Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023. Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Bu Peni, Penjual Lopis Pocong yang Bertahan Tanpa Transaksi Digital

20 Desember 2022   21:19 Diperbarui: 20 Desember 2022   21:43 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lopis yang dibungkus seperti lepet atau pocong dengan ditali (dokpri) 

"Lopis, Bu...! " Suara penjual lopis dan cenil yang menjajakan dagangannya di jalan depan rumah membuatku menghentikan aktivitas menyapu halaman. 

Hampir setiap hari Ibu ini lewat menjajakan cenil. Tapi biasanya di rumah ibu selalu berlimpah makanan, sehingga berkali-kali aku mengurungkan niat membeli lopis dan cenil. 

Biasanya juga sudah kenyang, padahal lopis dan cenil termasuk makanan berat. 

Lopis yang terbuat dari beras ketan, dan cenil yang terbuat dari tepung kanji, kemudian disiram kuah gula merah, atau juruh dan ditaburi parutan kelapa itu sudah pasti mengenyangkan. 

Sejenak aku ragu, tapi Bu Peni sabar menunggu. 

Akhirnya kuputuskan untuk membeli. Hasrat untuk mencicipi lopis membara, butuh dituruti, hehehe... 

"Nggih, Bu. Sebentar ambil uang.! "

"Nggih, Bu! " Bu Peni duduk di lantai depan rumah. 

"Sini lho, Bu! Duduk di kursi! " Kataku mengajak Bu Peni duduk di kursi teras. 

" Sudah, di sini saja, " Katanya. 

"Lopis saja apa campur cenil, Bu? " Tanya Bu Peni. 

"Kasih cenilnya nggak papa, Bu! " Jawabku. 

Sebenarnya aku suka lopis. Tapi entah kenapa, kalau cuma lopis, rasanya eneg. Tapi kalau dicampur sama cenil, jadi terasa balance dan nikmat. Mungkin itu memang sudah padanannya. 

Aku mengamati lopis Bu Peni yang sedikit istimewa karena dibungkus seperti pocong. Eh.... 

Bukan sih. Bukan seperti pocong tapi seperti lepet. 

Lepet juga makanan tradisional yang terbuat dari beras ketan. Tapi dicampur langsung parutan kelapa dan sedikit garam, sehingga rasanya gurih. Biasanya dibungkus janur kelapa dan direbus/dikukus sampai matang. 

Lopis yang dibungkus seperti lepet atau pocong dengan ditali (dokpri) 
Lopis yang dibungkus seperti lepet atau pocong dengan ditali (dokpri) 

Aku mendekati Bu Peni, mengajaknya ngobrol sebentar. 

"Namanya siapa, Bu? " Tanyaku. 

"Peni, " Jawabnya

"Bu Peni? 

" Nggih! "

"Sudah lama jualan lopis dan cenil, Bu? "

"Sudah 30 tahun, " Jawabnya. 

"Wow, sudah lama sekali, Bu? "

"Iya! "

"Jalan kaki terus? "

"Iya! "

"Nggak capek, Bu? "

"Mboten! " (Tidak! ") 

" Rumahnya mana sih, Bu? "

"Pangen! "

"Pangen juru tengah? "

"Koplak? "

"Bukan, itu STM Yepeka, yang di Ngaglik, ke timur! "

"Oalah.Iya, dekat ya Bu. Lha ini kalau jalan kaki lewat mana saja? "

"Ya itu dari karang ndalem, ke barat, taman, jalan naik, turun, nanti sampai kantor pengadilan ke timur, terus lengkong, sampai sini, nanti ke selatan, ke timur, terus kembali ke rumah. "

Wah, lumayan, Bu! " Bisa puluhan kilometer setiap hari, " Kataku. 

"Iya, Bu. Buat kegiatan saja. Yang penting halal! "

"Halal dan barokah ya, Bu! 

" Iya, alhamdulillah! "

"Putranya berapa, Bu? "

"Tiga! "

"Sudah kerja semua? "

"Yang ragil masih SMK! "

"Owh, alhamdulillah ya, Bu. Putranya sudah besar semua! "

"Iya, Alhamdulillah..! "

"Berapa Bu, satu bungkusnya?"

Lopis dan cenil. Makanan tradisional yang kembali viral (dokpri) 
Lopis dan cenil. Makanan tradisional yang kembali viral (dokpri) 

 "Lima ribu! "

Kubayar pesanan lopisku, dan Bu Peni melanjutkan perjalanan. 

Penjual keliling seperti Bu Peni yang masih bertahan menjajakan dagangannya sudah semakin langka. 

Penjual muda lebih suka memanfaatkan platform digital untuk menawarkan dagangannya. Lebih efektif dan efisien. 

Tapi Bu Peni memilih berkeliling. Cara ini sebenarnya juga efektif karena jemput bola. 

Tapi mungkin di era digital dengan kesibukan orang yang semakin banyak, penjual keliling seperti Bu Peni bisa jadi terabaikan. 

Saat lewat, mungkin rumah-rumah yang dilewati kosong di saat jam kerja. 

Atau bisa jadi sedang mempunyai kesibukan. Berbeda jika ditawarkan secara online. Mungkin orang yang tertarik pada barang yang ditawarkan memang sedang santai dan berniat mencari jajanan. 

Sedang bagi Bu Peni, dan mungkin ada dan banyak Bu Peni yang lain, berjualan secara digital lebih rumit dan membutuhkan modal besar. 

Paling tidak harus bermodalkan gawai yang mungkin tidak terjangkau dan harus belajar keras mengoperasikannya. 

Tapi kebahagiaan dan keikhlasan menjalankan profesinya mungkin tidak bisa dibeli. 

Setiap hari berjalan kaki justru membuatnya tetap sehat dan bugar. Suatu keuntungan sangat besar yang tidak didapatkan para penjual online dengan memanfaatkan dunia digital. 

Allah Maha adil. Keuntungan tidak hanya masalah finansial belaka. Tapi kesehatan dan kebahagiaan jauh lebih berharga dan mungkin tak terbeli jika kita tak punya keduanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun