Saat Mama menyodorkan kostum astronot dengan ransel, sepatu bulu yang nampak hangat, dan helm bulat yang juga seperti ingin memeluk kepala, aku menggeleng lemah. Antara merasa tidak yakin, jika kostum ini akan mengantarkan piala emas ke atas lemari pajangan di ruang tamu itu seperti biasanya. Dan, rasa kasihan kepada Mama.
"Alice, sayang! Mama mohon pengertian kamu, ... ini adalah kostum kelima yang Mama buat." Ucapnya memohon. Aku tidak menjawab. Hanya mampu melirik sekilas pada kostum yang menurutku sangat aneh itu. Malah lebih aneh dari keempat kostum pesta yang sebelumnya aku coba. Kostum badut menurutku jauh lebih bisa diterima di badan. Lha ini, terus terang saja aku tidak suka dunia antariksa.Â
"Cobalah dulu, ya! Mama janji setelah ini, tidak lagi-lagi menyuruhmu ikut ajang kostum pesta ini. Percayalah, sayang! Mama hanya ingin membuat penampilan kamu berbeda dari yang lain. Mama ingin kamu mendapat juara lagi kali ini." Lagi-lagi perempuan berambut pirang blonde dengan perawakan tinggi dan berkulit putih itu membujuk.
Aku menghela nafas, "Oke lah, Mama! Tapi, janji ya, ini yang terakhir. Setelah ini, biarkan aku saja yang mencari ide, kostum seperti apa yang akan dipakai di acara pesta kostum itu." Aku memutuskan. Mama mengangguk lemah. Dia masih sangat berambisi, itu terlihat dari mengerasnya rahang di tulang pipinya. Aku tahu itu.
Setelah kepergian Papa, setahun yang lalu. Mama memfokuskan dukanya kepada kemajuan karirku di modelling. Dia habiskan waktu dan energinya untuk menjahit kostum-kostum yang indah. Tidak peduli siang atau malam, dia selalu sibuk mencari event-event untuk lomba. Berburu kain-kain bagus dengan harga yang terjangkau di pasar-pasar kota.
Aku sebenarnya merasa heran, mengapa Papa pergi. Lebih tepatnya dia meninggalkan kami. Padahal, meneurut pendapatku, Mama adalah istri yang baik, cantik, lemah lembut dan penyayang. Lebih dari itu, dia juga pekerja keras. Setiap hari ia habiskan waktu di butiknya.Entah itu menjahit, mengontrol stok baju yang mulai habis, atau memantau para pekerja. Mama adalah sosok perempuan serba bisa dan multi talenta. Setiap apa yang dipegang tangannya selalu sukses besar.Â
Tapi, sudahlah, aku tidak terlalu paham urusan orang dewasa. Yang jelas, di malam pergantian tahun baru. Papa dan Mama bertengkar, aku saat itu hanya duduk meringkuk bagai anak kucing berdiang di perapian.Â
Sayup ku dengar Mama memohon, "Satu tahun lagi, saja Joseph! Kasihan Alice dia belum mengerti."Aku memasang kupingku rapat-rapat agar dapat menguping pembicaraan itu. Karena, terdengar seperti ada urusannya dengan keberadaanku. Tapi, sayang hanya suara Mama saja yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, Papa terlihat menarik kopernya dengan kasar, lalu pergi dengan mobilnya menuju ke arah utara.
Sejak saat itu, aku berjanji untuk selalu patuh dan menuruti semua keingginan Mama. Termasuk ambisi=ambisinya menjadikan aku sebagai primadona dan selalu tampil beda dengan kostum-kostum yang dirancangnya. Ya, menurutku Mama akhir-akhir ini tampak menggila. Hari ini adalah puncak kekesalanku. Bagaimana tidak, Mama selalu saja memaksakan kehendaknya. Hal yang bagus menurut dirinya, tanpa bertanya bagaimana pendapat, keinginan, dan perasaanku.
Sebenarnya, kadang aku tidak sabar untuk menampakkan rasa kesal itu dengan cara yang vulgar. Umpama, berteriak, berkata kasar, dan berperilaku menolak. Tapi, air mata yang selalu tampak berkaca-kaca di mata Mama, saat dia berkata : "Hanya kamu kebahagiaan, Mama!" Membuatku tidak berdaya.
Padahal, aku tidak suka dengan sikap Mama yang terlalu memaksakan kehendak, egois, dan selalu ingin dipatuhi. Kadang terbersit dalam pikiran, "Apa karena sikap-sikap inilah, Papa memutuskan untuk pergi? Karena, aku juga lama-lama merasa bosan dan ingin pergi."
Lomba kostum pesta sudah semakin dekat. Aku memutuskan untuk membeli saja kostum itu. Bila dipaksakan untuk menjahit, rasa-rasanya hasilnya tidak akan memuaskan. Seperti Mama, aku mencari-cari sumber inspirasi dari berbagai hal, apa saja yang nampak oleh mata, terasa oleh batin, dan terpikirkan dalam benak.Â
Namun, tidak seperti Mama yang selalu berpikiran rumit, menginginkan hal yang wah. Aku kebalikannya, suka hal-hal yang simpel, sederhana, dan nyaman dikenakan. Saat membuka-buka album foto, kebersamaan Mama dan Papa. Dari saat mereka pacaran, bertunangan, menikah, punya anak dan terakhir kali saat liburan di pantai. Kostum-kostum yang Mama kenakan tampak menawan di mataku. Semuanya sederhana, tapi penuh nuansa kehangatan dan ketulusan seorang ibu.
Yeay, aku sudah dapat ide untuk lomba kostum pesta minggu depan. Bergegas aku mencari marketplace yang menjual kostum anak dengan model seperti itu. Ternyata banyak kujumpai, model-modelnya beragam, dan menyajikan banyak pilihan warna. Saat mentari mulai tenggelam di Barat, cahayanya hangat menyinari kamarku yang menghadap ke arah barat. Pesanan kostum itu resmi terkirim. Terdengar langkah kaki Mama di tangga, "Alice sayang, turun yuk! Kita makan malam."
Tidak banyak kata terucap saat makan malam. Sengaja, aku ingin memberi kejutan pada Mama. Saat dia bertanya, apakah aku sudah menemukan kostum yang kuinginkan. Aku hanya mengangguk. Mama benar-benar sportif kali ini. Dia tidak mengintimidasi soal pemilihan tema, warna, dan model dari kostum yang akan ku pilih.Â
Entah, ia percaya akan kemampuanku dalam memilih. Atau sudah apatis. Rupanya, ucapanku saat itu mampu menyadarkannya. "Mama sadar enggak, kalau sikap Mama yang posesif, ngatur, dan egois itu membuat orang ingin menjauh. Ku rasa, itulah alasan mengapa Papa pergi meninggalkan kita." Mama hanya diam, beberapa bulir air mata tampak menetes di pipinya. Aku merasa iba, lalu memeluknya, "Maapkan Alice, ya Ma! Aku mohon Mama percaya, Alice bukan anak kecil lagi kok." Â Beberapa hari setelah peristiwa itu, dia tampak kalem dan tidak banyak bicara.Â
Kostumku sudah datang, gaun sederhana berwarna merah menyala. Panjangnya selutut, ada band tipis berwarna krem di pinggirnya. Minim aksen dan aksesoris. Hanya renda warna senada band di bagian dada, dan pita kecil berwarna hitam di tengahnya. Aku sangat suka sekali modelnya. Beberapa kali aku coba dan berputar mengitari kaca besar di kamarku. Dengan pintu tertutup rapat dan dikonci kuhabiskan waktu untuk mengagumi kostum itu.
Bila Mama mengetuk pintu kamar, gegas aku sembunyikan kostum itu di lemari pakaian. Kasihan juga sebenarnya sama Mama. Wajah khawatirnya tampak memilukan. Ia seperti sedang berusaha untuk percaya, tapi hatinya ketakutan aku tidak berhasil menyediakan kostum itu dengan jelas menghiasi raut wajahnya.Â
Hingga hari H lomba kostum itu digelar. Aku sengaja berangkat sendiri, dan mengundur waktu agar menjadi peserta yang datang paling akhir. Dari balik tirai panggung aku lihat kostum-kostum para peserta begitu indah, warna-warni, dan sangat mewah. Sempat ada rasa tidak percaya diri menyelimuti hati. Sambil memeluk kostum yang tersampir di badan, aku ucapkan motivasi pada diri sendiri, "Alice, kamulah yang terbaik, cantik, tulus, sederhana, dan penuh kehangatan."Â
Mama tampak duduk di kursi paling depan dengan wajah yang sukar untuk dilukiskan. Pikirannya mungkin sedang kalut dan tidak fokus. Sesekali ia melirik ke arah pintu masuk. Dia mungkin mengira, jika aku belum datang. Hari ini, kostum yang Mama kenakan, menurutku adalah kostum yang sangat sederhana sekali. Saking paniknya mungkin hingga dia tidak fokus untuk memilih baju yang akan dipakainya.
Peserta pertama, sudah dipanggil oleh pembawa acara. Ku lihat lenggak-lenggok gemulai badannya sangat serasi dan elegan. Perpaduan antara model, bentuk, aksesoris dan warna dari kostumnya amat serasi dan elegan. Aturan dalam lomba kostum ini adalah ketika peserta sudah dipanggil masuk ke panggung. Maka, dia tetap berada di panggung menyambut peserta-peserta berikutnya, hingga semua peserta tampil. Nomerku adalah 30, nomor urut terakhir.Â
Rasa panik, dan tidak percaya diri kembali menyergap pikiran. Demi ku lihat semua kostum dari peserta lomba kali ini begitu all out. "Jangan sampai ya Tuhan, peringkatku menjadi yang terakhir sesuai dengan urutan nomer undian. Kasihanilah Mamaku." Pintaku dalam hati. Aku sebenarnya tidak apa-apa jika pun harus kalah. Yang kukhawatirkan adalah bagaimana hancurnya perasaan dan kepercayaan diri, perempuan paruh baya yang masih cantik di usianya yang menginjak 45 itu. Saat harus menyaksikan anak yang sangat disayanginya menderita kekalahan.
Akhirnya, nomer undianku dipanggil. Entah mengapa, bagai disihir setiap penonton seperti sedang menantikan penampilanku. Dan saat dengan penuh percaya diri dan kepastian aku melangkah memasuki panggung, semua peserta menyambutku. Tepuk tangan penonton riuh menyambutku. Sungguh tidak dapat dipercaya, mengingat kostum yang aku kenakan begitu sederhana.Â
Dari ekor mata, kulihat Mama tersenyum puas. Aku yakin, pasti ada air mata di balik kaca mata hitam yang ia kenakan. Mama menghambur memelukku erat sekali, saat pembawa acara mengumumkan bahwa juara pertama untuk lomba kostum kali ini adalah Alice Maria Joseph.Â
"Mama tidak menyangka, jika kamu sangat menyukai kostum yang Mama kenakan." Lalu dengan antusias dia bercerita, jika kostum berwarna merah itu, dikenakan saat dirinya mendapat kabar dari dokter kandungan bahwa ia hamil. "Mama ke dokter sendirian, Papa kemana? terus dalam foto-foto itu Papa kok gak pernah ada di foto?" Aku mengemukakan rasa penasaranku.Â
"Karena, Joseph bukan Papa kamu." Jawab Mama tegas, tapi kemudian air matanya kembali tumpah ruah. "Please, sayang jangan bahas itu, ya. Mama sedang bahagia hari ini." (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H