Sekarang ini, Reyog memiliki berbagai fungsi ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: aspek sosial. Sebuah pagelaran Reyog tentu saja melibatkan banyak personil. Mulai dari penari, pengrawit serta tim pendukung lainnya. Mulai dari penari saja, satu paguyuban Reyog yang tampil saat Festival melibatkan lebih dari 40 penari.Â
Sedangkan untuk jumlah pengrawit sekitar sepuluh sampai dua puluh ditambah dengan tim pengiring lainnya. Jadi dalam satu pertunjukkan pada Festival Nasional Reyog Ponorogo melibatkan kurang lebih enam puluh orang. Belum dikalikan berapa banyak group yang pentas. Tentu saja ketika FRNP berlangsung akan ratusan bahkan ribuan manusia di alon-alon Bumi Reyog.Â
Hal ini menjadikan Ponorogo sebagai salah satu produsen penari tradisional terbanyak se-Indonesia menurut Shodiq (2019) yang disampaikan pada dialog Budaya di hotel Gajahmada. Sedangkan pada Reyog obyog juga tidak kalah banyak melibatkan personil.Â
Pada Reyog obyok yang sifatnya cenderung lebih memsyarakat, hubungan sosial dan solidaritas lebih terasa. Misalnya saja, seseorang yang merupakan anggota paguyuban mempunyai hajat lalu nanggap Reyog akan ada teman paguyuban lainnya yang nyumbang jathil atau ikut berpartisipasi berupa menambahkan penari jathil secara gratis. Disisi lain juga warga dari paguyuban lainnya pasti akan ikut bergabung dipementasan obyok di suatu tempat.Â
Ada juga istilahnya yang melu nyokot atau ikut pencoba menari sebagai pembarong. Disini penari lainnya dengan suka rela mengizinkannya. Secara umum, dalam sebuah pementasan terjadi interaksi sosial yang tentunya menambah empati dan simpati sesama warga Reyog sehingga terjalin silaturhami. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.
Kedua, fungsi Reyog ditinjau dari aspek seni. Kesenian merupakan produk kebudayaan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Tarian Reyog yang merupakan produk budaya peninggalan nenek moyang terlepas dari asal-usul sejarahnya yang memiliki nilai seni atau biasa disebut estetika. Estetika sendiri tidak bisa dijelaskan dengan deretan kalimat namun bisa dirasakan. Reyog sendiri apabila dikaji tentu saja memiliki estetika tinggi. Seseorang yang menarikan paraga Reyog tentu harus memiliki jiwa seni.Â
Dalam hal ini, Reyog memiliki fungsi dalam aspek seni yaitu sebagai sarana untuk mengekspresikan jiwa dan kreatifitas para penari. Hal ini mencangkup semua aspek mulai dari tata tari, tata busana, tata iringan, serta tata pertunjukan. Semua dikomporasikan menjadi satu yang kemudianlah lahirlah sebuah mahakarya pertunjukkan yang luar biasa.
Fungsi Reyog masa kini ketiga ditinjau dari aspek ekonomi yaitu pada sebuah perjalanan pementasan Reyog ini terjadi perputaran ekonimi. Paling awal saja, jika seseorang memutuskan belajar menari Reyog pada sanggar-sanggar tari yang sudah memiliki ‘nama’, tentu saja harus mengeluarkan biaya mandiri.Â
Kecuali yang belajar di paguyuban atau pelatihan gratis. Hal ini berbanding dengan para pelaku Reyog yang sudah expert dan membuka sanggar tari tentu saja akan mendatangkan income baginya. Selanjutnya untuk pementasan skala besar setingkat FRNP tentu membutuhkan koreografer serta penata iringan profesional yang tentu harus merogoh kocek yang tidak sedikit.Â
Belum lagi honor untuk para penari dan tim lainnya. Selain itu juga dibutuhkan biaya untuk tata risa, sewa kostum, konsumsi dan transportasi. Tentu saja harus menggandheng beberapa pihak. Selain itu ketika ada pementasan baik festival maupun obyok tentu akan menarik masyarakat untuk menonton. Tentu saja hal ini akan menarik para pedagang untuk manjajakan barang dagangannya.Â
Selain itu adad pengusaha-pengusaha yang membuka pusat oleh-oleh khas Ponorgo yang menjual bebagai macam merchendise Reyog. Ada juga para content creator yang menjadikan Reyog sebagai kontennya sehingga akan mendatangkan adsense. Dari sinilah Reyog memiliki fungsi ekonomi yaitu sebagai salah satu obyek yang menjadikan tonggak terjadinya transaksi ekonomi.