Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Jawa Timur. Kota ini dikenal dengan sebutan bumi Reyog karena memiliki kesenian khas daerah yaitu Reyog. Reyog Ponorogo sendiri merupakan salah satu karya seni pertunjukan tradisional yang telah menjadi pusat perhatian masyarakat, baik lokal, nasional maupun  internasional dan merupakan salah satu karya seni budaya yang  memiliki kekuatan menjadi identitas budaya nasional.
Seni pertunjukan ini merupakan teater rakyat yang biasa dipentaskan dalam acara-acara prosesi di tempat atau arena terbuka. Seni pertunjukan ini sangat terkenal di daerah Ponorogo dan memiliki pengaruh  yang kuat bahkan sampai ke luar daerah Jawa Timur.Â
Oleh karena itu, Reyog Ponorogo yang memiliki nilai-nilai kultural yang khas dan telah diwariskan secara turun temurun perlu dipelihara dan dilestarikan agar dapat tetap memiliki eksistensi sebagai identitas budaya lokal maupun nasional. Sejarah kesenian Reyog sendiri terbagi menjadi beberapa versi yang diyakini kebenaranya oleh setiap masyarakat pendukungnya.
Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan sebagaui suatu identitas dan ciri khas dari suatu bangsa, dapat menunjukkan ciri dari suatu bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sehingga sudah sangat jelas bahwa kebudayaan perlu untuk dilindungi baik oleh pemerintah maupun masyarakat bangsa tersebut.Â
Pada masa sekarang ini, kebudayaan sudah sering dilupakan dan diabaikan pelestariannya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Tari Reyog Ponorogo sempat menjadi bahan berita di Indonesia pada bulan November 2007, saat Tari Barongan, yang ‘persis bahkan sama’ dengan Reyog, menjadi bagian dari kampanye pariwisata Visit Malaysia 2007, ‘Malaysia Truly Asia’. Yang paling menyinggung, sosok Singo Barong yang menjadi ikon Reyog dengan topeng Dhadak Merak yang biasa tertuliskan  ‘Reyog Ponorogo’ diganti dengan satu kata yaitu ‘Malaysia’.Â
Hal ini idak sesuai dengan Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa. Selain itu dalam perkembangannya, beberapa jenis seni pertunjukan tradisional mengalami kemunduran atau bahkan mengalami kepunahan. Ancaman terjadinya kepunahan akan berlangsung terus apabila masyarakat pemiliknya tidak memiliki kemauan untuk menjaga keberlangsungan atau melestarikan seni tersebut.Â
Terlebih lagi derasnya arus globalisasi dapat membawa dampak buruk terhadap kesenian lokal apabila penanaman seni budaya sebagai karakter bangsa tidak kuat. Untuk itu  dibutuhkan upaya dalam rangka menjaga keeksistensinya adalah dengan cara meregenerasi para seniman.Â
Supariadi dan Warto (2012:1) mengkalsifikasi regenerasi seniman Reyog Ponorogo menjadi dua jalur yaitu: jalur formal (festival) dan jalur non formal (obyok). Seniman Reyog Ponorogo, baik Reyog festival maupun Reyog obyog, memiliki potensi dan kompetensi yang baik untuk menampilkan seni pertunjukan Reyog menjadi identitas khas daerah. Â
Secara umum masyarakat Kabupaten Ponorogo memiliki apresiasi yang baik terhadap seni reyog, khususnya Reyog festival. Dari fakta tersebut diketahui bahwa minat generasi muda untuk menjadi seniman juga cukup tinggi, khsuusnya untuk menjadi seniman Reyog festival.Â
Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah memiliki komitmen yang baik dalam mendukung regenerasi seniman Reyog melalui berbagai kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh instansi/dinas teknis terkait seperti penyelenggaraan Festival Nasioal Reyog Ponorogo (FNRP), Festival Reyog Mini (FRM), pentas Reyog bulan purnama, parade Reyog, dan pengintegrasian reyog ke dalam muatan lokal pada kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi. Beberapa komunitas mahasiswa di luar kota juga membentuk paguyuban Reyog yang juga eksis. Beberapa tahun terakhir, Bupati Ipong juga menjadikan pentas Reyog setiap tanggal 11 disetiap desa menjadi agenda wajib yang harus dilaksanakan.Â
Reyog Ponorogo yang eksistensinya mendunia memiliki sejarah yang unik. Ada beberapa versi kesejahteraannya. Setiap versi memiliki massa pendukungnya masing-masing. Pertama, versi Kerajaan Bantarangin yang menceritakan Prabu Klana Sewandono sebagai raja yang memiliki Patih bernawa Pujangganong.Â
Diceritakan Sang Raja diceritakan jatuh cinta pada Putri Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit. Selanjutnya, Patih Pujangganong diutus untuk melamarnya.Â
Sang Dewi meminta sebuah syarat untuk membuat sebuah tontonan yang belum ada sebelumnya. Singkat cerita, Prabu Klana Sewandono bertarung dengan Singo Barong di alas Lodaya untuk memperebutkan. Selanjutnya, Â Sang Prabu Klana berhasil mengalahkannya lalu memenangkan sayembara dan menikah dengan Dewi Songgolangit.Â
Akhir cerita, ada yang menyebutkan bahwa Prabu Klana dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu: antara hidup bahagia berketurunan dengan Dewi Sanggalangit atau tidak memiliki keturunan tapi hasil karya yang digunakan sebagai persyaratan ketika melamar bisa terus eksis dan berjaya melintasi berbagai zaman yang tidak lain adalah Reyog Ponorogo ini.Â
Selanjutnya, Prabu Klana memilih pilihan yang kedua ini sehingga lahirlah wewaler bahwa orang Ponorogo tidak boleh menikah dengan orang Kediri karena tidak akan bahagia dan banyak rintangan. Wallahua’lam.
Versi yang kedua adalah versi Suryangalam. Versi ini dianggap lebih bisa diterima secara rasio dari pada versi Bantarangin (Simatumpang, 2019:123). Jika versi Bantarangin itu dianggap fiktif, versi Suryangalam ini dianggap memiliki kebenaran yang memiliki nilai historis yang mengacu pada tokoh dan tempat. Pada versi ini menceritakan Demang Suryangalam yang tinggal di desa Kutu Wetan, kecamatan Jetis.Â
Tokoh ini populer dengan sebutan Ki Ageng Kutu. Sebelumnya, Suryangalam adalah penyair istana Majapahit yang pada abad ke lima belas. Karena kekecewaanya pada Bhre Kertabumi yang terlalu dikuasai oleh permaisuri yang bersama Putri Campa akhirnya Suryangalam meninggalkan kerajaan menuju desa Kutu lalu membuat tontonan yng berisi sindiran. Tontonan berupa kepala singa yang dihinggapi burung merak selanjutnya disebut Reyog ini.
Versi yang ketiga adalah versi Ki Ageng Mirah atau Batoro Katong. Pada versi ini diceritakan bahwa Batoro Katong yang dibantu oleh Ki Ageng Mirah berhasil mengalahkan Suryangalam. Hasil produk Reyog versi Suryangalam yang digunakan sebagai sindiran akhirnya diperbaharui dengan inovasi.Â
Jika sebelumnya kepala singa dan merak sebagai analogi Bhre Kertabumi dan putri Campa, maka pada versi ini analogi dirubah menjadi Batoro Katong yang berhasil menakhlukkan Suryangalam.Â
Di sini, Ki Ageng Mirah berinovasi dengan menambahkan penari baru. Sebelumnya terdiri dari tiga tokoh, kini bertambah cerita beru yaitu adanya paraga Prabu Klana Sewandana dan Pujangganong. Selain itu ada beberapa tambahan hiasan pada dadak merak berupa kipas dan manik-manik lainnya.
Dari ketiga versi tersebut banyak pertanyaan yang sering muncul: versi manakah yang paling benar. Pada dasarnya semua benar menurut masyarakat pendukungnya.Â
Jika diperhatikan, versi pertama Klana Sewandana yang melamar Dewi Sanggalangi berada pada sekitar abad 12 . Versi ini dianggal lebih tua dari versi lainnya sehingga menurut masyarakat pendukungnya dianggap paling benar.Â
Selanjutnya versi kedua pada masa pemerintahan Majapahit berada di Bhre Kertabumi berada pada sekitar abad 15 di mana mulai Islamisasi. Sedangkan untuk versi ketiga merupakan terusan dari versi kedua.Â
Kedua versi terakhir ini secara runtutan sejarah dianggap lebih realistis dan memenuhi bukti kesejarahan yang lebih konkrit dari versi pertama. Akan tetapi tetap saja ada pihak yang juga meragukan beberapa hal seperti nama ‘Batoro’ Katong yang kurang dipercara kevaliditasannya sebagai muslim karena merupakan nama untuk umah Hindu serta beberapa penamaan Reyog serta alat musik yang secara etimologi berasal dari bahasa Arab namun kesannya terlalu dipaksakan.Â
Selain hal tersebut diatas masih banyak sekali pendapat-pendapat para pemerhati sejarah Reyog. Semua memiliki kebenaran masing-masing dan yang lebih penting adalah bagaimana upaya untuk menjaga kelestariannya.
Reyog Ponorogo sebagai kesenian topeng terbesar di dunia terlepas dari berbagai versi asal-usulnya memiliki manfaat dan fungsi yang terbagi menjadi berdasarkan kronilogi waktunya seperti yang tergambar pada bagan di bawah ini:
Berdasarkan asal-usulnya, Reyog sudah memiliki fungsi sejak awal diciptakannya. Pada jaman dahulu, Reyog memiliki fungsi sebagai sarana untuk memenuhi syarat dari sayembara yang dari Dewi Sanggalangit kepada Prabu Klana Sewandana untuk menciptakan tontonan yang sebelumnya belum ada.Â
Pada saat itu, Prabu Klana berhasil mengalahkan Singabarong yang kemudian muncul inisiatif menjadikannya tontonnan dengan manambahkan burung merak diatasnya. Kemudian lahirlah Reyog yang diciptakan sebagai upaya untuk memenangkan sayembara dalam mendapatkan cinta Dewi Songgolangit. Sampai akhrinya, dalam sebuah versi diceritakan bahwa keduanya menikah. Selanjutnya Reyog memiliki fungsi sebagai sarana protes sosial.Â
Pada versi kedua asal-usul Reyog Ponorogo, diceritakan bahwa Reyog digunakan sebagai alat yang diciptakan oleh Suryangalam sebagai pujangga kerajaan Majapahit untuk protes sosial atau menyindir raja Majapahit. Pada saat itu kerajaan mengalami fase buruk karena dikabarkan Bhre Kertabumi sebagai raja dikendalikan oleh permaisurinya Putri Campa dari Cina.Â
Hal ini mempengaruhi kepemimpinannya. Pada bagian ini diciptakan Reyog dengan tiga personil yaitu: Singo Barong yang ditunggangi burung merak adalah Sang Raja yang takhluk pada permaisurinya, Jathil sebagai pasukan berkuda, dan Ganongan yang tidak lain menganalogikan Suryangalam sendiri yang dibentuk menjadi sosok karakter lucu yang menertawakan Singo Barong.Â
Jadi, Reyog digunakan Suryangalam sebagai pagelaran satirik yang digunakan untuk mencemooh raja Majapahit, Bhre Kertabumi (Simatumpang, 2019:125). Selanjutnya, fungsi Reyog berdasarkan asal usul Reyog versi ketiga yaitu Reyog digunakan sebagai sarana dakwah oleh Batoro Katong dan Ki Ageng Mirah dalam upaya Islamisasi Ponorogo.Â
Saat itu Batoro Katong berhasil mengalahkan Suryangalam. Reyog yang diciptakan sebelumnya oleh Suryangalam dan telah digandrungi masyarakat sekitar akhirnya dialih fungsikan. Ki Ageng Mirah menginovasi Reyog dengan merubah bentuk dadak merak dengan menambahkan kipas di atas kepala merak dan hiasan manik-manik. Selain itu juga ditambahkan paraga dalam rangkaian pertunjukannya yaitu Prabu Klana Sewandana dan Pujangganong.Â
Selanjutnya beberapa istilah tentang pereyogan juga mengambil istilah bahasa Arab seperti Riypqun (Reyog), Qodo’a (kendang), Katifun (ketipung), Qona’a (kenong), dan U’du (udheng) (Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Ponorogo 1996a: 7 ; Munardi 1999:9). Semua digunakan sebagai sarana untuk berdakwah.
Sekarang ini, Reyog memiliki berbagai fungsi ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: aspek sosial. Sebuah pagelaran Reyog tentu saja melibatkan banyak personil. Mulai dari penari, pengrawit serta tim pendukung lainnya. Mulai dari penari saja, satu paguyuban Reyog yang tampil saat Festival melibatkan lebih dari 40 penari.Â
Sedangkan untuk jumlah pengrawit sekitar sepuluh sampai dua puluh ditambah dengan tim pengiring lainnya. Jadi dalam satu pertunjukkan pada Festival Nasional Reyog Ponorogo melibatkan kurang lebih enam puluh orang. Belum dikalikan berapa banyak group yang pentas. Tentu saja ketika FRNP berlangsung akan ratusan bahkan ribuan manusia di alon-alon Bumi Reyog.Â
Hal ini menjadikan Ponorogo sebagai salah satu produsen penari tradisional terbanyak se-Indonesia menurut Shodiq (2019) yang disampaikan pada dialog Budaya di hotel Gajahmada. Sedangkan pada Reyog obyog juga tidak kalah banyak melibatkan personil.Â
Pada Reyog obyok yang sifatnya cenderung lebih memsyarakat, hubungan sosial dan solidaritas lebih terasa. Misalnya saja, seseorang yang merupakan anggota paguyuban mempunyai hajat lalu nanggap Reyog akan ada teman paguyuban lainnya yang nyumbang jathil atau ikut berpartisipasi berupa menambahkan penari jathil secara gratis. Disisi lain juga warga dari paguyuban lainnya pasti akan ikut bergabung dipementasan obyok di suatu tempat.Â
Ada juga istilahnya yang melu nyokot atau ikut pencoba menari sebagai pembarong. Disini penari lainnya dengan suka rela mengizinkannya. Secara umum, dalam sebuah pementasan terjadi interaksi sosial yang tentunya menambah empati dan simpati sesama warga Reyog sehingga terjalin silaturhami. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.
Kedua, fungsi Reyog ditinjau dari aspek seni. Kesenian merupakan produk kebudayaan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Tarian Reyog yang merupakan produk budaya peninggalan nenek moyang terlepas dari asal-usul sejarahnya yang memiliki nilai seni atau biasa disebut estetika. Estetika sendiri tidak bisa dijelaskan dengan deretan kalimat namun bisa dirasakan. Reyog sendiri apabila dikaji tentu saja memiliki estetika tinggi. Seseorang yang menarikan paraga Reyog tentu harus memiliki jiwa seni.Â
Dalam hal ini, Reyog memiliki fungsi dalam aspek seni yaitu sebagai sarana untuk mengekspresikan jiwa dan kreatifitas para penari. Hal ini mencangkup semua aspek mulai dari tata tari, tata busana, tata iringan, serta tata pertunjukan. Semua dikomporasikan menjadi satu yang kemudianlah lahirlah sebuah mahakarya pertunjukkan yang luar biasa.
Fungsi Reyog masa kini ketiga ditinjau dari aspek ekonomi yaitu pada sebuah perjalanan pementasan Reyog ini terjadi perputaran ekonimi. Paling awal saja, jika seseorang memutuskan belajar menari Reyog pada sanggar-sanggar tari yang sudah memiliki ‘nama’, tentu saja harus mengeluarkan biaya mandiri.Â
Kecuali yang belajar di paguyuban atau pelatihan gratis. Hal ini berbanding dengan para pelaku Reyog yang sudah expert dan membuka sanggar tari tentu saja akan mendatangkan income baginya. Selanjutnya untuk pementasan skala besar setingkat FRNP tentu membutuhkan koreografer serta penata iringan profesional yang tentu harus merogoh kocek yang tidak sedikit.Â
Belum lagi honor untuk para penari dan tim lainnya. Selain itu juga dibutuhkan biaya untuk tata risa, sewa kostum, konsumsi dan transportasi. Tentu saja harus menggandheng beberapa pihak. Selain itu ketika ada pementasan baik festival maupun obyok tentu akan menarik masyarakat untuk menonton. Tentu saja hal ini akan menarik para pedagang untuk manjajakan barang dagangannya.Â
Selain itu adad pengusaha-pengusaha yang membuka pusat oleh-oleh khas Ponorgo yang menjual bebagai macam merchendise Reyog. Ada juga para content creator yang menjadikan Reyog sebagai kontennya sehingga akan mendatangkan adsense. Dari sinilah Reyog memiliki fungsi ekonomi yaitu sebagai salah satu obyek yang menjadikan tonggak terjadinya transaksi ekonomi.
Berdasarkan ulasan di atas dapat dicermati bahwa pada dasarnya Reyog mengandung unsur etika maupun estetika. Unsur etika Reyog dapat dirasakan ketika seseorang sudah terjun di dalam sebuah seni khususnya Reyog  maka juga memegang teguh etika. Etika berarti ilmu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam kehidupan sehari-hari, etika sering disamakan dengan moral, namun sedikit berbeda. Jika etika biasanya digunakan untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku, sedangkan moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan (Bertens, 2007:4).Â
Di dalam berkesenian khususnya Reyog seorang seniman harus memiliki etika yang bisa disebut sebagai etika profesi. Etika profesi meliputi dua hal, yaitu: pertama, etika pada diri sendiri. Sebagai seorang pemain Reyog harus memegang etika ptofesi. Mulai dari konsisten pada pilihan untuk terjun didunia seni Reyog sebagai bentuk ekspresi jiwa. Etika lainnya hubungannya dengan attitude. Seorang seniman harus bisa bertanggung jawab pada diri sendiri, menjaga kehormatan serta bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku. Suatu ketika ada seseorang bala Reyog yang melakukan hal negatif, tentu akan berdampak buruk bagi nama paguyuban karena akan terseret negatifnya. Yang paling penting, dengan berkesenian Reyog jangan sampai menjauhkan diri dengan Tuhan.
 Kedua, etika pada orang lain. Sebagai manusia tentu saja berinteraksi dengan orang lain terutama bala Reyog. Sebagai seniman haruslah memiliki tata krama dalam bersosial di lingkungan seni mulai dari tutur kata dan juga sikap. Contoh real yang lainnya misalnya ketika seorang senima Reyog menerima job maka harus berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakannya, saling membantu antara bala Reyog, saling meminjam perlengkapan Reyog apabila dibutuhkan dan lain sebagainya. Intinya lebihpada cara bersosio masyarakat antara bala Reyog.
Berkaitan dengan estetika Reyog yaitu sebuh seni keindahan. Bicara estetika akan sulit dijelaskan dalam barisan kalimat. Sesuatu dikatakan mengandung unsur estetika apabila yen disawang katon endah, yen dirungakne krasa gayeng lan yen dirasake ngresepake ati. Jika dijabarkan yen disawang katon endah yaitu apabila dilihat maka akan tampak indah. Suatu komposisi lengkap tari Reyog mulai Warok, Jathil, Pujangganong, Klana Sewandana dan Dadak Merak semua dikemas secara estetis secara tampilan dan tata gerak tari. Para penata tari tentu saja berusaha menampilkan koreografer yang spektakuler dan berkarakter yang didukung oleh tata kostum.Â
Selanjutnya yen dirungakne krasa gayeng ini hubungannya dengan musik iringan gamelan Reyog. Tentu saja ada koordinasi dengan tata gerak tari sehingga akan sinkron dan muncul menjadi sebuah sajian pertunjukan yang ditampilkan. Jika keduanya sudah maksimal, kemudian yen dirasake ngresepake ati. Hal ini menjadikan para penonton dan penikmat seni lainnya merasakan marem ketika melihat. Marem disini tidak hanya sebatas senang, tetapi lebih merasakan subuah kebanggaan dan rasa takjub ketika melihat komposisi sajian tari Reyog yang istimewa. Dengan begitu, ada rasa memiliki dan mencintai untuk selalu menjaga kelestarian kesenian ini.
Selanjutnya, antara etika dan estetika ini suatu hal yang tidak bisa tepisah dan mengambil peranan yang sangat penting dalam nafas Reyog. Etika akan mengatur atau menjadi pengendali kemana dan bagaimana Reyog ini akan melangkah tetap dalam koridor yang sebagaimana mestinya. Selain itu juga mengatur pelaku seni didalamnya sehingga melahirkan para generasi yang tangguh, beradab serta berkarakter. Kemudian estetika adalah menjadi daya tarik Reyog sebagai suatu karya seni yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas.Â
Estetika juga menjadi pengobar semangat dimana para pelaku seni harus lebih berusaha meningkatkan kreatifitasnya sehingga tetap menjaga eksistensi Reyog didunia pertunjukkan. Dengan kedua hal ini, Reyog akan menjadi karya seni yang memenuhi komposisi dari sebuah tontonan dan tuntunan.
Reyog Ponorogo, salah satu bentuk kesenian rakyat asli Ponorgo dari Propinsi Jawa Timur yang selalu menarik perhatian untuk dibicarakan dan dikaji dalam dunia pertunjukan rakyat di Indonesia. Pembahasan dan penelitian dari sudut pandang seni, antropologi maupun lainnya telah dilakukan oleh para peneliti dan penulis. Namun kekhasan, keunikan dan berbagai elemen yang mendukung pertunjukan tersebut selalu menarik untuk diteliti dari berbagai perspektif. Mulai dari sisi asal usulnya yang ada berbagai versi dengan masing-masing masyarakat pendukungnya, fungsi Reyog dimasa dahulu dan dimasa sekarang, serta etika maupun estetika yang terkadung didalamnya. Semua aspek bersinergi untuk melestarikan Reyog sebuah tontonan maupun tuntunan bagi masyarakat khususnya Ponorogo dan dimanapun berada. Sura Dira Jayaningrat, Lebur dening Pangastuti. Rahayu . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H