Pagi yang dingin.
Derai hujan masih betah berokestra sejak semalam.
Namun rencana kemarin sudah bulat. Hari ini kita akan melakukan nyekar ke Surabaya dan Mojokerto. Tempat almarhum Bapak mertua dan almarhum ah Ibu mertua bersemayam dalam tidur panjangnya.
Sudah tidak bisa ditunda, sebab besok kita sebagai umat muslim sudah mulai berpuasa Ramadan. Puasa fardu yang harus dilaksanakan.
Apakah Nyekar merupakan tradisi?
Berasal dari kata sekar, yang artinya bunga.
Nyekar, artinya menabur bunga di pemakaman, tempat leluhur, orang tua, atau sanak saudara dikebumikan.
Kami mencicil nyekar ke keluarga suami dulu, agar lebaran nanti kita tidak perlu kalang kabut ke barat dan ke timur sekaligus.
Bisa mudik Purworejo langsung. Apalagi tak lama lagi kami akan mengadakan selamatan 100 hari meninggalnya Ibu. Sehingga bisa lebih kusyuk dan konsen.
Memasuki gerbang tol, hawa dingin semakin menusuk. Entah karena cuaca yang mengandung kelembaban tinggi, atau AC mobil yang terlalu dingin.
Privilese mendapat akses khusus dalam jalan bebas hambatan ini tentu sangat memudahkan, menyenangkan dan layak dinikmati.
Meski untuk itu perlu merogoh kocek ratusan ribu.
Suasana sepi, langit terlihat gelap kelabu.
Mobil melaju dengan kecepatan di atas 100 km/jam. Serasa penyewa tunggal jalan tol, karena jalan begitu sepi.
Suasana agak berkabut meski pandangan luas tak terhalang.
Tetap harus hati-hati. Jangan sampai lengah. Satu dua mobil melesat dengan kecepatan tinggi.
Alhamdulillah, akhirnya bisa keluar dari gerbang tol Krian.
Yang mengejutkan sekaligus menggembirakan, ternyata lokasi makam mbah Djoko yang akan kami tuju hanya memakan waktu belasan menit dari gerbang tol, menurut google Maps.
Biasanya kami nyekar ke Surabaya dulu tempat almarhum bapak mertua dan semua saudara suami dimakamkan.
Jadi tidak tahu, kalau sebenarnya kita justru sangat menghemat waktu kalau nyekar ke almarhumah Ibu mertua dulu.
Dalam perjalanan, kami mampir ke pasar Prambon.
Pasar ini kami lewati.
Kami bermaksud membeli bunga untuk nyekar. Beruntung tak perlu masuk pasar yang becek karena paginya hujan, di pinggir jalan sudah ada penjual bunga.
Bunga untuk nyekar. Sudah dibungkus dalam tas kresek. Tinggal ingin membeli berapa paket.
Bunga untuk keperluan nyekar ini, ternyata jenisnya bermacam-macam.
Kalau di Purworejo, biasanya kami membeli bunga untuk nyekar hanya 1 jenis, yaitu bunga mawar merah bercampur putih.
Biasanya ditempatkan dalam keranjang bambu yang dianyam jarang-jarang.
Ada yang dalam kelopak-kelopak utuh, ada yang sudah rontok.
Di tempat lain, ada juga orang yang nyekar menggunakan bunga tujuh rupa, yaitu : bunga kenanga, kanthil, mawar merah, mawar putih, melati, dan bunga sedap malam. Ada juga yang menambahkan bunga asoka.
Para budayawan seperti Budayawan Bojonegoro, Suyanto atau akrab dikenal Pakdhe Yanto Munyuk, kemudian Irfan Afifi, penulis buku "Saya, Jawa dan Islam”sepakat, bahwa penggunaan bunga bertujuan untuk mendapatkan aroma wanginya.
Sedang di pasar Prambon ini, dalam satu paket, terdapat bunga pacar china berwarna merah terang, mawar merah dan putih yang sudah rontok, serta bunga kenanga dan irisan daun pandan.
Irisan daun pandan ini menguarkan wangi khas yang identik dengan nyekar.
Sampai di lokasi ada beberapa keluarga yang juga sedang nyekar.
"Itu saudara-saudara semua? "Tanyaku pada suami.
" Nggak ada yang kenal! " Jawab suamiku.
Aku meringis. Padahal menurut keterangan suami, ini adalah makam keluarga. Kenapa tidak saling kenal?
Padahal, kalau aku ziarah ke makam desa di kampung halamanku, biasanya pasti ada yang kenal, meski bukan keluarga.
Di Makam Mbah Joko ini, hanya orang dengan privilese tertentu yang bisa dimakamkan. Termasuk almarhumah Ibu Mertua. Tidak semua orang bisa dimakamkan di sini.
Menurut Dr. Felix Sitorus, seorang sosiolog pedesaan dan pertanian, "Privilese sosial itu adalah hak istimewa yang lekat pada status sosial eksklusif yang disandang individu dalam masyarakat tertentu"
Selanjutnya, dalam Artikel Utama di Kompasiana, yang bertajuk "Privilese, Kesadaran Palsu, dan Kemiskinan Sosial pada Kelas Menengah Indonesia",
Felix juga menjelaskan, bahwa privilese dalam kasus keistimewaan mendapat tempat pemakaman seperti itu adalah privilese yang didapat karena kelahiran (ascribed).
Perjalanan berlanjut ke Makam Almarhum bapak Mertua di Makam tembok Surabaya.
Awalnya ingin sekalian mengajak istri dan anak-anak almarhum adik ipar untuk ikut nyekar.
Ternyata mereka sudah nyekar duluan hari minggu yang lalu. Akhirnya kami mampir saja, sambil istirahat sejenak.
Suami yang menyetir dari Madiun ke Surabaya sepertinya terlihat lelah.
Makam tembok Surabaya sangat luas. Lumayan menguras tenaga untuk berjalan kaki menuju lokasi Makam Almarhum bapak mertua, dan saudara-saudara suami.
"Tidak usah membawa tas, Dek! " Kata suamiku.
"Lha nanti kalau butuh uang gimana, dompetnya ada di tas! "
"Nggaklah.Bunganya sudah dibeli, kan? "
"Tempatnya juga baru dibersihkan, 3 hari yang lalu. Tidak perlu bersih-bersih. Tinggal nyekar saja! "
"Ya sudah! " Kusimpan tas di tempat aman di mobil. Aku hanya membawa HP dan bunga untuk nyekar.
"Memasuki area Makam, suasana sangat ramai. Sepanjang jalan setapak ada penjual makanan dan minuman di area Makam.
Banyak keluarga yang duduk-duduk menjadi pembersih Makam dadakan.
Di depan masjid tersedia buku yasin. Ada juga botol air mineral berisi air. Biasanya untuk menyiram makam.
Mungkin hal ini bisa dimengerti dari penjelasan seorang ulama, Yahya Zainul Ma’arif Jamzuri.
Ulama yang lebih dikenal dengan Buya Yahya ini menjelaskan, Nyekar tidak dikenal di jaman Rasulullah.
Namun ada sebuah riwayat yang menceritakan.
Saat Rasulullah melewati dan mendengar suara 2 kubur yang sedang disiksa, beliau lantas menancapkan pelepah kurma yang sudah dibagi dua untuk masing-masing kuburan itu.
Para sahabat lantas bertanya,
" Ya Rasulullah, kenapa engkau lakukan itu? "
Beliau bersabda, Semoga diringankan siksa kubur keduanya, selama kedua pelepah ini belum kering. (HR. Bukhari)
Di makam tembok ini, untuk mendapatkan privilese agar bisa dimakamkan di situ, seseorang harus punya keluarga yang sudah dimakamkan terlebih dulu di situ.
Keluarga ahli waris harus bertanggung jawab dalam pemeliharaan makam. Satu keluarga diberi hak sebidang tanah, yang bisa dipergunakan untuk satu keluarga.
Makam tidak dibangun, sehingga satu liang lahat bisa dipergunakan lebih dari satu orang. Satu petak bisa dipakai satu keluarga.
Ziarah kubur, atau orang Jawa biasa menyebutnya nyekar, adalah sarana untuk mengingat kematian.
Bagi saya pribadi, nyekar adalah wujud "komunikasi dan silaturahmi"antara keluarga atau orang yang mempunyai hubungan dengan ahli kubur.
Mungkin komunikasi yang terjadi adalah komunikasi searah, sebab kita yang masih diberi kehidupan adalah yang mendoakan, dan bukan sebaliknya.
Nyekar juga adalah wujud kepedulian dan kasih sayang kita yang masih hidup kepada ahli kubur.
Nyekar dan mendoakan juga wujud bakti anak yang selalu mendoakan orang tua dan kaum kerabatnya.
Apakah nyekar dan mendoakan ke tempat orang tua dan kaum kerabat dimakamkan, atau hanya mendoakan dari jauh,dari lokasi tempat kita berada, itu tergantung kenyamanan kita masing-masing.
Mungkin di situ ada pengaruh spiritualitas yang sangat pribadi untuk masing-masing insan.
Kepuasan dan keyakinan, tidak bisa dipaksakan. Tergantung diri kita masing-masing dalam memaknai arti nyekar itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H