Menurut Kent S. Hoffman dalam laporan medisnya, pada tahun 2019 bahwa 11% pria dan 3% wanita memiliki kecanduan pornografi.
Walau tidak semua yang menonton film porno kecanduan, masalahnya tidak semata-mata kecanduan film porno, tetapi pada penggunaan film porno.
Situs Pornhub sendiri melaporkan lebih dari 2 miliar kunjungan dalam satu bulan pada tahun 2023.
Berdasarkan data ECPAT (sebuah lembaga survei Amerika), Indonesia menempati nomor dua pengakses video porno.
Fakta ini, bisa menjadi malapetaka besar untuk terbukanya akses seks bebas, kejahatan seksual dan pedofilia anak. Yang akan menyasar pada konteks kekerasan di sekolah.
Kebebasan perilaku akan menuai masalah. Hawa nafsu berbicara, maka tak ada ruang untuk meredamnya.
Bagaikan pusaran angin, pornografi merusak genererasi hingga ke akar-akarnya. Anak-anak yang memiliki potensi berharga akan terkikis dengan nilai-nilai cabul.
Berapa banyak yang akhirnya harus melakukan pernikahan dini? Akibat seks bebas yang ia lakukan bersama pacarnya. Atau pelaku aborsi yang jumlahnya tiap hari bertambah? Rentang usia dari TK bahkan telah paham tentang gairah seksual.
Mau dikemanakan generasi semacam ini? LSM? Komnas Anak? Atau apalah organisasi yang menaungi perempuan dan anak akibat kekerasan seksual.
Mau nunggu korban bejibun tanpa harapan yang jelas? Setelah menjadi korban tak mudah untuk menghapus trauma dan tragedi pelecehan seksual tersebut. Begitu seterusnya sampai korban baru muncul kembali.
Solusi kian hari belum ada jawaban. Masyarakat seolah berjuang sendiri mati-matian menuntut hak terjaminnya akses pendidikan yang bermutu. Terhindar dari pemikiran sekulerisme menyengsaraka dan prilaku liberal yang menjadi motornya.