Kami hanya tinggal berdua, ditambah si  sulung. Jadinya bertiga. Dan saat itu aku mulai mengandung si bungsu.Â
Butuh perencanaan matang untuk mempersiapkan kelahiran si bungsu, dan mempersiapkan fisik dan mental si sulung.
 Sementara tak sedikit yang justru mencemooh, kenapa tidak ber KB, kenapa tidak menunda kehamilan kedua, kasihan si sulung, seperti orang yang tidak berpendidikan, dan banyak kata yang menyakitkan hati dan memerahkan telinga kalau ditanggapi dan dimasukkan ke hati.Â
Beruntung si sulung bukan anak yang sulit. Anaknya mudah akrab dengan siapa saja.Â
Bersama akupun dekat, bersama suami juga dekat. Diajak saudara-saudarapun mudah akrab. Anaknya supel sampai dewasa.Â
Langkah pertama yang kami ambil dengan menyapih si sulung dengan memberikan susu formula.Â
Alhamdulillah hal ini berjalan mudah. Si sulung bisa menerima. Jika malam terbangun dan minta minum, suamiku yang ikut bangun dan membuatkan susu.Â
Berbagi tugas. Sehingga saat si bungsu lahir, si sulung sudah terbiasa dan dekat dengan ayahnya.Â
Berlainan dengan si sulung, si bungsu lebih lama mendapat ASI. Dua tahun lebih. Saat umur 2 tahun, saya melatih menyapih.Â
Saat salah satu buah hatiku minta minum, dua-duanya aku buatkan susu dengan cangkir-cangkir lucu.Â
Sehingga tanpa menyapih penuh drama, si bungsu dengan sendirinya terbiasa minum menggunakan cangkir bersama kakaknya, dan tidak minta ASI lagi.Â