Mohon tunggu...
Istaufa Naura Farida
Istaufa Naura Farida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya membaca dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Syamsuddin As-Sumatrani dari Aceh, Penyebar Tasawuf Wujudiyah di Nusantara

15 Oktober 2024   13:05 Diperbarui: 15 Oktober 2024   14:00 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Wahdat al-Wujud merupakan konsep yang terdiri dari dua kata: wahdat (kesatuan/tunggal) dan al-wujud (keberadaan/eksistensi). Secara keseluruhan, konsep ini mengajarkan tentang kesatuan keberadaan antara Tuhan dan alam semesta, di mana tidak ada perbedaan antara Tuhan dan makhluk-Nya. 

Dalam pemahaman ini, alam dianggap sebagai cermin Tuhan melalui konsep tajalli, di mana Tuhan ingin melihat diri-Nya melalui ciptaan-Nya (Sari (dalam Ramadhan dkk, 2022)).

Ajaran ini berawal dari konsep Martabat Tujuh yang berkembang di India pada abad ke-16, yang dibawa oleh Syekh Muhammad Fadhlullah Al-Burhanpuri. Konsep ini sendiri merupakan pengembangan dari pemikiran Ibnu Arabi di Andalusia pada abad ke-12. M

asuknya ajaran ini ke Nusantara ditandai dengan munculnya tasawuf wujudiyah, dengan Hamzah Al-Fansuri sebagai tokoh pelopor pada abad ke-16 M. 

Ajarannya kemudian dikembangkan oleh muridnya, Syamsuddin As-Sumatrani, dan mendapat dukungan dari Sultan Iskandar Muda (Siregar (dalam Ramadhan dkk, 2022)).

Perkembangan Wahdat al-Wujud di Nusantara menimbulkan berbagai reaksi di kalangan cendekiawan Muslim. Muncul kelompok yang mendukung dan menentang ajaran ini, menciptakan perdebatan panjang di masyarakat. Meski menuai kontroversi, ajaran ini berhasil menyebar luas terutama di wilayah Aceh dan sekitarnya, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan pemikiran Islam di Nusantara (Handoyo (dalam Ramadhan dkk, 2022)).

Biodata

Syaikh Syamsuddin Ibnu Abdullah 'Abdullah as-Sumatrani, yang juga dikenal sebagai Syamsuddin Pasai, adalah tokoh intelektual Muslim yang hidup sekitar tahun 1575-1630 M. 

Nama "as-Sumatrani" merujuk pada asal daerahnya di Samudera Pasai, Sumatera. Beliau merupakan sosok yang memiliki kemampuan luar biasa dalam penguasaan berbagai bahasa, termasuk Melayu, Jawa, Persia, dan Arab. 

Keahliannya mencakup berbagai bidang keilmuan seperti mistisisme, hukum, sejarah, filsafat, dan teologi, yang membuatnya dianugerahi gelar tertinggi Syaikh al-Islam (Sultan & Syarifuddin, 2023).

Dalam struktur Kesultanan Aceh, Syamsuddin as-Sumatrani menduduki posisi yang sangat penting pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). 

Beliau menjalankan berbagai peran strategis sebagai penasihat Raja, imam kepala, anggota tim perundingan, dan juru bicara kerajaan. Peran-peran ini menunjukkan betapa besar kepercayaan yang diberikan kerajaan kepadanya. Bersama dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dikenal sebagai tokoh pemuka kaum wujudiyah. 

Pemikiran keduanya sangat dipengaruhi oleh ajaran Ibnu 'Arabi dan al-Jilli. Kontribusi mereka sangat signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Aceh, khususnya dalam bidang tasawuf. Meskipun demikian, ajaran wujudiyah yang mereka kembangkan mendapat kritikan keras dari Nuruddin ar-Raniri (Sultan & Syarifuddin, 2023).

Perjalanan hidup Syamsuddin as-Sumatrani berakhir pada 12 Rajab 39 H atau 24 Februari 1630 M, bertepatan dengan kekalahan Aceh dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka. 

Meski telah wafat, pengaruh pemikiran dan kontribusinya dalam perkembangan intelektual Islam di Nusantara tetap dikenang hingga saat ini, menjadikannya salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia (Sultan & Syarifuddin, 2023).

Karya

Syaikh Syamsuddin as-Sumatrani dikenal sebagai penulis yang sangat produktif dengan banyak karya. Namun, sebagian besar karyanya mengalami nasib tragis ketika dibakar oleh Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Pembakaran ini terjadi sebagai bentuk protes keras terhadap ajaran wihdat al-wujud yang diajarkan oleh Syamsuddin. 

Peristiwa pembakaran ini terjadi sekitar tahun 1637 M di Masjid Raya Baitur Rahman, bersamaan dengan eksekusi para pengikut setianya yang menolak untuk meninggalkan ajaran tersebut pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (Sultan & Syarifuddin, 2023).

Meskipun banyak karyanya yang musnah, beberapa karya Syaikh Syamsuddin as-Sumatrani masih dapat ditemukan hingga saat ini. Di antara karya-karya yang tersisa termasuk Mi'ratu al-Muhaqqiqin, Al-Kharaqah, Dairatu al-Wujud, Sirru al-Anwar, dan beberapa karya lainnya. 

Untuk penelitian lebih lanjut tentang pemikiran dan ajaran beliau, tersedia berbagai sumber primer berupa naskah-naskah yang tersimpan di beberapa lokasi, terutama di Perpustakaan Universitas Leiden dan Royal Asiatic Society, London. 

Naskah-naskah ini menjadi bukti peninggalan berharga yang memungkinkan generasi sekarang untuk mempelajari pemikiran dan ajaran beliau (Sultan & Syarifuddin, 2023).

Ajaran dan Aliran

Syaikh Syamsuddin Sumatrani, yang hidup sekitar tahun 1575 hingga 1630 M, merupakan murid dan sahabat terpenting dari Hamzah Fansuri. Beliau memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk pemikiran keagamaan Muslim Melayu Nusantara pada awal abad ke-17, khususnya dalam pengembangan paham wahdatul wujud. Sebagai pengembang utama ajaran Martabat Tujuh di Indonesia, ajarannya dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Fadhullah al-Burhanpuri yang berasal dari India, termasuk pengaruh praktik dzikir yang mengandung unsur yoga ( Parpatih, 2015).

Dalam ajaran tauhidnya, Syamsuddin Sumatrani membagi pemahaman kalimat " " ke dalam tiga tingkatan. Bagi tingkat pemula (mubtadi), kalimat ini dipahami sebagai "tidak ada yang disembah selain Allah". 

Untuk tingkat menengah (mutawasith), maknanya adalah "tidak ada yang dikehendaki selain Allah". Sedangkan bagi tingkat tertinggi (muntahi), pemahaman yang diajarkan adalah "tidak ada wujud selain Allah". Pendekatan ini mencerminkan kedalaman pemahaman spiritual yang bertingkat dalam ajarannya ( Parpatih, 2015).

Konsep Tujuh Martabat yang diajarkan Syamsuddin Sumatrani terbagi menjadi dua kategori utama: tiga martabat ketuhanan (anniyat Allah) dan empat martabat makhluk (anniyyat al-makhluq). 

Dalam pengajarannya tentang konsep ketuhanan, beliau mengkombinasikan pendekatan tasybih (penyerupaan) dan tanzih (penyucian), sebuah metode yang mirip dengan ajaran Ibnu Arabi. 

Berkat kedalaman dan keluasan ajarannya, Syamsuddin Sumatrani diakui sebagai eksponen terbesar aliran wujudiah setelah Hamzah Fansuri, dan karyanya pertama kali diperkenalkan ke dunia luar oleh para ilmuwan Belanda ( Parpatih, 2015).

Tujuh martabat dalam ajaran tasawuf adalah sebagai berikut; Martabat pertama adalah Ahadiyah, yaitu wujud objektif dan aktual Tuhan yang suci dari segala sifat, nama atau batasan. Martabat kedua disebut Wahdah, merupakan penampakan pertama Tuhan berupa wujud ilmi yang bersifat global dalam ilmu-Nya. 

Martabat ketiga adalah Wahidiyyah, penampakan kedua Tuhan yang menghasilkan pengetahuan terperinci tentang sifat-sifat dan nama-nama-Nya serta hakikat alam. Martabat keempat disebut Alam Arwah, yaitu penciptaan makhluk pertama berupa ruh/nur Muhammad dan arwah lainnya. 

Martabat kelima adalah Alam Mitsal, alam segala bentuk yang halus dan tidak dapat ditangkap panca indera. Martabat keenam adalah Alam Ajsam, alam materi yang dapat ditangkap panca indera, meliputi 'arasy, kursi, langit dan bumi. Martabat ketujuh adalah Alam Insan, yaitu manusia sebagai perwujudan tajalli Tuhan yang paling jelas, menghimpun semua martabat sebelumnya. 

Dalam ajaran ini, martabat pertama hingga ketiga merupakan anniyah (keberadaan) Tuhan yang qadim (tidak bermula), sedangkan martabat keempat hingga ketujuh adalah anniyah makhluk yang muhdats (diciptakan). Pemahaman tentang martabat-martabat ini penting dalam tasawuf untuk mencapai ma'rifah Allah (mengenal Allah) melalui pengenalan diri sendiri Parpatih, 2015)

Kesimpulan

Syaikh Syamsuddin as-Sumatrani adalah tokoh penting dalam perkembangan tasawuf di Nusantara pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Beliau mengembangkan ajaran Wahdat al-Wujud dan Martabat Tujuh, yang berasal pada pemikiran Ibnu Arabi dan Muhammad Fadhlullah Al-Burhanpuri.

 Ajaran utamanya meliputi konsep kesatuan wujud antara Tuhan dan alam semesta, serta pembagian realitas ke dalam tujuh martabat. Tiga martabat pertama (Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyyah) merupakan aspek ketuhanan, sedangkan empat martabat berikutnya (Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam, Alam Insan) adalah aspek makhluk. 

Syamsuddin as-Sumatrani memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam di Nusantara, banyak karyanya yang dimusnahkan. Pemikirannya mencerminkan sintesis antara tradisi tasawuf dan filsafat Islam, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

 

DAFTAR PUSTAKA

Parpatih, S, D. (2015). Syamsuddin As-Sumatrani: Tokoh Tasawuf dari Aceh. E-Journal UIN Imam Bonjol, 7(1), 26-31.

Ramadhan, Fikri, Fatmawati, Putri Yuli, Handayani, Rosi Elsa & Lestari, Yenny Dewi. (2022). Tasawuf Wahdat Al-Wujud (Wujudiyah) Syekh Syamsuddin As-Sumatrani: Tarekat, Ajaran dan Amalan di Sumatera Barat Pada Abad Ke-16 dan 17 Masehi. Medan Resource Canter, 1(3), 138.

Sultani, D, I & Syarifuddin. (2023). Ajaran Pendidikan Islam Syeikh Syamsudfin As-Sumatrani. Research Gate: An-Nur Jurnal Studi Islam, 15(1), 71-74 & 76-78.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun