Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Singgah di Kampung Budha dan Situs Watu Dukun Ponorogo

28 Februari 2024   13:59 Diperbarui: 28 Februari 2024   16:25 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Acara Inagurasi dan pengambilan scarf telah usai. Saatnya kembali ke rumah masing-masing.

 Mas Hendrik dan ayah mengajak mampir ke Kampung Hindu yang informasinya didapat dari internet. 

Kebetulan di Ponorogo sepertinya internet cepat sudah merambah ke pedesaan, bahkan daerah-daerah terpencil.

Setelah semua perlengkapan tersimpan rapi di mobil, kita siap menuju kampung Hindu yang viral di internet.

Jalan desa sudah sedikit tertata meski masih ada yang berupa jalan makadam dan beberapa berupa jalan tol.

Suasana pedesaan masih kental dengan kanan kiri penuh pepohon dan tanaman jagung. Kondisi jalan cukup sulit, dengan tanjakan dan turunan yang cukup terjal dan curam. Beruntung skill mengemudi Mas Hendrik bisa diandalkan.

Sekian lama berputar dan menempuh perjalanan sulit, akhirnya kita memutuskan untuk bertanya pada seorang perempuan yang baru saja mencari rumput yang digendongnya.

"Bu, maaf. Mau bertanya, sesepuh kampung Hindu rumahnya sebelah mana?"

"Oh, ini sudah terlewat. Nanti tanya saja rumahnya Mbah Saimin. Yang ada wihara di dekatnya. Gapura itu masuk, naik ke atas, dekat sekolah!"

"Nggih, Bu. Matur nuwun," jawab Mas Hendrik.

"Kok wihara ya? Tanyaku heran. Wihara kan tempat peribadatan umat Budha? Ah, nanti saja kita buktikan bagaimana sesungguhnya.

Singkat cerita, akhirnya kami menemukan rumah Mbah Saimin, letaknya tinggi di atas. Lumayan, bisa nambah acara pendakian. Eh. Hihihi...

Kami disambut putra dan menantu Mbah Saimin, yaitu Pak Wandi dan Bu Wandi. Sedang Mbah Saimin sedang keluar.

 Meski sudah berusia sekitar 90 tahun, beliau masih sehat dan bugar dan masih suka mencari rumput ke sawah dan ladang meski sudah dilarang. 

Kalau tidak beraktivitas, justru badan sakit semua. Begitu kata beliau seperti ditirukan oleh Bu Wandi.

Mereka sangat ramah menerima kedatangan kami. Bahkan Bu Wandi berbaik hati membuat kopi, teh dan menyuguhkan rempeyek untuk kami.

"Kalau ingin buka internet, password nya 1234####," Bu Wandi berbagi password wifi di rumahnya. 

Mungkin internet cepat bukan barang mewah di Ponorogo. Tapi seperti suguhan dan keramah tamahan warga.

 Luar biasa. Ponorogo hebat. Sangat mudah mendapatkan internet cepat di wilayah ini.

Ternyata benar, di sini bukan kampung Hindu, tapi kampung Budha. Tapi biasa disebut Budha syiwa, sehingga mungkin ada yang menafsirkannya sebagai Hindu.

Obrolan terasa nyaman dan menarik. Ternyata Bu Wandi adalah dosen sebuah Sekolah Tinggi Teologi di Wonogiri. Beliau sedang menempuh S3 di Bali. Tapi hari ini sedang libur.

Sedang Pak Wandi juga menjadi dosen tamu di IAIN Ponorogo untuk Pengetahuan Agama Budha.

Menurut Pak Wandi, Agama Budha mulai masuk ke Dusun Sodhong, Desa Pagerukir sejak tahun 1815.

Mereka berafiliasi dengan umat Budha Wirosumeto,dari  Jogjakarta.

Sedang agama Budha yang dibawa Pangeran Siddharta Gautama sendiri tersebar di wilayah Srilangka, Thailand dan Nepal.

Kehidupan umat Budha di Desa Pagerukir sangat harmonis dengan penduduk sekitar yang menganut agama lain.

Bahkan setiap kali ada program pengabdian masyarakat dari beberapa perguruan tinggi, rumah Pak Wandi menjadi pos yang ramah dan terbuka 24 jam bagi mereka.

Umat Budha yang berjumlah sekitar 150 orang dari 844 jumlah penduduk juga bisa hidup harmonis, saling menghargai dan tolong menolong dengan warga sekitar.

Berkunjung ke Rumah Mbah Saimin atau Pak Wandi ini sungguh menyenangkan. Bisa berbincang banyak hal tentang umat Budha dan penduduk yang menganut agama lain penuh kerukunan.

Sayangnya kami harus segera mohon pamit, karena waktu terus berjalan.

Kamipun berpamitan dan berniat singgah juga di Petilasan Erlangga yang diberi nama Situs Watu Dukun.

Sampai di lokasi saya kaget. Ponsel yang saya pikir sudah masuk di tas, ternyata tidak ada. Di saku, dan jok juga nihil. Dengan sangat menyesal dan mohon maaf, akhirnya kami berbalik lagi. Duh, maaf ya Mas Hendrik, Mb. Lutfi, Dek Wawa. Mau cepat-cepat malah jadi lambat. Hiks...

Alhamdulillah, ternyata memang betul tertinggal. Ayah bersedia mengambilkan.

 Terima kasih ya Ayah, Aku sudah tak sanggup kalau harus naik lagi untuk ambil ponsel.

 Lutut rasanya kaku dan ngilu. Beruntung ayah masih lincah berlari kecil menaiki jalan menanjak. Dan berbalik sambil membawa ponsel saya.

Akhirnya, kita kembali ke situs Watu dukun. Dan saya langsung turun tak sabar ingin memotret kondisi di sana.

Situs Watu dukun, Pagerukir, Sampung Ponorogo (dokpri)
Situs Watu dukun, Pagerukir, Sampung Ponorogo (dokpri)
Situs Watu dukun adalah Sebuah batu besar yang diyakini sebagai punden berundak, seperti dinyatakan oleh seorang pemerhati sejarah.

Situs Watu dukun merupakan sebuah batu besar yang berusia lebih dari 1000 tahun. 

Situs ini ditemukan di sebuah tempat yang diyakini sebagai Danyang atau tempat keramat.

Pohon beringin, biasa tumbuh di tempat yang dikeramatkan (dokpri)
Pohon beringin, biasa tumbuh di tempat yang dikeramatkan (dokpri)

Situs Watu dukun ini terletak di kawasan hutan KPH Madiun, di Bagian Hutan Ponorogo Barat dekat Kabupaten Wonogiri.

Merupakan BKPH Somoroto, RPH Pagerukir.

Lokasi tepatnya ada di Dusun Pagerukir, Desa Pagerukir, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, dengan ketinggian 265 m dpl dan keluasan 0,003 ha.

Suasana hutan di situs Watu dukun (dokpri)
Suasana hutan di situs Watu dukun (dokpri)

Penemuan batu besar itu berawal saat penduduk Pagerukir sedang melakukan bersih-bersih rutin di punden, atau tempat yang dikeramatkan. Mereka mendapati 2 batu besar yang unik dengan pahatan-pahatan aksara Jawa kuno yang sampai saat ini belum terpecahkan artinya.

Batu besar dengan pahatan huruf Pallawa yang belum terpecahkan arti bacaannya (dokpri)
Batu besar dengan pahatan huruf Pallawa yang belum terpecahkan arti bacaannya (dokpri)

Karena masih menjadi misteri, masyarakat dan kepala desa yang merasa ikut memiliki, melakukan pembongkaran dan mengumpulkan batu-batu lain yang ikut ditemukan bersama 2 batu besar itu.

Untuk merawatnya agar tetap terjaga dan aman dari gangguan orang yang tidak bertanggung jawab, batu-batu yang ditemukan diberi pagar pembatas dan dibuatkan ruang tersendiri.

Situs Watu dukun, Pagerukir Sampung Ponorogo (dokpri)
Situs Watu dukun, Pagerukir Sampung Ponorogo (dokpri)

Di sebelah barat ditemukannya situs purbakala itu, juga ditemukan kolam yang biasa disebut  sebagai patirtan dan sampai kini masih terawat.

Patirtan atau sumber mata air ini di samping dipergunakan sebagai pemasok air bersih, juga dimanfaatkan untuk pengairan lahan pertanian sebagai ciri khas kehidupan masa lampau.

Patirtan yang masih terjaga dan terpelihara hingga kini(dokpri)
Patirtan yang masih terjaga dan terpelihara hingga kini(dokpri)

Pemerhati sejarah memperkirakan, batu yang susunannya mirip punden berundak itu sebagai tempat pemujaan dewa syiwa yang merupakan peninggalan era kerajaan Mataram Kuno pada masa pemerintahan Mpu Sendok.

Dikutip dari https://ejournal.undiksha.ac.id:

Secara umum Punden Berundak merupakan sarana pemujaan roh leluhur. Sedang  peninggalan Punden Berundak di Pura,  merupakan bentuk peninggalan yang berakulturasi dengan agama Hindu.

Sedang pemerhati budaya yang lain, memperkirakan, kedua batu yang berbentuk Mangkara dan lingga itu merupakan peninggalan Raja Darmawangsa (992 M)dari kerajaan Medang yang merupakan kerajaan penting di Jawa Timur yang berhasil menguasai Sri Wijaya.

Dikutip dari https://ejournal.ihdn.ac.id

 Lingga artefak sebagai media untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Dari segi bentuknya merupakan lambang Purusa dan Pradana, yang berfungsi  sebagai media untuk memohon kesuburan pertanian kepada Tuhan.

Situs Watu dukun, Desa Pagerukir Kecamatan Sampung Kabupaten Ponorogo (dokpri)
Situs Watu dukun, Desa Pagerukir Kecamatan Sampung Kabupaten Ponorogo (dokpri)

Tapi jika melihat dari nama Petilasan Erlangga yang juga dipergunakan untuk menyebut situs Watu dukun dan sejarah nya, kemungkinan situs Watu dukun ini peninggalan Kerajaan Medang yang ditinggali oleh Erlangga, keponakan sekaligus Menantu Raja Darmawangsa yang berhasil lolos dari serangan Raja Wora wari.

Seperti dikutip dari Wikipedia.com, Airlangga menikah dengan sepupunya Sekar Galuh yang merupakan putri pamannya, Prabu Darmawangsa. 

Pernikahan yang dilakukan di Wwatan, ibukota kerajaan Medang (sekitar Maospati, Magetan, Jatim), berubah menjadi Mahapralaya(bencana besar) karena pemberontakan Raja Worawari dari Lwaram(diperkirakan ada di Ngloram, Cepu,Blora).

Menuju Patirtan situs Watu dukun(dokpri)
Menuju Patirtan situs Watu dukun(dokpri)

Kerajaan Worawari merupakan sekutu Sriwijaya dan mendapat dukungan kuat wangsa Syailendra untuk memberontak. 

Namun ada yang berpendapat, raja worawari memberontak karena :

1. Keinginannya untuk menikahi putri Darmawangsa ditolak.

2. Ambisi raja worawari untuk menguasai kerajaan Medang 

Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (Calcutta stone). Pembacaan Kern yang dikuatkan De Casparis menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 938 Saka, atau sekitar 1016 M.

Dalam pemberontakan tersebut, semua keluarga Darmawangsa termasuk putrinya gugur di tangan musuh, hanya Erlangga yang berhasil meloloskan diri ke sebuah hutan pegunungan di Vana giri (Wonogiri), dan menjalani hidup sebagai pertapa sebelum mendirikan kerajaan Kahuripan.

Kemungkinan ini yang paling besar, mengingat wilayah Sampung dan Wonogiri berdekatan dan berbatasan.

Tapi itu semua masih dugaan dan perkiraan. Kita tunggu saja hasil pembacaan huruf Pallawa yang terpahat di kedua batu tersebut, yang akan dilakukan para peneliti dan ahli sejarah.

Sumber referensi:

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Airlangga

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPS/article/download/1020/887/1911

https://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/VidyaDuta/article/download/680/566

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun