Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023. Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mengapa Bisa Kena Razia Cukur Rambut, Nak?

10 September 2023   13:35 Diperbarui: 11 September 2023   12:02 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gondrong saat magang di luar Jawa. Tidak ada lagi yang merazia cukur rambut kalang kabut (dokpri) 

"Kenapa rambutmu bisa kalang kabut begitu? " Aku terbelalak, melihat si sulung terlihat aneh. 

"Dicukur Pak Andri(bukan nama sebenarnya).  Kena razia cukur rambut! "jawab si sulung sambil tertawa. 

"Mengapa bisa kena razia cukur rambut,Nak?  " Tanyaku. 

"Gondrong,Bunda. Sudah melebihi telinga. Jadi dipotong kalang kabut! " Lanjut si sulung. 

"Bunda juga sudah minta kamu cukur sejak kemarin-kemarin kan. Kalau kamu patuh kan nggak kena razia cukur rambut! "

"Sana dibotakin sekalian! " Kataku sambil memberinya uang untuk bercukur. 

Peristiwa razia cukur rambut itu terjadi saat anakku masih bersekolah di SMA. Tapi cuma sekali, kalau aku tidak salah mengingat. 

Mungkin cara menghukum dengan mencukur sekenanya, bukanlah  tindakan bijak. Tapi bagaimanapun,itu adalah tindakan untuk menegakkan peraturan. 

Jadi Aku menyuruh anakku untuk bercukur botak sekalian. Rapi dan tidak menjadi sarang kutu. Eh... 

Apalagi sejak anak-anak pertama kali masuk juga sudah diberi tahu tata tertib di sekolah. 

Jadi saat mereka tertangkap razia cukur rambut karena melanggar dan mendapat hukuman, sudah sewajarnya mereka menerima dengan penuh tanggung jawab atas kealpaan mereka. 

Anakku  juga menyadari kesalahannya. 

Malu? 

Terintimidasi secara psikis? 

Tidak!

Mungkin mirip emaknya. Ndableg. Males kalau harus merasa malu karena penampilan yang jelek. 

Memangnya kenapa kalau dipotong kalang kabut? Jadi bahan tertawaan? Ikut ketawa, kenapa! Hahaha.. 

Ya, sudah. Buat apa dipermasalahkan dan dibahas berlebihan. 

Tinggal dibotak juga paling seminggu sudah tumbuh rambut. Mungkin lebih hitam, lebat dan sehat. Hehehe.. 

Mungkin aku bisa bilang begitu karena anakku laki-laki semua, jadi rambut cepak tidak masalah. 

Tapi tentunya berbeda ceritanya kalau anakku perempuan. 

Memotong rambut asal-asalan tentu memberikan dampak yang lebih dalam dan melukai martabat saat mahkotanya tanpa ampun dibabat. 

Model rambut adalah hak azazi? 

Bagaimana dengan rasa tanggung jawab dan konsekuensi? 

Apakah gara-gara tidak suka, maka peraturan boleh dilanggar? 

Sejak kapan ego pribadi mengalahkan peraturan resmi? 

Apakah karena kurikulum merdeka? 

Tapi tentunya lain, kalau yang dicukur jadi kalang kabut itu anak perempuan. 

Rambut menjadi bagian dari penampilan dan lazimnya dipanjangkan. 

Mengapa kasus pencukuran rambut menjadi isu seksi dan sensitif? 

Isu gender? Rasis? 

Kebebasan berpenampilan?

 Manusia hidup tentunya tetap ada batasan dan norma yang mengikat. 

Peraturan sebaiknya dipatuhi. Kecuali kalau sudah ada kesepakatan untuk merubahnya, seperti rambut gondrong yang menjadi polemik. 

Mungkin di kurikulum merdeka, kenyamanan siswa menjadi tujuan utama, tapi bukan berarti boleh melanggar peraturan sesukanya. 

Dalam lingkungan formal, tetap ada peraturan yang harus dipatuhi. Tapi memang sebagai hukuman (punishment) harus ada cara yang bijaksana, atau kesepakatan bersama. 

Mencukur rambut anak laki-laki mungkin masih merupakan suatu kelaziman. 

Tapi bagaimana jika razia cukur rambut ini dilakukan pada anak perempuan? 

Seperti kasus yang terjadi di sebuah SMP di Lamongan. 

Seperti dikutip dari www.bbc.com, 

Seorang guru SMP Negeri 1 Sidodadi, Lamongan, Jawa Timur, membotaki rambut kepala bagian depan 19 siswi kelas IX karena tidak mengenakan dalaman kerudung alias ciput. 

Padahal membotaki rambut di kepala otomatis akan membuka kerudungnya yang merupakan pelanggaran syariah. Sebab fungsi kerudung untuk menutupi rambut di kepalanya. 

Otomatis mencukur rambut juga menyuruh siswi membuka kerudungnya. Ini penegakan peraturan yang justru merupakan pelanggaran hak privacy untuk menutup rambut. 

Bisa jadi, hukuman membotaki kepala siswi yang tidak mengenakan ciput, sehingga rambutnya terlihat, adalah wujud menegakkan peraturan. 

Tapi sanksi suatu pelanggaran, seharusnya sudah disosialisasikan dan dipahami oleh para siswi yang berjilbab. 

Tidak serta merta menggunduli tanpa pemberitahuan. 

Bisa juga memberi solusi dengan melatih siswa menggunakan jilbab yang benar. 

Mungkin inti dari permasalahan, bukan tidak boleh memberi sanksi, tapi bagaimana menerapkan sanksi yang efektif, tapi tidak menimbulkan kegaduhan dan intimidasi atau tekanan psikis kepada para siswa. 

Paling tidak, sanksi yang akan diberikan sudah disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga ada kesepakatan dan dasar aturan yang jelas saat siswa/siswi diberikan sanksi karena melakukan pelanggaran. 

Seperti sanksi poin pelanggaran yang sudah banyak diterapkan pada sekolah di tingkat SD, SMP atau SMA yang sudah disetujui bersama. 

Terlepas dari kurang tepatnya sanksi yang diberikan, tentunya lebih bijak kalau terlebih dulu memberi pengertian dan sosialisasi pada siswa atau siswi tentang pelanggaran dan sanksinya. 

Sanksi yang diberikan juga harus proporsional dan mengedukasi, bukan mengintimidasi. 

Misalnya memberi sanksi untuk kelipatan poin pelanggaran yang disepakati, siswa diharuskan menyetor hafalan surat. 

Jadi siswa yang dikenai sanksi justru mendapat keuntungan karena termotivasi dan mempunyai tanggung jawab untuk menerima sanksi, dengan rajin menghafal. 

Sedang akibat dari penggundulan bisa jadi hanya mempermalukan pelanggar peraturan tanpa manfaat yang relevan dan edukatif. Apalagi jika penggundulan dilakukan kepada siswa perempuan. Ini tentunya kurang tepat. 

Bagaimana menurut pembaca? 

https://www-bbc-com.cdn.ampproject.org/v/s/www.bbc.com/indonesia/articles

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun