Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan Sepotong Ayam Laos

15 Juli 2022   14:09 Diperbarui: 15 Juli 2022   14:13 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ayam laos | Tribunnews.com

Harus aku katakan, memang tidak mudah mengejar cinta seorang lelaki. Ikuti maunya dia, berlaku dan bertindak yang menyenangkan dia. Setiap hari yang dilalui, hanyalah perjuangan. Berkorban terus-menerus, tanpa timbal balik itu seperti bermain bola dengan tangan kosong. Apa yang kita berikan, tidak bersambut, hanya disambut angin sahaja. Jadi, jika kamu tidak sanggup, maka berhentilah. Sebelum sakit menjalar ke hati, dan menggerogoti kewarasan jiwa. 

Malam ini dia tidak pulang ke rumah.  Melalui pesan whatssap dia berkata, [Maaf aku tidak pulang untuk beberapa hari, sedang banyak pekerjaan]. Semenjak analisisnya tentang kepribadianku tempo hari, dia benar-benar mengabaikanku. Sudah lelah aku memohon dan menghiba agar dia mau memaklumi rasa traumaku. Dengan cara tidak bertanya tentang hal itu. Tapi nihil, dia yang pernah kuliah psikologi itu selalu berkata, "Trauma bukan dilupakan, tapi harus disembuhkan." 

Karena aku belum mau bercerita, dan memberi tahu sumber rasa trauma itu. Dia memutuskan untuk memberikan aku waktu beberapa hari untuk menyendiri. Dia memberikan istilah, 'mengambil jarak'. Kata dia, agar aku bisa berfikir jernih, memilah antara diriku yang sekarang dan diriku yang dahulu yang mengalami trauma itu.

Beberapa malam yang bertandang, habiskan lamunan dalam kesendirian. Diri terasa larut dengan malam yang gulita tanpa gemintang. Ku lihat ibu hilir-mudik antara dapur dan ruang makan. Hari itu di rumah ada kenduri. Adikku yang bontot disunat. Bukan acara besar-besaran. Hanya mengaji dan memberi makan tetangga alakadarnya. Ayam laos adalah menu andalan ibu. Kata tetangga, ayam laos yang dimasak oleh ibu, rasanya enak sekali. Satu kampung kami tidak ada yang mengungguli.

Akhirnya, dengan modal seadanya. Maklum, ayahku hanya seorang buruh tani. Ibu membeli beberapa ekor ayam di pasar, untuk menambal kekurangannya,  ayam yang diternak di rumah pun dikorbankan. Meski masih remaja, belum cocok untuk disembelih. Terpaksalah disembelih juga pada akhirnya.

Aku yang masih berusia sembilan tahun saat itu, ikut sibuk dan mondar-mandir membantu ibu di dapur. Mengambil laos di kebun belakang rumah lah, membeli penyedap, mengerik gula merah, mengukur kelapa, membuat santan, mencabuti bulu ayam, dan lain-lain. Karena, saat itu ibu lah yang memasak makanan tersebut, tidak meminta bantuan tetangga. Karena, ibu yakin bahwa hanya dengan bantuanku dia bisa menuntaskan semua masakan itu tepat waktu.

Memang benar, pada pukul dua sore, semua ayam laos itu sudah terhidang di meja dengan elegannya. Aromanya menggugah selera, siapa saja yang melihat dan menciumnya. Pada pukul empat sore, tetamu yang akan mengaji datang ke rumah. Masih ingat dalam benakku kala itu. Saat acara mengaji beres, aku dengan semangat mengambil nasi dan sepotong ayam laos, yang sedari tadi menggoda jiwa. Hal itu aku lakukan, karena aku sudah lapar. Sedari pagi aku sibuk membantu ibu. Hingga tiada waktu untu mengisi perutku.

Tapi, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Ibu memukul tanganku yang sudah siap mengambil sepotong ayam laos. Selain itu, dia pun mendesis kasar, dengan mata melotot, dan gigi yang bergemeletuk, karena menahan amarah. "Issh, kamu jangan ambil ayam itu! kamu makan sama soun saja, takut ayamnya tidak cukup untuk tamu!" Ujarnya dengan nada rendah.

Hari itu, menurutku sangat buruk. Aku dimarahi, ditolak, dan diabaikan. Sama seperti hari ini, saat lelaki itu lagi-lagi menolak dan mengabaikanku. Walaupun dengan alasan yang berbeda, tapi sumbernya tetap sama, yakni ayam laos. Betapa aku merasa, makanan ini terus menghantui kehidupanku. 

Padahal, aku sudah berupaya untuk mendekatinya. Aku sudah berusaha dan bersusah payah untuk dapat meniru masakan ayam laos seenak dan segurih masakan ibu. Hingga setelah ibu tiada, orang-orang di kampung tetap menyebut ayam laos terenak ada di keluarga kami.

Ya, memang benar. Ada sedikit kejanggalan dalam tingkahlakuku. Wajar saja, jika lelaki berparas tampan dan berjanggut rapih itu merasa heran. Karena, aku sangat suka memasak ayam laos, tapi tidak pernah sekali pun aku memakannya. Bahkan, tidak juga untuk mencicipi bumbunya. Aku seperti berteman tapi dalam waktu yang sama juga bermusuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun