Setiap Ramadan meninggalkan kenangan dan kesan tersendiri. Rasa gembira menunggu buka puasa, terburu-buru saat sahur, atau terlewat sahur karena tidur.
Mencari menu buka puasa saat mudik bukan perkara susah. Warung makan atau restoran siap menerima tamu untuk menyantap hidangan berbuka.
Bahkan, banyak orang berbagi takjil di jalan-jalan beberapa saat menjelang Maghrib. Mereka bergembira melayani para pemudik yang akan berbuka. Semua larut dalam suasana suka cita.
Ada kolak, es buah, air mineral, kue, roti, atau yang lainnya. Tak jadi soal apapun jenis makanan yang mereka berikan. Asal halal bisa digunakan untuk membatalkan puasa.
Kebahagiaan pertama orang yang sedang berpuasa adalah menunggu waktu berbuka. Begitu azan Maghrib berkumandang, buka puasa harus disegerakan. Kebahagiaan kedua yaitu saat bertemu dengan Allah kelak.
***
Lain lagi dengan mencari warung atau restoran yang buka untuk makan sahur. Jumlahnya tidak sebanyak warung yang melayani saat berbuka puasa. Warung sahur biasanya ada di tempat berkumpulnya para pemudik untuk istirahat seperti di SPBU.
Namun, sangat jarang terlihat orang berbagi makanan untuk sahur di SPBU. Jika perbekalan makanan yang dibawa tidak cukup untuk sahur, maka mau tidak mau harus membeli sesuatu untuk dijadikan santapan sahur.
Meskipun yang didapat bukan makanan berat, atau hanya snack plus minuman saja, tidak apa-apa. Itu sudah cukup. Yang penting sahur tidak terlewatkan.
Mengapa sahur begitu penting? Karena, dalam sahur terdapat banyak keberkahan. Antara lain:
1. Menjalankan sunnah Rasulullah SAW
2. Sebagai pembeda antara Umat Islam dan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
3. Membuat fisik lebih kuat untuk menjalani puasa
4. Mendapat salawat dari Allah dan doa dari malaikat
5. Sahur adalah waktu yang diberkahi
6. Sahur adalah waktu utama untuk beristighfar
7. Mendapat keutamaan untuk menjawab azan Subuh dan salat Subuh berjamaah
Oleh karena itu, saya dan keluarga berusaha sekuat mungkin untuk tidak melewatkannya. Baik dalam keadaan bermukim di rumah atau sedang dalam perjalanan mudik.
***
Tahun 2017 yang lalu, saya dan keluarga mudik pakai mobil pribadi ke Lumajang, Jawa Timur. Kami melewati jalur selatan ke arah Jogjakarta. Setelah buka puasa dan salat jamak qashar Maghrib Isya, serta salat tarawih di musala SPBU, kami melanjutkan perjalanan.
Malam makin larut. Perjalanan lalu berhenti di sebuah SPBU lain. Saya, suami, dan anak-anak perlu istirahat untuk memulihkan tenaga. Apalagi suami saya, sopir tunggal yang telah menempuh jarak ratusan kilometer, pasti lelah pakai banget. Kami tidur di mobil.
Kami sempat melaksanakan salat tahajud di musala SPBU sekira jam 3 dini hari. Lalu meneruskan petualangan mudik sambil mencari-cari rumah makan untuk sahur.
Mobil melaju sambil mata saya melirik kiri kanan berusaha menemukan rumah makan. Belum dapat. Waktu sekarang sudah menunjukkan angka 03.45 WIB. Belum dapat juga. Mulai tegang, nih!
Mata saya masih melirak-lirik sambil mulut komat-kamit melantunkan doa-doa. Saat rumah makan belum nongol juga, hanya kepasrahan yang tersisa.
Sepertinya sahur kali ini cukup dengan biskuit dan air putih saja. Tak mengapa, meskipun perut keroncongan dengan nada-nada yang tetap indah.
Sejujurnya, saya ingin makan nasi. Maklum, perut sudah kosong oleh panggilan biologi. Hajat yang sudah tertunai tadi. Kita lihat apa yang terjadi. Akankah saya benar-benar makan nasi?
Pertolongan Allah itu pasti. Datangnya tepat. Tidak terlalu cepat atau terlalu lambat. Saat sudah pasrah dan berharap jalan keluar dari-Nya, tiba-tiba mata elang yang sedang kelaparan menangkap bayangan sebuah rumah makan. Kejutan pertama.
Kami langsung belok setir ke kiri. Parkir manis seorang diri. Segera merangsek masuk dalam rumah makan sambil tercium aroma masakan. Olala ... Menunya menu kesukaan. Rawon. Kejutan kedua.
Kami segera melahap nasi beserta sup daging berkuah hitam bumbu kluwek dengan tambahan telur asin, kecambah pendek, dan sambal itu. Meskipun sahur disunnahkan untuk diakhirkan, tetap saja megap-megap saat waktu sahur sudah mepet ke Subuh. Pelan-pelan, Mak! Awas tersedak!
Glek! Bunyi tegukan terakhir teh manis hangat menerobos tenggorokan. Lalu disusul suara azan Subuh sesaat kemudian. Alhamdulillaah. Terima kasih Tuhan atas kemudahan yang Engkau berikan. Tambahi rasa syukur kami pada-Mu.
Seandainya Engkau belum menurunkan kemudahan-Mu saat itu, hanya ampunan yang kami mohonkan kepada-Mu. Tak berani mendebat-Mu. Karena, bisa jadi dosa-dosa kamilah yang menghalanginya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H