Joko Pinurbo berpulang dalam damai.
Dia Mewariskan Celana dan Meninggalkan hati di angkringan.
Dalam celana ada dunia yang penuh cerita.
Membuatnya mengembara dengan banyak cerita dan pengalaman.
Kenapa dia suka sekali mendatangi kuburan?
Karena di sana ada Ibu yang terbaring,
Yang membuatnya teringat kenangan masa kecil.
Yang bercerita tentang celana lucu yang telah lenyap.
Dalam sepotong hati di angkringan,
Menyeret manusia dalam kegalauan.
Berempati tentang hati, yang mungkin tersakiti,Â
Meski dalam angkringan yang nyam nyam, ada hati terasa lezat.
Joko Pinurbo Berpulang. Pergi bersama paru-paru yang mengadu.
Tapi dia berdoa bersama pesolek cantik.
Yang memohon pada Tuhan untuk memetik bulan ke dalam matanya,
Dan meminta Tuhan membuat lipstik pemerah bibir membuatnya banyak bercerita tanpa suara.
Joko Pinurbo berpulang, berdampingan dengan cita-cita untuk pulang ke abadi an.
Menuju rumah yang diidamkan, meski kadang hanya jadi tempat singgah.
Berceloteh tentang manusia yang dijajah telepon genggam,
Yang justru melupakan kontak Tuhan, yang kontaknya tak pernah hilang dibanting gempa.
Joko Pinurbo berpulang, dalam hening yang bertabur kegaduhan makna.
Tak pernah lupa menulis kepada kata, yang tak benci karena membuatnya mencinta diri dengan kurang.
Sebelum pulang kapan-kapan dia bermusuhan dengan lupa.
Dan menginspirasi mudah dengan mudah-mudahan.
Selamat jalan, penyair humanis.
Joko Pinurbo berpulang dalam kedalaman makna.
Mengajak kata bertindak sesukanya.
Tapi mencengkeram dalam untaian mutiara tak terlihat dan hanya bisa dirasa .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H