Mohon tunggu...
Istanti Fatkhul Janah
Istanti Fatkhul Janah Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Seorang Ibu dari satu anak yang mengabdikan diri sebagai pembelajar, pembaca manuskrip, pengagum kearifan lokal, pengeja prasasti, penulis kisah, penyuka budaya, penikmat senja, menjalani gaya hidup 'meaning full'~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harta Karundi Borobudur Writers and Culture Festival 2022

28 November 2022   21:34 Diperbarui: 28 November 2022   22:02 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Instagram @borobudurwriters.id

Sebuah perhelatan akbar para penulis, sastrawan, budayawan, penggiat seni, pemuka agama lintas iman, dan masyarakat luas. Perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) yang ke 11 bekerja sama dengan Universitas Hindu Indonesia kembali diselenggarakan secara virtual pada 24-27 November 2022. 

Sebuah pemikiran para cendekia tentang berbagai aspek budaya peradaban yang luar biasa dikupas kembali oleh para pakar baik dari dalam maupun luar negeri. Tahun ini memilih mengupas kembali pemikiran (almarhumah) Prof. Hariani Santiko, seorang pakar arkeologi dan guru besar UI. Beliau telah mendedikasikan diri untuk mendalami dan menyelami tokoh Durg. 

Disertasinya bertajuk "Kedudukan Batari Durg Di Jawa pada Abad X-XV Masehi" adalah pemikiran luar dalam keilmuan dan kajian dibidang arkeologi. Berawal dari hal tersebut, Borobudur Writers and Cultural ke-11 mengangkat tema "Durg di Jawa, Bali, dan India". Hal ini sebagai bentuk penghormatan pada (almarhumah) Prof. Hariani Santiko atas dedikasinya serta menggali kembali sosok Durg dari berbagai perspektif para pakar dari Jawa, Bali, dan India serta beberapa peneliti lainnya dari Itali, Amerika, Jerman, dan lain-lain. 

Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-11 yang diselenggarakan selama 4 hari memiliki banyak rangkaian acara. Acara pertama yang saya ikuti adalah paparan key note spreaker dari peneliti Durg yang berasal dari Bali yaitu Ni Wayan Pasek Ariati, Ph.D. Di antara paparannya tentang Durg di Jawa, Bali, dan India ada hal yang menarik disampaikan. Saat Beliau masih muda sebelum meneliti topik ini, seseorang menyebut kata "Durg" saja adalah sesuatu yang dianggap tabu karena dianggap memiliki nilai yang mistis. 

Kebanyakan masyarakat di Bali mempunyai pemikiran bahwa Durg itu adalah Rangda. Selain itu, Beliau memiliki beberapa buku catatan tentang sosok Durg yang oleh pemilik aslinya dilarang untuk dibaca oleh siapapun. Alhasil, kemanapun Ni Wayan Pasek Ariati, Ph.D. pergi sampai ke luar negeripun buku tersebut selalu dibawahnya. 

Dari paparan ini  dapat digambarkan bagaimana sosok Durg di Jawa, Bali, dan India sesuai dengan disertasinya di Charles Darwin University of Australia yang mengkaji topik ini. 

Borobudur Writers and Cultural ke-11 mengundang para pakar dari berbagai berbagai negara yang dikemas dalam rangkaian acara simposium dan ceramah umum untuk membahas Durg dari berbagai perspektif. Beberapa bahasan yang sempat saya ikuti adalah paparan yang disampaikan Dr. Andrea Acri tentang bagaimana sosok Durg dari perspektif religi, relief, serta arca. 

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Agus Arismunandar Guru Besar UI memaparkan Durg diberbagai relief yang salah satunya pada Candi Tegowangi Kediri. Paparan pada simposium pertama ini kembali mengingatkan saya saat menempuh pendidikan mata kuliah Sastra Jawa Pertengahan yang membahan Kidung Sudamala dan Calon Arang. Betapa sosok Durg adalah memiliki peran krusial pada alur cerita ini. 

Pembahasan sosok Durg dalam Borobudur Writers and Cultural Festival pada simposium II oleh Dr. Titi Surti Nastiti dari BRIN dalam prasasti Jawa Kuna dan Bali Kuna. Beliau menyimpulkan bahwa Durg memiliki kesamaan kedudukan dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna dan Bali Kuna yaitu sebagai Durgdew yang diseru sebagai saksi dalam sapatha untuk menghukum orang-orang yang merusak Sma. 

Sejalan dengan pemikiran Dr. Titi, Ismail Lutfi dari UM menyimpulkan bahwa pada dasarnya Durg memiliki peran utama yaitu sebagai Dewi Pejuang yang melindungi suatu kekusaan (Sima). Selanjutnya I Gedhe Agus Darma dari IHI Bali membahas Kultus Durg pada Puja Caru di Pura Kehen menyebutkan bahwa sejauh ini belum bisa bahwa prasasti Kehen pada Pj Caru belum  bisa disimpulkan sebagai pemujaan terhadap Dewi Durg karena perbandingan terhadap ritus di India dan Jawa Kuno jelas tidak serupa. 

Pada simposium III dalam Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) membahas Durg pada kakawin. Penggambaran Durg menampilkan citraan dengan sifat ambigu, yaitu Durg baik yang menolong maupun mengancam. Dr. Wayan Jarrah Sastrawan dati University of Sydney menyebutkan bahwa citraan antagonis ini dikaitkan dengan konsep tiwikrama sehingga mantra dan pujian sangat penting dalam mengendalikan kesaktian Durg. 

Selanjutnya dibahas dari perspektif dalam Tantrayana antara Durg, Calon Arang dan Pangleyakan di Bali di mana Durg merupakan sosok yang dipuja serta dijuluki oleh ratu Leyak oleh Calon Arang. Hal ini menjadikan Durg dicitrakan sebagai sosok yang menyeramkan dan Dewinya Leyak dalam karya sastra dan seni pertunjukan Calon Arang. Demikian paparan dari Dr. Komang Indra Wirawan. 

Tangkapan layar Zoom Ceramah Umum BWCF 2022
Tangkapan layar Zoom Ceramah Umum BWCF 2022

Durg pada perspektif lain juga dikupas dalam sesi ceramah umum yang mengkaji ritual Mahesa Lawung. Ritual ini yang dilaksanakan oleh Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di alas Krendha Wahana terletak di Karanganyar yang dipercaya sebagai tempat bersemayam Dewi Durg. Ritual ini dilaksanakan setahun sekali oleh para sentana dalem juga abdi dalem. 

Menurut Prof. Stephen C. Headley, ritual menanam kepala kerbau yang tujuannya untuk selalu mendapat perlindungan dari arah utara. Ceramah umum lain yang menarik lainnya adalah paparan yang disampaikan oleh Dr. Lydia Kieven dari Jerman. Beliau memaparkan sosok Durg pada relief Candi Penataran dan Candi Tegowangi di Jawa Timur serta Relief Candi Sukuh di Jawa Tengah. 

Pada relief Candi Tegowangi dan Candi Sukuh, digambarkan sosok Durg yang menjelma sebagai raksasa yang menakutkan. Sadewa membantu keluarganya dengan cara mengorbankan diri untuk meruat Durg yang terkena kutukan. Durg sendiri adalah Dewi Uma yang dianggap melakukan kesalahan sehingga dikutuklah menjadi sosok rasaksa perempuan selama 12 tahun yang mendiam Setra Gandamayit. 

Akhirnya Sadewa diselamatkan Dewa Siwa yang hampir dimakan oleh Durg. Digambarkan juga bahwa Kunthi menyembah Durg. Sedangakan di relief Candi Penataran sosok Durg dikaitkan dengan tokoh Panji yang diceritakan siap mengorbankan diri demi kekasihnya. Selanjutnya sosok Durg membantu Panji karena merasa kasihan. Pada relief ini bukan termasuk ruwatan Durg karena tidak ada penjelmaan Dewi Uma. Masih banyak lagi pembahasan Durg oleh para pakar lainnya.

Perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) yang ke 11 ditahun 2022 mengupas sosok Durg dari berbagai perspektif bidang keilmuan menurut beberapa pakar. Dari sisi penyebutan yang bervariasi antara lain Durg, Bhar, Bhar Durg, Cmu, Dewi Durg, Durggdew, Durg Ra Nini, Durg Mahisasuramardini, dan lain sebagainya. 

Dari sisi penggambarannya ada yang berupa arca Dewi Durg yang cantik rupawan dengan membawa berbagai senjata dengan lembu di bawahnya, relief candi yang menyerupai raseksa wanita dengan perwujudan menyeramkan, dan sebagainya. Berbagai kisah dari berbagai perspektif yang mengisahkan Durg sebagai sosok yang dipuja maupun ditakuti karena memiliki peran protagonis atau antagonis. 

Terlepas dari tujuan Durg dari berbagai sudut pandang ini semua menarik sekali untuk dikaji dan dikembangkan oleh para akademisi, peneliti, arkeolog, filolog, budayawan, pekerja seni dan siapa pun yang tertarik mengkaji Durg lebih dalam. Beberapa agenda dari Borobudur Writers and Cultural Festival yang ke 11 ditahun 2022 lainnya ada peluncuran buku, pemutaran pentas seni atau film, serta meditasi yang akan saya tulis pada artikel selanjutnya. 

Tangkapan layar Zoom Ceramah Umum BWCF 2022
Tangkapan layar Zoom Ceramah Umum BWCF 2022

Perayaan yang ke-11 Borobudur Writers and Cultural Festival bekerja sama dengan Universitas Hindu Indonesia mengkaji ulang gagasan Prof. Hariani Santiko tentang Durg di Jawa, Bali, dan India menjadi topik yang sangat menarik untuk dikaji dari berbagai perspektif dengan keilmuan yang berbeda. Puncak acara sebagai penutupan, Sang Hyang Kamahayikan Award dianugerahkan kepada Prof. Hariani Santiko  atas segala dedikasinya. 

Secara simbolis, Prof. Dr. Mudji Sutrisno menyerahkan sebuah cindera mata kepada putra  Prof. Hariani Santiko sebagai bentuk apresiasi. Harapannya, semakin menarik minat kembali para peneliti muda, pekerja seni, pelaku industri kreatif, dan siapa pun lebih mengkaji ulang kekayaan intelektual akan sosok Durg supaya ke depannya tumbuh kesadaran dan upaya dalam melestarikannya. Inilah "harta karun" yang sangat berharga di Borobudur Writers and Cultural Festival. Terima kasih Prof. Hariani Santiko, jasamu abadi. 

Sumber foto: Instagram @borobudurwriters.id, tangkapan layar Zoom Ceramah Umum BWCF 2022

                             

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun