Seorang Balita Tewas Digelongggong Air oleh Ibu Kandungnya Sendiri.
Kiranya berita ini yang akhir-akhir ini viral. Hal itu sangat mengusik naluriku sebagai seorang ibu yang juga mempunyai balita.
Awalnya pasti dong bertanya-tanya. Kok bisa? Kedua, mulut emak-emak lemes ini langsung ngejudge si Ibu (pelaku). Ga punya hati banget sih. Apa coba yang difikirkan? Atau mungkin ibunya punya gangguan jiwa kah?
Eh..eh..eh..tunggu dulu. Beritanya belum selsai.
Si ibu ternyata nekad menggelonggong anaknya karena tidak tahan dengan sikap mertua dan suaminya yang selalu nyinyir. Bahkan suaminya berkali-kali mengancam akan menceraikan sang istri jika tidak bisa membuat korban gemuk.
Perlu diketahui bahwa korban punya saudara kembar, tetapi secara perawakan si korban memang lebih kurus daripada kembarannya. Hal itu yang membuat orang-orang terdekatnya nyinyir. Bahkan si Ibu kerap dikatakan pilih kasih dalam mengasuh anak kembarnya. Padahal menurut pengakuan si ibu, dia tidak pernah membeda-bedakan kasih sayangnya kepada kedua anaknya tersebut.
Perlu diketahui juga bahwa setelah dilakukan pemeriksaan psikologis, si ibusama sekali tidak menderita gangguan jiwa. Artinya dia sehat secara fisik dan mental.
Menurut penyelidikan dari pihak kepolisian, ternyata sebelum anak tersebut digelonggong air, mertua pelaku sempat memberi tahu bahwa akan berkunjung ke rumah pelaku. Karena tidak tahan jika dinyinyiri lagi dan bahkan sempat diancam juga oleh mertuanya maka pelaku nekad melakukan hal keji tersebut.
Saya tidak membenarkan apa yang dilakukan si ibu tersebut. Apapun alasannya, hal itu tetap tidak dibenarkan.
Tapi....
Si ibu juga tak sepenuhnya salah menurut saya. Kenapa?
Bagi saya, si Ibu juga pelaku sekaligus korban.
Ya. Apalagi penyababnya kalau bukan depresi karena bullying yang nyatanya dilakukan oleh orang terdekatnya.
Bagi kebanyakan orang pasti akan menjudge. Ahh.. drama deh. Masak dikatain begitu aja langsung punya fikiran kalap gitu.
Tapi lagi-lagi kita tidak akan pernah benar-benar merasakan apa yang dirasakan orang lain kecuali kita berada di posisi dan kondisi yang sama dengan orang itu.
Kita pernah kan denger yang namanya syndrome baby blues. Ya. Suatu kondisi dimana seorang ibu baru mengalami depresi karena belum bisa menerima keadaan baru dalam hidupnya.
Banyak hal yang menyebabkan seorang ibu bisa mengalami hal tersebut. Mulai dari kekhawatiran seorang wanita muda yang tiba-tiba punya anak. Dia khawatir tidak dapat merawat anaknya dengan baik. Dia selalu merasa cemas jika anaknya tidak bisa seperti yang diharapkan.
Selain hal itu seorang ibu muda juga akan mengalami cultur shock. Dimana kebiasaan sebelum menjadi ibu dan setelah menjadi ibu yang sangat berbeda dan mendadak terkadang tidak serta merta langsung diterima oleh mental si ibu.
Mulai dari kebiasaan begadang yang mengakibatkan kurangnya waktu untuk beristirahat, memberi ASI yang cukup dll. Hal itu diperparah dengan adanya cibiran dari orang lain. Yang kadang dengan mulut enteng bilang, "Anaknya kok kurus, nggak seperti anaknya si B." Atau "kok belum bisa jalan sih umur segitu? Normalnya unur segitu udah bisa jalan" dll.
Membully, mencibir dan membanding-bandingkan dengan berkedok care dan simpati yang nyatanya malah membuat orang lain semakin tertekan.
Tak jarang seorang ibu yang tertekan justru akan melampiaskan kekesalan kepada anaknya sendiri karena dianggap sebagai sumber masalah dalam hidupnya. Bisa jadi.
Pembunuh itu seorang pembully.
Ya..saya rasa cap itu yang paling tepat buat para pembully. Membully sama dengan membunuh mental seseorang secara perlahan. Â Bagaimana tidak? Kata-kata atau perlakuan tidak baik itu nyatanya mampu membuat orang lain melakukan hal nekad..
Saya punya murid SMK yang sangat berbeda perilakunya dari anak pada umumnya. Dia tidak pernah berbicara di kelas, bahkan makan minumpun tidak. Suatu hari karena saking gemasnya saya dekati dan coba bertanya tentang apa yang membuatnya seperti ini.
Jawaban yang cukup mencengangkan. Benar saja ketika SD dia mengalami pembullyan dari kakak kelasnya. Dia selalu dikasari secara fisik dan verbal. Katanya hal itu terjadi berulang-ulang selama satu tahun setiap jam olahraga. Ketika lari-lari keliling desa biasanya kakak kelas akan mencegatnya di tempay sepi dan kemudian melakukan tidakan pembullyan tersebut.
Pantas saja. Dia memiliki ketakutan yang besar untuk sekedar berbicara. Dia takut akan diolok-olok. Bahkan dia takut ketika ke kantin karena selalu terbayang-bayang kakak kelas pembully waktu SD itu yang sering menungguinya di jalan belakang sekolah untuk membullynya.
So. Teman-teman mulailah dari sekarang untuk tidak menjudge dan nyinyir terhadap hidup orang lain. Bagi kita mungkin sepele. Tetapi, you don't know the big impact for someone else.
Sebelum berkata fikirkan dulu efek apa yang akan terjadi setelahnya. Bayangkan ketika kita di posisi orang lain. Saya yakin ketika kita mau sedikit untuk menahan diri, berempati dan menjaga lisan.
Tak akan ada anak-anak generasi kita yang akan mengalami suatu keadaan traumatik yang berkepanjangan yang bahkan bisa menggilas masa depan seseorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H