Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023. Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bakso Gunung Lawu Unik, Hidden Gem yang Menggelitik

31 Mei 2023   12:15 Diperbarui: 31 Mei 2023   12:28 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja yang jingga menyelimuti Gunung Lawu yang mulai bersembunyi. Terlukis indah dalam guratan alam yang membayangi perjalanan kami. 

Saya berboncengan bersama suami menuju Kota Madiun. Sudah terlalu sore sebenarnya, tapi kami santai saja melaju di atas aspal. 

Libur sabtu minggu ini aktifitas dan acara masih menyibukkan suami. 

Baca juga: Bakso Tulang Rusuk

Sabtu yang biasanya libur, ada acara workshop, sementara minggu pagi sampai siang ada undangan manten. Membuat jadual kencan terabaikan. Eh.. 

Biarlah sore ini kami ganti dolan bareng, jangan sampai dianggap sibuk kerja lupa kencan. Hehehe.. 

Bahagia itu sederhana. Benarkah? 

Atau bahagia harus diciptakan sendiri? 

Bahagia memang sederhana, tapi pada kenyataannya, bahagia diukur dengan indeks kebahagiaan. 

Bahagia itu sederhana, menghabiskan waktu bersama keluarga (dokpri) 
Bahagia itu sederhana, menghabiskan waktu bersama keluarga (dokpri) 

Dilansir dari laman www.bps.go.id, indeks kebahagiaan diukur dari 3 dimensi, yaitu :

1.Dimensi Kepuasan Hidup (Life Satisfaction)

2. Dimensi Perasaan (Affect)

3. Dimensi Makna Hidup (Eudaimonia).

Tapi yang terpenting, kebahagiaan itu datang dari diri kita sendiri. 

Jadi, mari kita nikmati bahagia sesuai persepsi kita masing-masing. 

Sampai di Madiun, adzan maghrib berkumandang, jadi kita tunaikan dulu kewajiban shalat maghrib di Masjid Al Hidayat. 

Awalnya, saya ingin mengunjungi pameran barang klithikan, atau barang antik di sekitar GOR Wilis, ternyata siangnya sudah tutup.

Akhirnya kami memutuskan untuk hunting bakso di jalan Diponegoro yang kami temukan ulasannya di medsos. 

Bakso yang menurut awal sejarahnya merupakan Chinese food itu suda menusantara dan menjadi makanan sejuta umat. 

Agak susah menemukannya kalau belum tahu di mana lokasinya. 

Setelah genap 3 kali mondar-mandir menyeterika jalan, eh... 

Akhirnya ketemu lokasinya. 

Story Doeloe cafe Madiun (dokpri) 
Story Doeloe cafe Madiun (dokpri) 

Tulisannya tidak terlalu besar dan tidak mencolok, jadi agak susah ditemukan. Tersembunyi dalam keramaian Jalan Diponegoro Madiun. 

Cafe Story Doeloe ini ternyata menempati halaman depan kantor notaris PPAT. 

Akhirnya kami sampai juga, dan mencari tempat duduk yang di tata nyaman. 

Ada yang berada di sepanjang trotoar jalan, ada yang menghadap jalan, ada yang berada di tempat agak tinggi seperti teras. 

Menu di kafe story Doeloe (dokpri) 
Menu di kafe story Doeloe (dokpri) 

Sebenarnya, di kafe ini ada banyak menu selain aneka bakso. Ada bakso aci dan seblak juga dengan harga terjangkau. 

Tempatnya tidak terlalu besar, tapi cantik artistik. 

Karyawan kafe segera mendatangi kami dengan membawa daftar menu, sayangnya hanya tinggal bakso Lawu dan bakso mungkruk. Itupun tinggal sedikit. 

Bakso gunung lawunya tinggal 3 porsi, bakso mungkruknya tinggal 1 porsi. 

Menu selain aneka bakso (dokpri) 
Menu selain aneka bakso (dokpri) 

Kami pilih 2 porsi bakso Lawu yang terlihat menarik. Minumnya kali ini kita kompak memesan coklat hangat.

Tak lama pesanan disajikan. 

Bakso Gunung Lawu yang menjulang di tengah mangkok, dengan saus di sekelilingnya. Aromanya menggoda selera. 

Kamipun segera melakukan ritual potong gunung, eh.. Potong bakso. 

Suami saya lebih suka memotong bakso nya seperti potong tumpeng dengan mengepras pucuknya. 

Sedang saya lebih suka mengiris secara vertikal, dan cruttt...! Ada saus yang muncrat, seperti lahar yang dimuntahkan gunung berapi. 

Sementara dalam genangan magma ada batu sebesar telur dan lava pijar. 

Eh, bukan. Hahaha... 

Ternyata itu adalah genangan saus, cabe rawit merah, dan telur asin yang mengisi bakso Lawu. Unik dan kreatif ya.. 

Bakso gunung Lawu (dok kafe story Doeloe) 
Bakso gunung Lawu (dok kafe story Doeloe) 

Yuk kita cicipi rasanya. 

Nyam. Nyam... Enyaakkk!!!! 

Saus nya enak, baksonya lebih enak lagi. 

Saya mencoba memakan telur asinnya juga, ternyata perpaduan bakso dan telur asin cukup harmonis dan serasi. Pasangan kalee.. 

Owh... Huhahhh! Tak sengaja terceplus itu si kecil-kecil cabe rawit. Pedasss.. 

Tolong.. !!! Beruntung ada coklat hangat yang setia mendampingi dan mengobati rasa pedas. 

Enak sih, sebenarnya. Kan kapok lombok. Hehehe.. 

Tapi untuk yang tidak suka pedas, Hati-hati ya, biar tidak terkena ranjau cabe rawit. 

Selain mangkok pertama berisi bakso gunung Lawu yang menjulang, ada sajian mangkok kedua berisi kaldu kuah bakso, mie,irisan kol, bawang goreng dan sledri. 

Bakso gunung Lawu (dokpri) 
Bakso gunung Lawu (dokpri) 

Dinikmati bersama sajian bakso saos, tentunya semakin segar dan nikmat. 

Dengan guyuran kuah kaldu, tanpa tambahan kecap, saos dan sambal lagi, rasanya sudah pas dan lezat. 

Sudah dulu ya, kami habiskan dulu Baksonya. Pokoknya lezat dan kenyang. 

O, iya. Seporsi bakso gunung  Lawu ini dibandrol 22 ribu rupiah. 

Tapi pokoknya tidak menyesal, menikmati bakso Lawu ini seperti diajak berpetualang dan mengeksplor gunung berapi melalui pengalaman kuliner yang seru. 

Keren kan? Hehehe... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun