Kamu mungkin pernah melihat berita di media sosial atau bahkan seseorang di sekitarmu yang mendapat perlakuan tidak baik dari pasangannya. Pernahkah kamu bertanya-tanya, mengapa orang tersebut sangat sulit keluar dari hubungan yang tidak sehat?
Hal ini seringkali terkait dengan pola kelekatan atau attachment. Istilah ini mengacu pada keterikatan emosional yang spesifik antara individu dengan orang lain dalam suatu hubungan yang bersifat kekal dan dalam jangka waktu yang relatif panjang (Ainsworth & Bell, 1970). Di masa kanak-kanak individu mengembangkan pola kelekatan dengan caregiver utama mereka, yaitu orang tua. Menurut Bowbly (dalam Cenceng, 2015) terdapat beberapa jenis pola kelekatan yang dapat terbentuk antara anak dengan orang tuanya, diantaranya yaitu:
Secure Attachment
Interaksi antara orang tua dan anak menciptakan hubungan yang penuh kepercayaan dan kasih sayang. Anak merasa yakin terhadap caregivernya sebagai pendamping yang sensitif dan responsif, siap memberikan perlindungan, kenyamanan, serta dukungan dalam menghadapi situasi yang menakutkan. Keseluruhan dinamika ini membangun dasar kuat untuk hubungan yang sehat dan positif antara orang tua dan anak.
Avoidant Attachment
Terjadi interaksi yang tidak sehat dimana orang tua terus-menerus menghindar dari interaksi dengan anak. Akibatnya, anak akan merespon hal yang sama dengan melakukan penolakan terhadap orang tuanya. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kepercayaan diri pada anak karena usaha mencari kasih sayang tidak diakui atau bahkan ditolak.
Resistant Attachment
Attachment ini dicirikan dengan pola interaksi antara orang tua dan anak yang kurang pasti dan kurang responsif. Hal ini dapat membentuk karakteristik anak yang rentan terhadap kecemasan berpisah. Anak cenderung bergantung pada orang tua, menuntut perhatian, dan merasa cemas saat mengeksplorasi lingkungannya.
Attachment dan Relasi Romantis
Pola kelekatan terutama dengan caregiver utama pada masa kecil membentuk pondasi bagi individu untuk menjalin ikatan emosional dan cinta di masa dewasa (Riza, 2018). Ketika tercipta ikatan yang aman dengan caregiver, individu cenderung mencari keamanan serupa dalam hubungan romantis. Akan tetapi jika ikatan tersebut tidak terbentuk dengan baik atau bahkan toxic, individu mungkin terjerumus dalam pola hubungan yang cenderung merugikan dan merusak di kemudian hari.
Ironisnya, bagi seseorang yang terbiasa mendapatkan perlakuan tidak baik sejak kecil, hubungan yang toxic menjadi suatu hal yang familiar, dan sesuatu yang familiar lebih memberikan kenyamanan daripada sesuatu yang aman tetapi terasa asing atau belum pernah dialami sebelumnya.
Seseorang yang mengalami kelekatan yang kurang baik dengan caregiver cenderung menunjukkan pola perilaku yang tercermin dari pembelajaran sosial, seperti yang dijelaskan dalam social learning theory milik Bandura (1977). Pada konteks ini, kekurangan pengalaman positif dalam menjalin hubungan ketika masa kecil dapat mempengaruhi kemampuannya sebagai orang dewasa dalam menetapkan bagaimana batasan hubungan yang sehat. Seperti yang dijelaskan oleh teori pembelajaran sosial, individu belajar melalui pengamatan dan peniruan perilaku orang-orang di sekitarnya, terutama dalam hubungan keluarga (Jamison & Lo, 2020).
Perlakuan buruk yang diterima semasa kecil dapat merusak pemahaman seseorang mengenai bagaimana dinamika hubungan yang sehat. Kurangnya pengalaman positif tersebut membuat individu sulit menetapkan batasan yang sehat dan mengenali tanda-tanda hubungan yang toxic. Dalam konteks ini, seseorang mungkin meniru pola-pola negatif yang diamati dalam hubungan orang tuanya, terlepas dari sejauh mana perilaku tersebut dapat merugikannya.
Adapun kontribusi dari faktor biologis jatuh cinta juga dapat menjelaskan mengapa seseorang bisa bertahan dalam hubungan walaupun itu termasuk toxic relationship. Ketika manusia jatuh cinta, otak akan mengalami aktivitas yang serupa dengan kecanduan zat (Fisher et al., 2016). Pelepasan hormon dopamine dalam otak menciptakan sensasi kenikmatan dan kepuasan yang membuat individu candu dan ingin terus merasakan sensasi tersebut.
Meskipun hubungan termasuk dalam toxic relationship, dorongan untuk terus merasakan sensasi kenikmatan tersebut memaksa seseorang untuk bertahan dalam hubungan, terutama jika pola keterikatan awal dengan caregiver pada masa kecil tidak sehat. Sehingga, dalam hubungan yang toxic, perasaan kecanduan menjadi benang yang menyatukan rasa puas dari pelepasan hormon dopamine dan pola hubungan yang merusak, membentuk suatu lingkaran setan yang sulit untuk diputus.
Dalam menghadapi realitas hubungan yang toxic, pendekatan psikologi positif dapat memberikan pondasi harapan untuk perubahan dan pemulihan. Psikologi positif menekankan pentingnya memahami dan mengasah kekuatan internal individu sebagai langkah awal menuju kesejahteraan psikologis. Dalam konteks pola kelekatan masa kecil yang mungkin tidak sehat, fokus pada pertumbuhan pribadi dan ketahanan mental dapat menjadi kunci untuk melepaskan diri dari lingkaran toksisitas.
Â
References:
- Ainsworth, M. D., & Bell, S. M. (1970). Attachment, exploration, and separation: Illustrated by the behavior of one-year-olds in a strange situation. Child Development, 41(1), 49--67.
- Bandura A. (1977). Social learning theory. Prentice-Hall.
- Cenceng, C. (2015). Perilaku kelekatan pada anak usia dini (perspektif John Bowlby). Lentera: Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi, 17(3), 141-163
- Fisher, H. E., Xu, X., Aron, A., & Brown, L. L. (2016). Intense, passionate, romantic love: A natural addiction? How the fields that investigate romance and substance abuse can inform each other. Frontiers in psychology, 7, Article 687, 1-10. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.00687
- Jamison, T. B., & Lo, H. Y. (2021). Exploring parents' ongoing role in romantic development: Insights from young adults. Journal of Social and Personal Relationships, 38(1), 84-102. https://doi.org/10.1177/0265407520958475
- Riza, W. L. (2018). Asosiasi antara attachment styles dalam hubungan romantis pada relationship satisfaction (kepuasaan dalam suatu hubungan). PSYCHOPEDIA: Jurnal Psikologi Universitas Buana Perjuangan Karawang. 3(1), 31-39.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H