Kusuguhkan piring nasi di hadapanmu. Aku sendiri bersiap makan.Â
"Ini surat terakhir mu, Dek!" Kamu ambil sepucuk surat yang kukirim untukmu dari stopmap plastik yang selalu kamu tenteng.
"Hekkk!"Â
Aku hampir tersedak dan terpingkal. Kamu lucu dan formal, mengingatkanku pada tanda bukti pemuatan setiap tulisanku dimuat di majalah kala itu. Kamupun membawa tanda bukti suratku yang terakhir (ngakak.com)
Tanpa tanda bukti pun aku langsung tahu saat tadi kamu turun dari bis, meski di masa itu belum masanya gawai seperti sekarang. Itu pasti kamu, meski aku tak menyangka kamu begitu mungil. Hihihi..
Aku menikmati hidangan rumah makan Padang dengan lahap, sementara kamu kulirik tampak tak berselera.
"Kalau di Madura, daun singkong buat makanan embik(kambing)" katamu berbisik.Â
Waduh, jangan-jangan kamu mengira, aku menganggap mu embik. Eh...Pantesan wajahmu nggak enak banget.
"Aku juga nggak suka ayam, katamu lagi!"
 Jujur, aku sedikit kesal padamu. Makan saja ribet.  Apalagi saat makanan di piringmu masih tersisa banyak. Sepertinya kamu orang yang menyebalkan.
 Kata bapak dulu, "kalau ingin melihat kinerja lelaki, lihat bagaimana dia makan. Kalau sepiring nasi saja tidak mampu dihabiskan, bagaimana dia akan melakukan tanggung jawab menyelesaikan pekerjaan yang lebih besar dengan tuntas? Makan nasi itu seperti menghadapi pekerjaan. Saat orang lain yang menyuguhkan, tidak bisa memilih yang enak dan sesuai selera saja. Tapi apa yang disuguhkan itu adalah tanggung jawab yang harus dibereskan."
Untung saat itu kita cuma makan berdua, kalau bersama bapak, sebagai calon menantu, kamu sudah tidak lulus untuk ujian makan dan kinerja. Hehehe...