-Late Post-
17 Agustus 1945 kembali menjadi moment bersejarah yang tak terlupakan bagi tiap penduduk Indonesia. Tepatnya 12 tahun silam. Di tanggal yang sama, hari, dan tahun yang berbeda. Namun kemeriahan tetap sama. Gegap gempita perayaan kemerdekaan yang membahana di seluruh pelosok negeri.
Langit nampak ikut bergembira, bersorak membagi tiap semburat sinarnya ke bumi pertiwi. Awan-awan putihr berarakan saling kejar. Dedaunan ikut melambai senang bersama hembusan angin, mencipta suara gemerisik merdu saat berpadu dengan cicit burung pipit.
Hujan? Oh tidak, hari itu langit sedang berbaik hati tidak menurunkan bala tentaranya.
Gadis kecil itu berlarian. Rambut panjangnya yang berkepang dua menjadi saksi semangatnya, bak tentara yang hendak berjuang di lapangan medan perang untuk sebuah harga kemerdekaan. Bedanya, di lapangan ini ia hanya akan berjuang untuk meraup sebanyak-banyaknya kemenangan. Bersemangat mengikuti setiap lomba 17-an yang diadakan. Hanya meninggalkan lomba panjat pinang dan mengambil koin yang menancap di buah pepaya berlumur oli. Iyuuhh, pasti seru, tapi gadis kecil pasti dilarang ikut. Perlombaan yang hanya diperuntukkan anak laki-laki.
Makan kerupuk, lomba memasukkan paku ke dalam botol, gepuk kendil, banyak membuahkan hasil. Tiga bungkus hadiah berupa gulungan buku membuat sumringah wajah gadis kecil bermata bulat itu. Tetap tertawa riang saat balon yang digepit berpasangan harus meletus ditengah permainan.
Sayangnya, tubuhnya terlalu ringkih untuk bisa memenangkan perlombaan tarik tambang atau gepuk bantal di atas kolam. Terperosok, tercebur, berdebam, basah kuyup. Namun ia tetap dengan wajah riangnya.
Gadis kecil itu tetap menikmati setiap perjalanannya. Kalah menang di tengah perjuangannya tak pernah menyurutkan semangat untuk terus mendaftar lomba. Seolah telah mengerti bahwa kesenangan itu berada pada detik-detik perjuangan. Masalah hasil, kalah menang, itu hanya sebuah bonus tambahan.
Sungguh sangat berbeda, saat kini ia telah mengetahui seberapa besar makna usaha dan berjuang meraih mimpi. Bahwa setiap penilaian yang Tuhan ambil bukanlah dari hasil yang diperoleh, melainkan seberapa gigih untuk menemui sebuah pencapaian itu. Kemana semangat itu? Semangat yang tak pernah lelah mengejar kemenangan. Semangat yang tak pernah lumpuh ditengah jerembab kekalahan. Dimana?
Entah, bagaimana caranya memulihkan semangat itu. Kini, ia hanya terseok, tak bergeming, menatap lembaran kosong yang harusnya sudah terisi penuh dengan PERJUANGAN. Tak peduli hasil apa yang akan ia peroleh, tak peduli kesulitan apa yang menghadang.
Kemana semangatmu dulu? Pantaskah sebuah harga darah kemerdekaan dibalas dengan tumpukan kemalasan?