Sebanyak 68 TPU di Jakarta, di antaranya sudah hampir terisi penuh. Sehingga hanya tersedia model pemakaman tumpang (Fransiskus Wahyu dan Erika Kurnia, via Kompas. id)
Makam adalah rumah masa depan yang sesungguhnya.Â
Seringkali orang juga menyebut makam dengan kuburan.Â
Namun sebenarnya ada perbedaan makna dalam menyebut kedua kata itu.Â
MakamÂ
Makam adalah tempat peristirahatan terakhir, saat jiwa yang hidup disemayamkan untuk beristirahat selamanya.Â
Kuburan
Kuburan adalah suatu tempat untuk menguburkan mayat.Â
Mungkin kata makam lebih halus dan lebih jamak digunakan daripada kata kuburan.Â
Di kota, lahan makam sudah biasa diperjual belikan. Apalagi di Jakarta, seperti yang sudah diilustrasikan dalam berita yang dikutip dari kompas. id.
Tak sedikit makam yang bertarif mahal, apalagi makam-makam dengan penjaga khusus yang biasa membersihkan makam dan menjadi juru kunci.Â
Tentunya di samping lahannya, juga ada biaya kebersihan dan pemeliharaan yang dikelola dinas atau pemerintah setempat.Â
Di Kota besar, jarang sekali terdapat makam gratis.Â
Kalaupun gratis, biasanya ada syarat-syarat tertentu, misalnya :
-Harus merupakan penduduk atau ber KTP di desa tempat makam berlokasi.Â
-Lahir dan besar di situ.Â
- Mempunyai sanak saudara yang sudah dimakamkan disitu.Â
Mungkin, makam di kampung halaman saya yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah, adalah makam yang paling ramah.Â
Hampir semua orang boleh dimakamkan di situ.Â
Dahulu, waktu saya kecil, sisa lahan makam masih bisa dipakai sebagai lapangan bola. Sehingga makam tidak mempunyai kesan angker.Â
Bahkan saya sering memetik juwet yang tumbuh di areal makam. Tapi kalau ketahuan bapak, dimarahi. Senyaman apapun, makam bukanlah tempat bermain.Â
Saat saya beranjak remaja, sisa lahan makan menyempit, dan hanya cukup untuk lapangan voli. Saya sering main voli di situ.Â
Sekarang, lahan makam sepertinya sudah tidak bisa untuk bermain, tapi jarak makam yang satu dengan yang lain masih agak jarang.Â
Nisan-nisan masih bisa dibangun megah, meski sebenarnya, lebih baik secukupnya saja.Â
Kebetulan, sudah lama almarhum bapak membeli lahan dalam areal makam. Tidak luas, mungkin hanya sekitar 5 x 4 atau 5 x 3 meter, atau lebih luas, saya tidak hafal persisnya.Â
Jadi meski di areal makam umum, tanah di ujung makam itu milik sendiri. Di situ dimakamkan almarhum bapak, saudara-saudara bapak dan istrinya, keponakan, ibu, dan adik saya.Â
Sebenarnya, areal makam itu bebas dipergunakan seluruh warga.Â
Bahkan banyak warga, yang keluarganya tinggal di kota lain, saat meninggal dimakamkan di situ, tanpa syarat.Â
Bahkan saat pandemi covid-19 pun, ada beberapa korban yang dimakamkan di situ.Â
Makam itu memang sangat ramah, dan bebas dimanfaatkan warga. Sangat berbeda dengan di kota yang diperjual belikan.Â
Bahkan di desa-desapun mulai banyak makam yang memberlakukan syarat tertentu, bahkan harus membayar.Â
Apakah di tempat para pembaca dan kompasianer juga mengalami krisis lahan makam?Â
Mungkin mulai sekarang kita perlu memikirkan, di mana suatu saat nanti raga kita akan dimakamkan.Â
Kalau di kota besar, satu liang lahat mulai dipergunakan untuk 2 orang, mungkin lebih yang disebut makam tumpang.Â
Mungkin itu salah satu cara untuk mengefisienkan fungsi makam.Â
Tapi di desa, hal seperti itu belum lazim dilakukan karena lahan makam masih cukup luas tersedia.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI