam panjangku dulu ini, dia sedang ingin mengorek masa lalu tentang diriku.

Ya, aku adalah perempuan yang beruntung, dan amat-amat beruntung. Menurut penelitian, hanya 50 persen perempuan yang berhasil menikah dan berumahtangga bersama lelaki yang dicintainya. Aku termasuk ke dalam lima puluh persen yang beruntung itu. Oleh karena itu, aku tidak berpegang teguh pada amanat N.H. Dini dalam novelnya Pada Sebuah Kapal. 

Bahwa, perempuan lebih baik menikah dengan lelaki yang mencintainya, daripada menikah dengan lelaki yang dicintainya. Karena mencintai itu sebuah proses yang aktif. Saat kita mencintai seseorang, maka kita akan terus-terusan berusaha, berkorban, dan berjuang agar orang yang kita cintai tahu, dan mau menerima cinta kita. Sedangkan saat kita dicintai, maka kita akan pasif, hanya menerima cinta. Lebih enak, kan?

Tapi, aku tidak begitu. Aku memilih untuk menikah dengan lelaki yang aku cintai. Walaupun ya, memang capek. Jalan menuju ke sana, bukan lagi sebuah tanjakan yang terjal berliku, curam, dan banyak ranjau. Tapi, bila boleh aku umpamakan, mencintai lelaki di hadapanku ini, ibarat meniti jembatan shirotol mustaqim. Jika imanku tidak kuat, ibadah dan amalan kurang. Maka, api menyala-nyala di bawah sana akan membakar badanku.

Sore ini, masih di meja makan yang sama, hanya dengan menu yang berbeda, bukan ayam laos. Aku sengaja, menyisihkan menu yang satu itu. Rupa-rupanya dia curiga, lantaran menu ini sering sekali hadir di meja makan. Kalau tidak dua hari sekali, tiga hari sekali, atau seminggu sekali. Dia berkata lagi, tentang hal yang sama. Tapi struktur kalimat agak sedikit berbeda.

"Aku lihat, kau memiliki banyak luka batin dan trauma." Kata-katanya berupa pernyataan. Mungkin itu, hasil analisisnya. Setelah hampir 8 bulan ini, dia hidup dalam satu atap, satu kamar, dan satu kasur yang sama bersamaku. Hanya ada angin dan aroma bunga pukul empat yang hadir di antara kami. Selain itu, hening menjalari ruangan ini. Bahkan televisi yang sedang menyiarkan acara musik di ruang keluarga, tidak dapat menetralkan suasana yang terasa kaku ini.

Aku membiarkan ia meneruskan kalimatnya. Karena, yang ia ucapkan bukan pertanyaan. Tentu ia tidak membutuhkan jawaban. Bahkan sekedar kata, ya atau tidak. "Aku tidak terlalu mengenalmu, jadi maafkan aku bila tidak terlalu paham tentang sifat dan kebiasaan kamu." Dia mulai ber-aku-kamu. Padahal, selama 8 bulan ini, panggilan sayang sudah mulai lancar aku dan dia ucapkan.

"Apakah dia mulai mengambil jarak di antara kami?" batinku. Tiba-tiba saja, aku merasa bahwa perjuanganku selama ini untuk mendapatkan cintanya terasa sia-sia. "Kau begitu terobsesi memasak ayam laos, ada apa?" Dia seperti tidak sabar ingin menanyakan hal itu. Aku tersentak, padahal aku sudah menduganya. Hal ini pasti akan mengganggu pikiran dia. Tapi, tetap saja aku merasa kaget, saat kalimat itu meluncur dengan pasti dari bibirnya yang manis.

"Kau tidak harus menjawabnya sekarang, kau boleh mengatakan hal itu jika hatimu sudah siap." Ucapnya bijak. Aku tidak memberi respon apapun tentang keputusannya membiarkan aku bermain dengan masa lalu. Yang aku tahu, semenjak hari itu, dia mulai mengambil jarak, lebih banyak mengisi waktunya untuk bekerja, dan berkumpul bersama kawan-kawan pengajiannya.

Harus aku katakan, memang tidak mudah mengejar cinta seorang lelaki. Ikuti maunya dia, berlaku dan bertindak yang menyenangkan dia. Setiap hari yang dilalui, hanyalah perjuangan. Berkorban terus-menerus, tanpa timbal balik itu seperti bermain bola dengan tangan kosong. Apa yang kita berikan, tidak bersambut, hanya disambut angin sahaja. Jadi, jika kamu tidak sanggup, maka berhentilah. Sebelum sakit menjalar ke hati, dan menggerogoti kewarasan jiwa. 

Malam ini dia tidak pulang ke rumah.  Melalui pesan whatssap dia berkata, [Maaf aku tidak pulang untuk beberapa hari, sedang banyak pekerjaan]. Semenjak analisisnya tentang kepribadianku tempo hari, dia benar-benar mengabaikanku. Sudah lelah aku memohon dan menghiba agar dia mau memaklumi rasa traumaku. Dengan cara tidak bertanya tentang hal itu. Tapi nihil, dia yang pernah kuliah psikologi itu selalu berkata, "Trauma bukan dilupakan, tapi harus disembuhkan." 

Karena aku belum mau bercerita, dan memberi tahu sumber rasa trauma itu. Dia memutuskan untuk memberikan aku waktu beberapa hari untuk menyendiri. Dia memberikan istilah, 'mengambil jarak'. Kata dia, agar aku bisa berfikir jernih, memilah antara diriku yang sekarang dan diriku yang dahulu yang mengalami trauma itu.

Beberapa malam yang bertandang, habiskan lamunan dalam kesendirian. Diri terasa larut dengan malam yang gulita tanpa gemintang. Ku lihat ibu hilir-mudik antara dapur dan ruang makan. Hari itu di rumah ada kenduri. Adikku yang bontot disunat. Bukan acara besar-besaran. Hanya mengaji dan memberi makan tetangga alakadarnya. Ayam laos adalah menu andalan ibu. Kata tetangga, ayam laos yang dimasak oleh ibu, rasanya enak sekali. Satu kampung kami tidak ada yang mengungguli.

Akhirnya, dengan modal seadanya. Maklum, ayahku hanya seorang buruh tani. Ibu membeli beberapa ekor ayam di pasar, untuk menambal kekurangannya,  ayam yang diternak di rumah pun dikorbankan. Meski masih remaja, belum cocok untuk disembelih. Terpaksalah disembelih juga pada akhirnya.

Aku yang masih berusia sembilan tahun saat itu, ikut sibuk dan mondar-mandir membantu ibu di dapur. Mengambil laos di kebun belakang rumah lah, membeli penyedap, mengerik gula merah, mengukur kelapa, membuat santan, mencabuti bulu ayam, dan lain-lain. Karena, saat itu ibu lah yang memasak makanan tersebut, tidak meminta bantuan tetangga. Karena, ibu yakin bahwa hanya dengan bantuanku dia bisa menuntaskan semua masakan itu tepat waktu.

Memang benar, pada pukul dua sore, semua ayam laos itu sudah terhidang di meja dengan elegannya. Aromanya menggugah selera, siapa saja yang melihat dan menciumnya. Pada pukul empat sore, tetamu yang akan mengaji datang ke rumah. Masih ingat dalam benakku kala itu. Saat acara mengaji beres, aku dengan semangat mengambil nasi dan sepotong ayam laos, yang sedari tadi menggoda jiwa. Hal itu aku lakukan, karena aku sudah lapar. Sedari pagi aku sibuk membantu ibu. Hingga tiada waktu untu mengisi perutku.

Tapi, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Ibu memukul tanganku yang sudah siap mengambil sepotong ayam laos. Selain itu, dia pun mendesis kasar, dengan mata melotot, dan gigi yang bergemeletuk, karena menahan amarah. "Issh, kamu jangan ambil ayam itu! kamu makan sama soun saja, takut ayamnya tidak cukup untuk tamu!" Ujarnya dengan nada rendah.

Hari itu, menurutku sangat buruk. Aku dimarahi, ditolak, dan diabaikan. Sama seperti hari ini, saat lelaki itu lagi-lagi menolak dan mengabaikanku. Walaupun dengan alasan yang berbeda, tapi sumbernya tetap sama, yakni ayam laos. Betapa aku merasa, makanan ini terus menghantui kehidupanku. 

Padahal, aku sudah berupaya untuk mendekatinya. Aku sudah berusaha dan bersusah payah untuk dapat meniru masakan ayam laos seenak dan segurih masakan ibu. Hingga setelah ibu tiada, orang-orang di kampung tetap menyebut ayam laos terenak ada di keluarga kami.

Ya, memang benar. Ada sedikit kejanggalan dalam tingkahlakuku. Wajar saja, jika lelaki berparas tampan dan berjanggut rapih itu merasa heran. Karena, aku sangat suka memasak ayam laos, tapi tidak pernah sekali pun aku memakannya. Bahkan, tidak juga untuk mencicipi bumbunya. Aku seperti berteman tapi dalam waktu yang sama juga bermusuhan. 

Hari ini, lelaki itu pulang ke rumah. Wajahnya yang ganteng terlihat sayu dan pucat. "Aku sakit." Ucapnya. "Hari ini, aku rindu ayam laos buatan kamu." Pintanya. Aku memapahnya menuju ke dapur, ada rasa yang sukar untuk dilukiskan mengisi dadaku. Seperti sebuah rindu yang terbalaskan. Tepukkan tangan yang bersambut jemari. Dia duduk di kursi makan, menungguku memasak. 

Setelah ayam laos yang gurih dan beraroma enak itu terhidang di meja. Dia makan dengan lahap, sesekali dia seka keringat yang berleleran di dahi dengan punggung tangannya. "Sekarang, aku bisa mengerti mengapa kamu tidak mau menceritakan rasa trauma itu." Ucapnya. 

Keesokan harinya, lelaki itu mengajakku berkunjung ke pusara ibu, sekedar menaburkan bunga, dan berterima kasih karena telah menurunkan kemahirannya dalam memasak ayam laos kepadaku. Lelaki itu tidak pernah lagi memaksaku untuk bercerita tentang alasan mengapa aku suka masak ayam laos, tapi tidak pernah memakannya. 

Karena, tanpa sepengetahuan dia, kini aku mulai suka mencicipi ayam laos hasil masakanku. Dan ternyata, enak sekali. Aku mulai bisa memaafkan, trauma yang dialami oleh gadis kecil umur sembilan tahun yang ada di dalam diriku. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun