Dawet Kudus di Madiun, seperti apa?
Ketika aku lewat depan SMP 1 Dolopo, tulisan itu berhasil  membangkitkan rasa penasaran ku.
Dawet Jabung, aku sudah tahu bahkan sering menikmati. Kalau dawet Kudus seperti apa?
 Dawet Jabung khas daerah Ponorogo itu sering disajikan bersama Gempol. Bulatan tepung beras yang unik.
Dawet Ayu  Banjarnegara? Aku juga sudah tahu.
Kalau dawet Kudus seperti apa?
Dawet ayu Banjarnegara dibuat dari tepung beras, yang biasanya berwarna hijau,dengan sirup gula kelapa berwarna coklat dan santan putih, sangat cantik perpaduannya. Rasanya pun lezat dan istimewa.
Dawet Ireng Purworejo? Aku juga akrab. Secara Purworejo adalah kampung halamanku.
Tapi dawet Kudus seperti apa?
Dawet Ireng jembatan Butuh, Kecamatan Butuh yang singkatannya membuat orang berpikiran mesum itu juga unik dan lezat.
Dawet Kertobanyon? Aku juga sudah beberapa kali mencicipi. Kalau dawet Kudus seperti apa?
Dawet Kertobanyon terkesan "ramai" karena dalam penyajiannya dicampur bubur sumsum, jenang grendul, kolak, mutiara dan bermacam isian  itu rasanya segar dan heboh. Unik juga.
Terus, dawet Kudus itu seperti apa. Yang kutahu, di sini yang terkenal itu soto Kudus. Kalau dawet belum pernah kucoba rasanya.
Yuk, mampir saja biar tidak penasaran.
"Dawet ya,Pak?" Tanyaku.
"Iya,Bu. Dawet Kudus!"
"Bungkus dua ya,Pak!
"Nggih,Bu. Silakan duduk dulu!"
"Foto boleh,Pak?" Tanyaku.
"Monggo,Bu!". Kata Pak Budi malu-malu. Hehehe...
Selesai klak klik aku duduk di kursi plastik yang tersedia.
"Panjenengan asli Kudus,Pak?"
"Iya,Bu!"
"Panjenengan asmane sinten?" (Bapak namanya siapa?)
"Saya, Budi Utomo,Bu!"
"0wh. Keren namanya. Hehehe..
"Kudusnya mana,Pak? Dekat Menara Kudus?"
"Iya,Bu. Dekat!"
"Teman saya ada yang rumahnya dekat menara Kudus Pak. Jalan Kapten Telingsing. Eh, bukan! Jalan Kyai Telingsing!" Aku sering salah  menginterpretasikan saat temanku menulis K.Telingsing. Kupikir K itu kapten. Ternyata Kyai. Hihihi...
"Itu di kotanya,Bu. Kalau saya kira-kira 5 km dari menara."
"Itu sih jauh,Pak. 5 km. Tapi tetap dekat dibanding jarak Madiun-Kudus. Hahaha!"
"Kalau teman saya dekat,Pak. Paling jalan kaki juga nyampai!"
"Saudara nya,Bu?"
"Teman,Pak. Teman kuliah, hehehe..
Pak Budi kemudian asyik meracik es dawet Kudus yang kupesan.
Kulihat isian dawet disimpan di toples-toples beling.
Ada roti tawar, janggelan, cendol berwarna hijau, tape singkong, juruh(sirup gula merah) dan santan. Pak Budi juga menambahkan susu kental manis. Wah, jadi kaya es teler. Hehehe...
Mungkin yang berasal dari luar Madiun, penasaran dengan janggelan. Kalau yang Madiun mungkin sudah akrab dengan pangan lokal jenis ini.
Janggelan adalah sejenis cincau hitam yang dibuat dari daun tanaman khusus, yang diperas, kemudian direbus dan dibiarkan dingin sampai mengental.
Biasanya, es dawet di daerah Dolopo itu adalah es janggelan, bukan cendol. Saya sempat kaget saat pertama kali membeli dawet tidak ada cendolnya. Ternyata es dawet di sini memang tidak memakai cendol, tapi janggelan.
Meski begitu, ada juga yang memakai cendol, dengan nama es cendol dawet.
Es dawet Kudus ini ternyata memakai janggelan juga meski tetap ada cendolnya.
"Sudah,Bu." Kata Pak Budi mengagetkanku.
"Berapa semua,Pak?"
"Dua, sepuluh ribu,Bu. Satunya 5 ribu!"
"Terima kasih ya,Pak!" Kuulurkan 2 lembar 5 ribuan pada Pak Budi dan berpamitan.
"Hati-hati, Bu!"
"Nggih,Pak! "
Aku meluncur pulang sambil membawa es dawet Kudus pesanan ayah. Tambah lagi perbendaharaan dawet tanah air. Hehehe..Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H