Baru saja kita berlalu, dari penjual lontong balap dan lontong kupang yang sangat kezat, menurutmu.Â
Di trotoar, bapak penjual buku loak membuka lapak.Â
Saat ini,banyak toko buku tutup.Â
Bahkan Toko buku gunung Agung tutup, padahal sudah puluhan tahun berpengalaman.Â
Apalagi bapak penjual buku loak, bagaimana nasibmu?Â
Kamu segera menghentikan motormu, dan mendekati penjual buku loak itu.Â
"Lihat bukunya ya, Pak! " Desismu antusias.Â
Seantusias bapak penjual buku loak yang tiba-tiba matanya berbinar.Â
"Monggo! " Jawabnya renyah. Tak mampu menyembunyikan asa yang tiba-tiba menyala.Â
Buku lusuh, tapi masih terawat dalam sampul plastik.Â
Buku resep sedap, Batu Mulia, buku agama, terlihat menarik.Â
Obstetri, kedokteran, matematika, ekonomi.Â
Ahai, itu buku-buku bagus. Meski kumal tetap bermanfaat.Â
Ilmu-ilmu yang tidak bakalan berkarat.Â
Satu, dua, terpilih buku tebal. Tempat tersimpan ilmu yang kekal.Â
Saya ambil dua dulu, Pak. Semoga lain kali bisa memilih lebih banyak.Â
Sang bapak terhenyak. Gemetar menerima uang dari buku yang pertama terjual.Â
Di saat semua serba digital, menjual buku loak terasa janggal.Â
Tapi semua harus dicoba, berjudi dengan masa yang menua.Â
Tak kan lari gunung dikejar. Kalau rejeki tak ke mana.Â
Bapak Penjual Buku Loak, bagaimana nasibmu?Â
Allah Maha Kaya,Â
Allah Maha pemurah.Â
Senyumnya pasrah.Â
Bapak penjual buku loak, bagaimana nasibmu? Kami tinggal kan dirimu. Semoga laris daganganmu.Â
"Saat hujan, pasar sepi, bukuku tak laku.Â
"Bahkan untuk buku-buku loak yang seharusnya tak peduli daya beli turun.Â
"Perutkupun tak terisi dalam dingin yang beku. Tak ada uang untuk membeli makan".
Bisikmu berkaca-kaca, mengingat masa lalu yang pilu. Karena Bapak penjual buku loak itu seperti cerminan dirimu saat kecil dulu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H