Pornografi anak sudah menembus 5 juta konten dalam empat tahun terakhir. Disinyalir kekerasan di sekolah juga terjadi karena di latar belakangi oleh pornografi.
Sedangkan kasus yang ditangani Polri mencapai 1670 perkara. Sampai berita ini dirilis, tontonan pornografi sudah banyak dikonsumsi oleh anak-anak di tingkat PAUD, SD, SMP dan SMA.
Faktor-faktor yang menyebabkan maraknya konten seksual adalah media massa. Terutama akses yang diindikasi dari film, games dan konten senada yang mengarah pada konteks sensual.
Baik secara gratisan ataupun berbayar, konten vulgar amat banyak difasilitasi dari dunia digital. Akibatnya, tidak sedikit yang mengalami gangguan hormonal akibat menikmati tayangan tersebut.
Fungsi media yang menjadi pelopor akan berpengaruh pada aktivitas kita. Belum lagi wacana kontrasepsi yang kabarnya akan dibagikan. Bisa menjadi pemicu kekerasan seksual di generasi ini.
Berita semacam inilah akan membentuk opini lain yang berkembang terutama pada aktivitas libido.
Oleh karena itu, pencegahan pornografi tidak dapat dilakukan secara individu. Saat ini media harus bekerjasama bersatu padu menyiapkan informasi baik sesuai fakta dan meminimalisir informasi buruk sesuai fakta.
Mengapa? Karena pada dasarnya mengungkap fakta buruk justru menguliknya untuk terinspirasi berbuat kekejian serupa. Walaupun membuka tabir kejahatan memiliki efek psikologis ketakutan atau trauma.
Mungkin bisa bagi segilintir individu, namun tidak bagi segilintir lainnya yang tidak mampu melawan hasrat bejatnya.
Bisa dilatar belakangi oleh pendidikan ataupun tingkat pengangguran. Tentu, penikmat konten ini adalah kalangan yang produktif berselancar di dunia maya.
Menurut Kent S. Hoffman dalam laporan medisnya, pada tahun 2019 bahwa 11% pria dan 3% wanita memiliki kecanduan pornografi.
Walau tidak semua yang menonton film porno kecanduan, masalahnya tidak semata-mata kecanduan film porno, tetapi pada penggunaan film porno.
Situs Pornhub sendiri melaporkan lebih dari 2 miliar kunjungan dalam satu bulan pada tahun 2023.
Berdasarkan data ECPAT (sebuah lembaga survei Amerika), Indonesia menempati nomor dua pengakses video porno.
Fakta ini, bisa menjadi malapetaka besar untuk terbukanya akses seks bebas, kejahatan seksual dan pedofilia anak. Yang akan menyasar pada konteks kekerasan di sekolah.
Kebebasan perilaku akan menuai masalah. Hawa nafsu berbicara, maka tak ada ruang untuk meredamnya.
Bagaikan pusaran angin, pornografi merusak genererasi hingga ke akar-akarnya. Anak-anak yang memiliki potensi berharga akan terkikis dengan nilai-nilai cabul.
Berapa banyak yang akhirnya harus melakukan pernikahan dini? Akibat seks bebas yang ia lakukan bersama pacarnya. Atau pelaku aborsi yang jumlahnya tiap hari bertambah? Rentang usia dari TK bahkan telah paham tentang gairah seksual.
Mau dikemanakan generasi semacam ini? LSM? Komnas Anak? Atau apalah organisasi yang menaungi perempuan dan anak akibat kekerasan seksual.
Mau nunggu korban bejibun tanpa harapan yang jelas? Setelah menjadi korban tak mudah untuk menghapus trauma dan tragedi pelecehan seksual tersebut. Begitu seterusnya sampai korban baru muncul kembali.
Solusi kian hari belum ada jawaban. Masyarakat seolah berjuang sendiri mati-matian menuntut hak terjaminnya akses pendidikan yang bermutu. Terhindar dari pemikiran sekulerisme menyengsaraka dan prilaku liberal yang menjadi motornya.
Kurikulum pendidikan makin hari tak tentu arah membina siswa. Peserta didik disibukkan dengan perkara yang jauh dari aktivitas agama.
Bahkan, agama hanya sebagai urusan individu semata. Tak ada kaitannya, tak ada artinya bicara soal agama dalam kehidupan karena urusan masing-masing.
Parahnya masih dianggap jadul, tidak modern jika mengaitkan Islam untuk mengatur perzinahan misalnya. Sudah semodern apa, sampai-sampai aturan agama menjadi rendah jika harus mengatur kehidupan. Sungguh terlalu kata bang Roma.
Hari ini kita saksikan, ada yang menjaga kehormatannya hingga meregang nyawanya. Ada pula istilah grooming akibat fatherless menjajakan keperawanannya.
Apapun alasannya, peran agama sangat dibutuhkan. Islam punya aturan tak pandang bulu menegakkan keadilan kejahatan seksual termasuk akses pornografi dengan tegas.
Media memfasilitasi tayangan yang bisa diakses oleh segala usia. Mendidik masyarakat dengan pemahaman yang bermutu melalui standar ketaqwaan.
Muslim memiliki kewajiban penting untuk menjaga martabat dan kemuliaannya. Menegakkan amar ma'ruf nahy munkar demi keridhoan Allah SWT.
Maka tak perlu panjang lebar sebetulnya untuk dijelaskan. Serta tak perlu alasan panjang untuk menegakkan aturannya yang sempurna itu.
Sebagai manusia biasa tulisan ini sebagai langkah kecil untuk menyelamatkan generasi kita. Kekerasan di sekolah terutama yang melibatkan aktivitas seksual harus diberantas.
Selemah-lemahnya iman untuk mewujudkan rahmat ditengah tengah manusia.
Semoga mencerahkan. Mohon maaf atas segala kekeliuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H