Menikah denganmu adalah hal terindah dalam hidupku. Namun, menjalaninya merupakan penyiksaan bagiku. 11 tahun berumah tangga, selama itu pula kau pasung hidupku. Jika bukan karena Nela dan Laras, dua putri kita. aku tak akan merelakan diriku berenang dalam kepedihan mengaruhi bahtera rumah tangga bersamamu.
11 tahun silam ketika mengandung Nela, benihmu. kau selalu memukuliku sesuka hatimu, setiap malam kau pergi entah kemana meninggalkan ribuan alasan. setiap hari demi menyambung nyawa dengan perut buncit aku bekerja serabutan. menyiangi rumput, menanam padi di sawah tetangga, mencari kayu bakar agar pawonan beraroma kayu tetap mengepul sebab engkau tak memberiku nafkah.
malam itu, aku melahirkan Nela. sendirian berjuang tanpamu di sisi. ku dengar kabar engkau pergi dengan seorang wanita, sakit hatiku. suatu ketika kau pernah menyuruhku menghadiri acara muyen Sarti, wanita muda yang konon mantan kekasihmu, bayi mungil yang di lahirkannya mirip sekali denganmu, suamiku.
Genap 2 minggu pasca melahirkan dengan kondisi masih lemah aku kembali bekerja di sawah tetangga. sebab gentong beras sudah kosong, bumbu dapur habis. aku tidak ingin kita mati kelaparan.
Aku tak mampu bertahan dengan kondisi hidup begini, selalu mendengar nyinyiran ibumu, ocehan sadis adik-adikmu. sementara kau tak pernah membela melainkan meludahiku. dengan berat hati, belum genap Nela berusia 1 tahun ku langkahkan kaki meninggalkan gubuk kita, gubuk bambu berlantai tanah beratap rumbia yang kau bangun untuk kita tinggali. jauh ku tinggalkan kampung halaman membawa pedih dan harapan.
Aku pergi menuju Macau, sebuah negeri mungil di selatan Cina bekas jajahan Portugal. aku bekerja sebagai TKW sektor pembantu rumah tangga. pekerjaan yang seringkali di pandang sebelah mata. setiap bulan aku mengirimkan seluruh penghasilanku sebesar 4 juta, aku berusaha mempercayaimu sebab engkau ayah dari putriku.
selentingan demi selentingan tersiar kabar kau memadu kasih dengan wanita lain, tapi kau selalu berhasil menepis kegundahan yang menderaku. kau selalu berhasil meyakinkan hati ini bahwa kau disana baik-baik sayang. meski ibumu sendiri yang mengabariku tentang kelakuanmu. hanya sebuah rumah sederhana yang berhasil kau dirikan dari hasil kerja yang ku kirim selama 6 tahun bekerja di Macau. aku tak tahu kemana sisanya, yang ku tahu rekeningmu pun kosong.hanya alasan tanpa logika kau beri menjawab cercaanku.
Akhir 2010 aku memenuhi permintaanmu untuk pulang, kau berjanji tidak akan menyakitiku, memukul, menghina dan bermain hati dengan wanita lain lagi, ibumu bilang kau pun rajin beribadah kini, setiap telepon kau menangis sesenggukan menyesali segala tindakanmu padaku. kau berjanji tidak akan melarangku lagi untuk mengunjungi keluargaku.
Janji tinggal janji! baru beberapa bulan di rumah kau berulah kembali ke sifat asalmu. bogem mentah, hinaan, sindiran, jadi makananku setiap hari. Aku bertahan untuk tinggal disini, demi Nela dan bayi dalam kandunganku. kau tak segan-segan menendangku, mendorongku hingga terjatuh padahal aku tengah mengandung. Ibu dan keluarga hanya menjadi penonton atas kebrutalanmu.
Untuk kedua kalinya, saat melahirkan Laras putri keduamu kau pun tak disampingku. malam itu aku kembali sendirian berjuang antara hidup dan mati. sedangkan engkau asyik menonton dangdutan di ujung jalan. semua tabungan terkuras untuk biaya hidup, kau bekerja bila kau mau. hasilnya pun lebih sering kau habiskan sendiri, untuk memenuhi kebutuhan hidup aku harus kembali menjadi buruh tanam. saat Laras baru berusia 9 bulan kau memaksaku untuk berhenti memberinya ASI. Setiap melihatku menyusuinya kau langsung menampar, menjambak rambutku. kau hanya inginkan aku melayanimu. Sungguh hatiku terluka.
Untuk kedua kali, ku tinggalkanmu Nela dan Laras yang baru berusia 1 tahun. aku pergi mencari rezeki Ke Hongkong. "Mak! ku pasrahkan Nela dan Laras pada njenengan. biarlah Emak yang mengurus mereka berdua, aku tak sanggup lagi menghadapi putramu." sebelum ku langkah menjauh ku titip kedua putriku pada ibu mertua. kau pun mengiringi kepergianku dengan linangan airmata, ikhlas atau buaya?!
1,5 tahun aku di negeri bauhinia bekerja menjaga janda lansia super pelit, setiap hari di tuduh mencuri makanannya, tidur di ruang tamu, hanya menikmati sisa makanan sekedar untuk mengganjal perut.
Iba-anmu, tangisanmu, penyesalanmu yang selalu kau ucap di ujung telepon, tak membuatku menoleh. Tapi, keberadaan Nela dan Laraslah yang membuatku kembali padamu. mengikhlaskan penghasilanku setiap bulan beralih ketanganmu. meski setiapkali usai menerima kiriman uang dariku, ibumu bilang kau selalu punya alasan untuk keluar rumah.
Aku bertahan disini dengan segala kekuranganku demi anak-anak kita. ku pertahankan rumah tangga denganmu karena mereka, setiap kata setajam belati ku biarkan menyayat diri ini, tuduhanmu bawa aku menjual diri di negeri orang tak ku hiraukan, tapi ada satu kata yang membuatku terpaksa mengambil keputusan. "Ibu, Laras kok sekarang kayak benci sama ibu,ya?!" kalimat yang terucap melalui telepon itu menyakitiku.
Anak-anak ibarat kertas putih, bagaimana orang melukisnya seperti itulah ia kelak.
"Mak, aku pasrah! Aku tak sanggup lagi." Ibu mertua sesenggukan di ujung telepon sana mendengar keputusanku.
Maafkan aku suamiku, aku menghormatimu tapi aku juga ingin bahagia. aku berhak untuk bahagia! keputusan telah ku ambil,. usiaku kini 39 tahun sedangkan engkau masih 29 tahun, kita terpaut jauh. Segala jerih payahku selama ini ku berikan padamu, semua kuikhlaskan. aku ingin menata hidup.
Dengan selisih usia yang jauh, di tambah sikapmu yang senang sembunyi-sembunyi menggandeng wanita muda lain, aku khawatir kelak ketika tak lagi mampu bekerja engkau akan menelantarkanku.
Suamiku, andainya engkau ingin menikah lagi aku izinkan dan jika engkau memang ingin tetap bersamaku seperti yang kau dengungkan detik-detik ini, berhentilah menyakitiku lagi. izinkan aku merengku bahagia tanpa celamu.
Aku tak membencimu.......!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H