"Satu... Dua... Tiga!!! "
Almari pakaian dari kayu jati itu masih bergeming, tak bergerak sedikitpun, padahal isinya sudah dikosongkan. Aku nyengir pasrah. Suamikupun luluh.Â
Harus minta tolong orang lain atau tenaga profesional setiap kali berpindah rumah.Â
Almari jati itu memang berat, setiap kali memindahkan, paling tidak butuh tenaga 3 orang lelaki dewasa, agar bisa berpindah ke tempat yang diinginkan. Bisa dibayangkan kan, bagaimana susahnya saat berpindah rumah?Â
Padahal, selain almari yang paling susah dipindah, masih ada kursi tamu, dipan dan meja makan yang terbuat dari jati.Â
Perabotan alias furniture itu memang sudah ada sejak kami baru saja menikah. Tepatnya sebelum menikah. Suamiku yang memesan sendiri menjelang hari pernikahan, sehingga setelah menikah, dia berharap kami sudah siap dengan perabotan standar, yaitu almari, dipan, meja makan, dan kursi tamu. Semuanya dari jati.Â
Suamiku memang tipe selera tinggi dan mengutamakan kualitas, meski terkadang melupakan faktor lain yang tak kalah penting, yaitu kepraktisan dan kesesuaian dengan kondisi.Â
Alhamdulillah, 2 hal terakhir itu biasanya aku yang berpikir, sehingga kita bisa saling melengkapi. Sebab, meski perempuan, saya tidak suka ribet, lebih suka yang simple, taktis dan praktis. Meski hasil yang didapat mungkin minimalis. Eh...Â
Di antara 4 furniture itu, sekarang masih ada  tapi tidak ada yang utuh. Yang kondisinya relatif masih tetap, adalah dipan. Meski sering dilanda gempa bumi, tapi masih kokoh dan awet sampai sekarang karena terbuat dari jati. Eh...Â