Suka menikmati kuliner di pinggir jalan, atau membeli dari para PKL?
Kenapa?
Tentunya salah satu alasan kita karena harganya relatif murah dan terjangkau dibanding menikmati kuliner di restoran.
Sebagai perbandingan, harga kuliner yang ditawarkan PKL mungkin hanya sekitar 5-10 ribu rupiah.
Tapi harga di restoran bisa 2-3 kali lipatÂ
Bisa jadi itu karena pajak yang harus ditanggung pengusaha kuliner sebesar 10% dibebankan pada konsumen. Sedangkan PKL tidak berkewajiban membayar pajak.
"Kami menemui usaha tahu kupat dalam sehari bisa laku  200 piring, mengalahkan resto"
 (Tulus Widajat, kepala Bapenda Kota Solo)
Itu salah satu alasan, kenapa PKL di Kota Solo juga akan ditarik pajak.
Hal ini sesuai kriteria dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Perda Nomor 14 Tahun 2023.
Semua pelaku usaha kuliner  yang termasuk dalam kriteria restoran wajib membayar pajak 10 %.
 Penarikan pajak ini apabila pelaku usaha kuliner, termasuk PKL omzetnya dalam sebulan telah mencapai Rp 7,5 juta.
"PKL tetap kena, semua jenis usaha makan-minum di tempat, ada alat makan, meja, dan kursi disebut restoran, "Â
Lanjut Tulus lagi.
Jangan meremehkan pedagang kaki lima seperti penjual, soto, bakso, tahu kupat, siomay, mie ayam dan lainnya.
Kenyataan di lapangan, ada banyak pedagang kaki lima yang omsetnya melebihi restoran. Padahal untuk restoran dikenakan pajak 10 persen, sedang PKL tidak.
Pajak untuk PKL ini disebabkan oleh beberapa hal .
Dikutip dari soloraya.solopos.com(17/1/2024) Tulus mengatakan :
Adanya  UU No.1/2022 mengenai lingkup hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, membuat potensi pajak hilang.
Hal ini karena :
- usaha kost-kostan  yang sebelumnya dipungut pajak, sekarang tidakÂ
-pajak parkir sebelumnya 25% menjadi 10%.
-beberapa jenis pajak hiburan turun dari 20% menjadi 10%.
Target realisasi pajak di kota Solo dari Rp 524 miliar di tahun 2023 menjadi Rp 557,8 di tahun 2024.
Untuk itu Bapenda Kota Solo melakukan berbagai strategi untuk memaksimalkan realisasi pajak.
Strategi yang dilakukan, dengan :
1. Menarik pajak dari PKL yang mempunyai usaha makan dan minum di tempat, memakai alat makan, meja dan kursi, sehingga dianggap sebagai resto.
2. Menarik pajak dari PKL yang mempunyai omzet 7,5 juta rupiah per bulan.
3. Memberikan insentif  berbentuk voucher pada pelaku usaha kuliner dan konsumen nya dengan cara diundi.
 Saat konsumen kembali untuk bertransaksi di restoran, maka Bapenda mendapat pajaknyaÂ
4. Mengkolaborasikan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan penagihan piutang semua jenis pajak.
Lalu bagaimana respon para PKL dengan pajak yang diberlakukan?
Beberapa PKL menyatakan keberatannya. Tapi sebagian besar bersedia membayar pajak jika memang sudah disosialisasikan dan menjadi kewajiban.
Tapi mereka menyatakan, jarang sekali dalam sehari bisa mencapai 100 porsi. Biasanya hanya sekitar 50 porsi. Itupun sudah  disyukuri.
"Abot (berat) lah, kena pajak itu pasti abot!"
Kata Yono (56 thn ) seperti dikutip dari detik com.
Jika Undang-undang baru diterapkan pada PKL di Kota Solo, apakah harga-harga kuliner di tingkat PKL juga akan naik?
Bisa jadi begitu. Penarikan pajak tentunya juga akan berimbas pada konsumen, jika harga kuliner juga naik.
Kita tunggu saja, apakah Madiun juga akan menerapkan kebijakan serupa?Â
Atau justru sebaliknya, Pak Walkot justru tidak menarik pajak karena telah berkomitmen mendukung para PKL sekaligus pelaku UMKM dengan berusaha meningkatkan kesejahteraan nya?
Daftar referensi:Â
https://soloraya.solopos.com/asyik-bapenda-solo-akan-berikan-voucher-restoran-tertentu-1841834
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI