Terdengar suara lantang, penuh semangat.Â
Menyerukan sila-sila yang mulia.Â
Menuntun perilaku mengitari roda jaman.Â
Dengarkanlah, dan resapi...
" PANCASILA"
1. Ketuhanan yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.Â
3. Persatuan Indonesia.Â
4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.Â
Suara lantang penuh semangat menyerukan sila-sila Pancasila itu sudah jarang terdengar.Â
Bahkan dalam suatu tayangan di sebuah televisi yang menanyai audiens tentang salah satu sila Pancasila, ternyata ada yang tidak hafal, dan host nya cuma tertawa, sementara yang ditanya kebingungan.Â
Kira-kira apa yang akan terjadi jika itu terjadi di era Orde Baru?Â
Saat saya masuk SMP, di awal masuk, didahului dengan penataran P4 dan pengenalan sekolah. P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Tidak hanya hafal Pancasila, bahkan 36 butirnyapun akrab di telinga, hati dan pikiran meski tidak semua anak hafal.Â
Begitu pula saat masuk SMA. Pertama masuk harus mengikuti penataran P4. Mendiskusikan permasalahan, yang pemecahannya sesuai pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila dengan menyertakan butir-butirnya.Â
Saat menjalani masa kuliah pun, di awal perkuliahan dimulai dengan penataran P4 sebelum menjalani orientasi dan pengenalan kampus.Â
Sementara di desapun ada program penataran P4 karakterdes.Â
Hampir semua lini kehidupan diwarnai dengan menu penghayatan dan pengamalan Pancasila.Â
Dalam pertemuan PKK pun ada simulasi P4 dengan mengangkat kasus yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari dengan penyelesaian masalah sesuai P4.Â
Saya kurang paham, apakah sekarang penataran P4 masih dilaksanakan di sekolah-sekolah. Atau mungkin tetap dilaksanakan dalam kemasan yang lebih santai tapi mengena. Mengajak langsung para siswa mengamalkan Pancasila dengan kegiatan kerja bakti, menggalang dana untuk kaum duafa, menanamkan kesopanan pada para guru dengan mengucap salam dan mencium tangan para guru sebagai orang tua di sekolah dan lain-lain.Â
Pancasila adalah pedoman perilaku yang digali dari nilai-nilai luhur nenek moyang kita, sehingga bisa langsung menyentuh dalam setiap sendi kehidupan.Â
Secara sadar atau tidak telah mewarnai kehidupan sehari-hari yang menuh toleransi, tepa slira dan saling menghargai.Â
Pancasila sakti, bukan perkataan untuk mengkultuskan benda mati dan mengajak berpikir mistis dan tidak ilmiah.Â
Tapi menjadikan Pancasila sebagai simbol kekuatan bangsa yang beradab dan manusiawi.Â
Mengakomodasi kondisi rakyat Indonesia yang beragam, terdiri dari banyak pulau, suku bangsa, budaya, bahasa dan pola hidup yang juga beragam.Â
Jiwa Pancasila dan nasionalisme yang bisa mempersatukan banyak perbedaan, atas kesadaran pribadi atau individu.Â
Rakyat Indonesia harus terus maju dengan tetap memegang erat Pancasila.Â
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah perbaikan ekonomi. Sebab bangsa yang perekonomiannya kuat akan disegani.Â
Untuk menjaga keberlangsungan Pancasila tentu saja tidak cukup dengan menghafal sila-sila dan butir-butir yang terkandung di dalamnya. Dari 36 butir dijabarkan lagi menjadi 45 butir.Â
Tapi mengamalkannya dalam setiap perkataan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.Â
"Dek... Ini gajinya? "
"Terima kasih...! "
 Mataku berbinar-binar, tanpa sadar ini sudah tanggal 1 Juni. Hari kelahiran Pancasila, sekaligus awal bulan saat cairnya rejeki meski hari libur. Alhamdulillah...Â
Terbayang tanggung jawab untuk mengelola keuangan negara,eh.. Keluarga. Agar setiap anggota keluarga bisa merasakan keadilan sosial yang merata.Â
Bukankah keluarga adalah bagian terkecil dari suatu negara?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H