3. PR bisa berupa postest untuk mengukur penguasaan peserta didik.Â
Namun begitu, pemberian PR yang tanpa batas membuat anak-anak frustasi.Â
Saya ingat, saat berlaku kurtilas, anak- anak dituntut mandiri mencari bahan pembelajaran.Â
Waktu pembelajaran yang berlaku pagi sampai sore, masih ditambah mengerjakan tugas kelompok sampai malam. Padahal paginya anak-anak harus belajar seperti biasa.Â
Kondisi seperti ini tentu bisa menimbulkan stress dan trauma bagi anak dan orang tua. PR yang seperti ini tentu tidak tepat diberlakukan.Â
Tetapi, meniadakan PR sama sekali sepertinya juga bukan masalah yang bijak.Â
Sebab, bisa jadi hal ini justru membuat orang tua merasa bebas dan tidak perlu mendampingi anak.Â
Yang lebih parah kalau kemudian anak justru mengambil gawai dan main game online. Sementara orang tua juga sibuk sendiri. Maka dihapuskannya PR justru membawa kemudharatan.Â
Terlepas dari pro dan kontra, ada dan tidak ada PR bukan menjadi akar permasalahan. Tapi apakah orang tua berniat menjalin kedekatan dengan anak atau tidak.Â
Bahkan dengan membantu mengerjakan PR pun kedekatan bisa terjalin.Â
Orang tua bisa mengkondisikan dengan :