Sawah terhampar saat kubuka jendela.
Mengingatkanku akan memancing belut.
Mainanku setiap hari sebagai anak desa yang tinggal di sekitar sawah.
Tapi kini hanya bisa kudatangi saat liburan.
Fajar ini masih milikku, saat bayang-bayang masih hitam,
dan semburat jingga mulai menyapa.
Angin pagi lembut membelai.
Menyelusup ramah di setiap inci Sukma.
Bayangan kecil menyusuri pematang.
Bergerak di antara bibit-bibit padi menghijau.
Sesekali turun ke sawah menangkap Melik, ikan mungil santapan belut sawah.
Kenangan manis yang menjadi jejak yang tak pernah musnah.
"Hai, cewek itu dapat belut yang besar!"
Teriak anak kota yang takjub pada belut yang menggelepar di ujung mata kailku.
Aku asyik sendiri, tak peduli tatapan heran dan mungkin kagum.
Ah, emang gue pikirin.
Aku tersenyum sendiri. Saat seperti itu mungkin takkan kembali.
Sawah-sawah kering dan puso. Mungkinkah itu efek el nino?
Atau dampak gentrifikasi dan globalisasi.
Atau efek pemanasan global yang kian menghantui.
Entah gentrifikasi, entah efek El Nino.
Sawahku dan memancing belut kini tak lagi sama.
Tak bisa lagi kulakukan, karena aku harus sadar, itu sudah bukan masaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H