Elang Cemani menyangga tubuh Damar Sukmo yang ambruk dengan tangannya, menciduk sedikit air dan, pelan-pelan diteteskan ke mulut Damar Sukmo yang pingsan. Beberapa saat kemudian mata Damar Sukmo terbuka.Â
"Elang, apa yang terjadi?" Damar Sukmo merasakan pusing dan sakit di kepalanya. Badannya lemas.Â
" Sssttt...!" Elang menempelkan jari telunjuk di mulutnya. Memberi isyarat pada Damar Sukmo untuk jangan banyak berbicara dulu. Disandarkan tubuh Damar dengan kepala dan leher lurus posisinya. Elang mencopot ikat kepalanya, dilihatnya ada darah merembes dari kepala Damar. Dibalutnya luka Damar dengan ikat kepalanya. Elang Sukmo memutar otak, bagaimana caranya membawa Damar Sukmo ke rumahnya dengan kondisi seperti ini. Medan yang berat dengan beban yang hampir sama dengan bobot tubuhnya, bukanlah perkara mudah untuk diatasi. Dirinya tak mungkin memaksa Damar Sukmo untuk berjalan sendiri.Â
"Elang, aku masih sanggup berjalan kalau kamu mau memapahku," Damar berbisik seolah bisa membaca pikiran Elang Cemani.
"Tidak Damar, itu terlalu beresiko. Aku harus mencari bantuan. Elang Cemani memutuskan tindakan yang harus dilakukan, tapi itu artinya dia harus meninggalkan Damar sendirian.
" Ada apa, Puh?" Â Karena terlalu fokus pada keadaan Damar, Elang Cemani tak sadar kalau ada serombongan ada muda yang berjalan menuju air terjun. Elang terkejut, tapi kemudian bersyukur dan bernafas lega, ternyata tanpa bersusah payah mencari bantuan, apa yang dibutuhkannya datang sendiri.Â
"Kebetulan, tolong bantu aku membawa temanku yang sakit ini ke atas. Dia perlu pertolongan secepatnya,".
" Baik, Puh, kami siap membantu.Â
"Ayo gaes, kita tolong Pak Puh ini dulu, nanti baru kita lanjutkan acara kita," Anak muda yang sepertinya ketua rombongan itu mengajak teman-temannya untuk membantu Elang Cemani membawa Damar Sukmo ke rumahnya untuk mendapatkan pertolongan secepatnya.