Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Obrolan Pagi di Lapak Soto Lamongan Bundaran Serayu

22 Februari 2024   19:03 Diperbarui: 22 Februari 2024   19:09 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soto Lamongan dan segelas jeruk panas (dokpri)

Sebenarnya pagi ini aku berniat ke jalan baru, dan sarapan soto Lamongan 5 ribuan di sana. Coba bayangkan, saat harga beras melambung, beli soto cuma 5 ribu tentunya "sesuatu" banget.

Aku baru saja membeli beras kemasan 2,5 kg di toko sembako  yang tidak terlalu jauh dari rumah. Sepertinya kemasan khusus, harganya 38.500 rupiah. Berarti harga beras  per kilonya sekitar 15.400 rupiah. Tapi belum kucoba memasak, entah rasanya seperti apa.

Beras petani kemasan 2,5 kg dibandrol 38.500 rupiah di toko sembako (dokpri)
Beras petani kemasan 2,5 kg dibandrol 38.500 rupiah di toko sembako (dokpri)

Kemarin aku bimbang, antara nasi pecel dan soto Lamongan yang sama-sama Kusuka.

Berhubung lama tidak menikmati nasi pecel, aku memilih nasi pecel untuk sarapan. Meski harga beras naik, nasi pecel nya sepincuk tetap 5 ribu rupiah, tapi porsinya diperkecil. 

Di sebelahnya lapak soto Lamongan selalu menggoda, apalagi harganya sama-sama cuma 5 ribu. Tentu membuatku penasaran untuk mengintip penampilan nya. Di saat harga beras naik, apa harga sotonya masih 5 ribu?

Saat itu aku sudah kenyang, apalagi tak tega saat dihampiri penjual arem-arem yang dagangan nya belum laku, sehingga kubeli juga.

Ah, tapi itu cerita kemarin. Saat melintasi bundaran Serayu, mataku tertuju pada lapak soto Lamongan yang di belakang nya terhampar tenda dan banyak pembeli yang lesehan di tikar.

Akhirnya aku justru berbelok dan berhenti di sini. Di bundaran Serayu.

Suasana pagi di bundaran Serayu Kota Madiun (dokpri)
Suasana pagi di bundaran Serayu Kota Madiun (dokpri)

Kudatangi lapak soto Lamongan yang cukup ramai pembeli. Sepertinya mereka pelanggan setia, dan beberapa keluarga yang jalan-jalan pagi.

Tadinya aku mau duduk lesehan, tapi tidak ada mejanya. Sepertinya aku kesulitan kalau harus makan bersila di tikar tanpa meja. Jadi aku memilih duduk di kursi plastik yang juga tersedia dengan tempat duduk yang justru kujadikan meja. Hihihi...

Ternyata aku tidak sendiri, sudah ada seorang ibu yang juga duduk memesan soto. Aku menghampiri dan akhirnya mengobrol. Sebut saja nama beliau Bu Yayuk(bukan nama sebenarnya). 

Kedua cucu Bu Yayuk asyik menikmati soto Lamongan di dalam tenda(dokpri)
Kedua cucu Bu Yayuk asyik menikmati soto Lamongan di dalam tenda(dokpri)

Salah satu kebiasaan burukku, jarang sekali menanyakan nama pada orang yang baru kukenal meski sudah ngobrol asyik ngalor ngidul.

"Sudah biasa jalan -jalan di sini, Bu?" Tanyaku.

"Sudah, ini kalau libur, biasanya cucu diantar untuk menemani," jawab Bu Yayuk.

Bersyukur putra putri beliau masih tinggal sekota di Madiun.

Saat libur, cucu-cucunya menemani beliau.

"Ayo, Le! Tambah sotonya, apa lauknya. Nanti Uti yang bayarin!" Bu Yayuk menawari kedua cucunya yang sedang asyik menikmati soto sambil lesehan di dalam tenda.

Lapak soto Lamongan Bundaran Serayu kota Madiun (dokpri)
Lapak soto Lamongan Bundaran Serayu kota Madiun (dokpri)

"Alhamdulillah selalu sehat, putra putri juga masih tinggal sekota, ya Bu!"

"Iya, Alhamdulillah. Pokoknya orang tua itu yang penting hatinya. Kalau hati senang, itu sudah cukup. Cuma lutut saya ini ngilu. Maklum sudah berumur. Jadi saya pilih duduk di kursi. Kalau duduk di tikar, susah bangunnya!"

"Saya juga, Bu. Mungkin obesitas. Hehehe!"

Sejenak aku teringat almarhumah Ibu. Apakah beliau dulu sedih, putra putrinya tinggal berjauhan? Ada rasa sesak dan nyesek di dada.

Akhirnya kami ngobrol asyik sampai tak terasa soto sepiring sudah ludes 

Aku pamit lebih dulu setelah kubayar sepiring soto Lamongan dan segelas jeruk panas 14 ribu. Seribu jatahnya Kang parkir yang sabar menunggu dan mengatur motor maupun mobil yang parkir.

Suasana bundaran Serayu Kota Madiun di pagi hari (dokpri)
Suasana bundaran Serayu Kota Madiun di pagi hari (dokpri)

Sebelum meninggalkan bundaran Serayu , aku melihat-lihat lapak penjual lain. Ada mie ayam, bakso, rawon, gorengan dan masih banyak lagi.

Aku mendatangi lapak gorengan yang terlihat laris. Ternyata sudah habis, meski masih sangat banyak yang digoreng, katanya sudah dipesan.

Aku mendatangi penjual getuk yang terkantuk-kantuk  sendirian. Dan membeli meski cuma sebungkus. 

Mungkin di saat harga beras mahal, getuk bisa menjadi makanan pengganti beras.

Getuk berasal dari ketela pohon yang dikukus atau direbus dan dihaluskan. Getuk bisa menjadi makanan pengganti nasi, dengan kata lain, ketela pohon bisa dipergunakan sebagai pengganti beras.

Getuk(dokpri)
Getuk(dokpri)

Ketela pohon atau singkong juga sumber karbohidrat yang mengenyangkan, sehingga bisa menjadi pengganti beras. Harganya juga relatif murah. Per kilo hanya sekitar 6-7 ribu rupiah.

Besok kita bahas lagi tentang ketela pohon yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti beras.

Sekarang Saatnya melanjutkan perjalanan mengeksplor kota Madiun yang mempunyai banyak spot kuliner menarik.

Yuk, mari ...

Selamat bertemu di lapak kuliner lain ya ..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun