"Ayo Dek, kuajak ke Sendang Lawe, " Kata suamiku.Â
"Apaan, tuh? " Tanyaku penasaran.Â
"Ikut sajalah, nanti tahu sendiri! "
"Oke, mandi dulu ya, bentar, "
"Ya! "
Ya begini ini kalau hobi suami juga menjadi hobi istri. Diajak ngetrip ya ayuk saja, hihihi..Â
Setelah mandi koboi, aku langsung nemplok di jok belakang motor suamiku.Â
Go...Â
Sendang Lawe ini lokasinya di Desa Ketandan Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun.Â
Setelah melewati Pasar Dolopo berbelok ke utara. Sampai di Slambur, berbelok ke timur.Â
Rute untuk mencapai Sendang Lawe ini, melewati taman Wisata Rekso Wilis yang pernah saya ulas. Saat pulang dari Sendang Lawe menjelang maghrib Taman Wisata ini terlihat semarak dan indah dengan lampu-lampu yang berpendar cantik dan deretan penjual jajanan yang lumayan rami di malam minggu kemarin.Â
Berhubung tujuan kami Sendang Lawe, kami tetap melaju tanpa mampir. Sedang saat pulangnya sudah disambut adzan maghrib, sehingga kami harus bergegas agar bisa menunaikan shalat maghrib berjama'ah di masjid terdekat yang bisa dijangkau.Â
Perjalanan ke Sendang Lawe cukup jauh. Tapi keindahan pemandangan di sepanjang perjalanan cukup menarik, sehingga bisa menjadi hiburan tersendiri.Â
Sampai di hutan jati dan mahoni kami berhenti. Suamiku mempelajari kondisi hutan yang mungkin bisa dipergunakan sebagai bahan pembelajaran keragaman hayati (kehati). Tapi sepertinya banyak vegetasi yang mati karena sepertinya habis terjadi kebakaran, atau sengaja dibakar.Â
Suamiku lupa jalan ke Sendang Lawe, sehingga berhenti sejenak untuk bertanya pada seorang lelaki yang berada di situ. Entah mencari rumput, atau sedang menuju ke ladangnya.Â
Ternyata jalannya sudah terlewat, sehingga kami harus berbalik, kemudian berbelok.Â
Menyusuri jalan setapak yang halus cukup nyaman. Beruntung kondisi jalan kering, kalau hujan katanya agak licin.Â
Eh... Kok jalan buntu?Â
"Pak, jalan ke Sendang Lawe lewat sini? Kok buntu? "
Suamiku bertanya pada seorang lelaki yang sedang bermain bersama anaknya di halaman rumah, tempat sepeda motor berhenti karena buntu di halaman rumah orang, hihihi..Â
"Oh, Sendang Lawe jalan yang sana Pak. Bukan sini. Kalau sini buntu, ini sudah mentok, jawab lelaki itu sambil tertawa geli.Â
Berbalik dan muter lagi deh. Ngikut aja, aku kan cuma nemplok di boncengan.Â
Ternyata jalannya memutar-mutar di bawah jalan utama. Memandang ke atas adalah hutan jati milik perhutani, di bawah ladang dan sawah milik penduduk. Andai jalan pintas lurus dari hutan mahoni, pastilah lebih dekat, tapi yang di atas adalah lahan milik perhutani. Jadi kami harus puas melewati jalan memutar untuk lewat jalan bawah.Â
Akhirnya sampai juga ke lokasi. Saya memilih turun dari  boncengan dan berjalan kaki. Jalannya bisa dilalui sepeda motor, tapi sempit dan agak tinggi.Â
Lokasi Sendang cukup rindang dengan persawahan di sekitar nya.Â
Kemungkinan tempat ini pernah nyaris dibangun tempat wisata. Tapi mungkin belum ada investor yang bersedia menanamkan modal, atau hutan ini sengaja dipergunakan sebagai resapan air sehingga tidak jadi dibangun tempat wisata, saya kurang paham.Â
Dulu, lokasi Sendang dipagar besi di sekelilingnya, tapi sekarang dibuka.Â
Sendang Lawe ini adalah mata air yang airnya terus mengucur meski di musim kemarau. Airnya ke bawah, masuk ke parit untuk mengairi sawah-sawah di sekitarnya.Â
Mata air ini dibangun dan airnya disalurkan melalui pipa. Sumber air alami ini mungkin bisa terjaga kelestarian nya kalau pepohon di hutan ini dibiarkan tetap hidup.Â
Di Lokasi Sendang Lawe ini juga telah dibangun toilet yang memadai. Sayangnya sekarang terbengkelai dan tak terurus, sehingga banyak ditumbuhi tanaman dan tertutup rumpun bambu.Â
Sementara suamiku naik ke atas, mencari lokasi yang tepat untuk pembelajaran Ke hati bagi murid-muridnya, aku berkeliling mencari sumber suara gemercik air yang cukup nyaring di telinga. Ternyata di sebelahnya ada sungai yang mengalir.Â
Di dekat Sendang ada kolam yang dulu sempat ditebari ikan. Tapi kini dibiarkan kosong. Di tepinya ada pohon beringin. Di sekitar pohon beringin inilah konon ditemukan makam Ronggolawe, Adipati Tuban. Entah melarikan diri ke situ saat terjadi geger di Kadipaten Tuban, atau sengaja mengembara dan moksa, ceritanya masih samar dan belum diteliti dari sudut sejarah. Tapi di sekitar situ memang ditemukan makam. Sayangnya saya baru tahu belakangan saat sowan Pak RT, jadi tidak sempat mengulik ke situ.Â
Konon, di sekitar pohon beringin itulah terdapat makam/petilasan saat Ronggolawe moksa.Â
Moksa adalah tempat terakhir saat orang terlihat terakhir kalinya sebelum menghilang atau tidak bisa ditemukan sama sekali. Bahkan jasadnya ikut lenyap.Â
Hari mulai senja, saya dan suami memutuskan untuk pulang, tapi mampir ke tempat Pak RT dulu.Â
Hari Senin sampai Jumat, suamiku bermaksud mengadakan pembelajaran diluar kelas, jadi harus kulonuwun dan minta ijin dulu agar tidak menimbulkan kesalahan pahaman, sekaligus meminta bantuan dan kerjasama masyarakat untuk melancarkan pembelajaran.Â
Kumandang adzan Maghrib sudah terdengar. Kami segera mohon pamit dan meninggalkan rumah Pak RT untuk pulang.Â
Semoga besok acara pembelajaran berjalan lancar tanpa halangan suatu apa.Â
(IYeeS : 25092022)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H